Followers

Friday, December 8, 2006

Kyai turun tahta

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil 'aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba'du...

Kalau selama ini dikenal ada istilah lengser keprabon [1], kemudian mandek pandita[2], maka masih juga dilanjutkan ke level lebih tinggi lagi, lengser kapanditaan mandeg rakyat[3]. Hal itu dilakoni oleh Kiai Qulyubi. Ia masih keluarga pesantren Tawangsari Sepanjang Surabaya, yang didirikan para santri Sunan Ampel. Kemudian ia merantau dan mendirikan pesantren di daerah rantau itu, sebelah barat Kota Jombang, kemudian menikah dengan gadis setempat yang sangat cantik, anak keluarga berada, sehingga banyak membantu pembangunan pesantren.

Karena pesantren baru, maka masih diurus sendiri, tetapi lama kelamaan banyak santri yang datang, sehingga tidak bisa dikelola sendiri, kemudian ia mengajak beberapa teman-temannya untuk ikut mengajar di pesantrennya yang sudah mulai berkembang itu. Memang kemudian banyak yang membantu mengajar di sana, walaupun tidak menetap di sana.

Para kiai muda yang membantunya itu antara lain bernama Munawar, ia seorang bujangan yang pandai dan enerjik, karena itu paling giat membantu mengajar. Sementar Kiai Qulyubi sendiri walaupun masih muda tetapi seorang sufi yang alim, sehingga waktunya banyak digunakan untuk uzlah [4] di kamarnya, sehingga pengajian banyak yang dipegang Kiai Munawir.

Pada suatu hari Kiai Qulyubi menanyakan pada Munawar, mengenai saatnya bagi dia untuk menikah, apakah sudah ada pilihan, kalau belum akan dicarikan. Kiai Munawir dengan berat mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah berniat berkeluarga, tetapi sayang wanita pilihannya, telah menjadi isteri orang lain.

“Wah ya berat kalau begitu, apa tidak ada pilihan lain” Tanya Kiai, “kalau perlu saya perlu carikan”

“Tidak kiai saya tidak punya pilihan lain, biarlah saya begini saja, membujang, malah bisa berbuat banyak pada agama” Jawabnya.

“Kalau boleh tahu siapa sih wanita yang saudara idamkan itu” ? Tanya Qulyubi

“O.., tidak bisa kiai ini sangat pribadi dan bisa menyinggung perasan orang lain”

“Tolong sebutkan saya akan merahasiakan”

“Kalau saya sebutkan justeru Kiai yang akan tersinggung”

“Kenapa saya tersinggung apakah dia saudara saya”?

“Tolong sebutkan” Qulyubi semakin penasaran

“Tidak Kiai, nanti kiai marah”

“Baiklah, karena kiai memaksa, akan saya sebutkan, tetapi jangan dengar dan jangan perhatikan omongan saya ini”

“Lha iya siapa”?

“Dia adalah Ibu Nyai Aminah Isteri Kiai sendiri”, kata Munawar pelan tanpa memperhatikan Qulyubi.

Betapa kaget Qulyubi mendengar jawaban itu, tetapi berusaha mengendalikan diri. Suatu cobaan yang datang dan harus diterima, yang isyaratnya telah diterima beberapa waktu yang lalu.

Tak lama kemudian Kiai Qulyubi mendatangi Munawar bahwa niatnya dikabulkan, ia menyerahkan Isteri dan dua orang anaknya yang masih kecil pada Munawar, demikian juga pesantren juga diserahkan pada Kiai muda itu, tidak hanya itu satu hektar sawah juga diserahkan.

Sementara Qulyubi melepas sarung dan pecinya, ia berganti celana seolah hendak pergi ke sawah. Ia pergi ke arah barat tidak lagi menjadi Kiai tetapi ingin menjadi rakyat biasa, yang tidak mendapatkan hak istimewa atau penghormatan, sebutan kiai kini ia lepas sehingga orang di daerah baru itu hanya mengenal ia sebagai Wak Bi (nama lengkapnya juga sudah hilang). Kemudian ia menikah dengan wanita setempat, ia bekerja sebagai petani, tak ada lagi orang yang mengenalnya. Di saat itulah ia merasa memperoleh kebebasan dari kedudukan, kekayaan dan kemegahan, yang digantinya dengan taqarrub [5] kepada Allah tanpa symbol, termasuk simbol ritual, ia beribadah secara biasa, selayaknya orang mualaf [6]. Namun tanpa diketahui siapapun ia telah mencapai takarrub yang melebihi siapapun.

Ini sebuah tindakan melawan arus, ketika orang mulai banyak menegaskan derajat kekiaian, maka walaupun ia masih kerabat kiai bahkan masih nasab Wali, Sunan Ampel, tetapi dia berani meninggalkan gelar kekiaian. Seperti seorang Brahmana yang turun menjadi Sudra, menjadi rakyat biasa. Tanpa gelar tanpa kehormatan, untuk mengabdikan hidupnya pada masyarakat, dan kepada Tuhan, tanpa banyak ritus, tanpa banyak bicara. (MDZ)

Sumber: NU Online

Catatan Kaki:

[1] lengser keprabon, secara literal berarti turun dari jabatan sebagai raja/ratu/pimpinan negara
[2] mandek pandita, secara literal berarti berhenti untuk kemudian menjadi pendeta atau tokoh religius-spiritual
[3] lengser kapanditaan mandeg rakyat, secara literal berarti berhenti sebagai pendeta/tokoh religius, untuk menjadi rakyat biasa
[4] uzlah, berarti menyendiri dari dunia luar
[5] taqarrub, berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT
[6] muallaf, berarti orang yang baru masuk Islam

No comments: