Followers

Saturday, March 3, 2007

PRAKTIK-PRAKTIK SUFI (2)

Syariat dan hakikat yang dapat kita satukan
sehingga dapat membuat kita semakin berkembang

Menurut para sufi, segala sesuatu yang kita saksikan dalam penciptaan ini memiliki sifat polaritas di dalamnya. Juga, setiap fenomena dalm penciptaan bersifat siklus (berputar) .Suatu fenomena terlihat seakan-akan mulai dari satu titik dan berakhir di satu titik lain, lalu kedua titik itu bertemu. Misalnya, riwayat penciptaan dimulai dengan siklus hidrologis. Air dari laut menguap, menjadi awan, kemudian turun sebagai hujan lalu mengalir kembali ke laut. Prinsip yang sama dapat diterapkan pada hukum lahiriah dan realitas batin. Kata Arab syari 'at berarti jalan. Apabila orang naik ke atasnya seakan-akan ia menaruh sampan ke sungai agar dapat mencapai samudra. Apabila si penempuh mempunyai penglihatan yang menyatu, apabila ia seorang manusia utuh (man of unity) maka ia akan mengakui bahwa sekalipun itu adalah sungai, tapi mempunyai arah yang akan membawa ke alam dan hakikatnya yang asli, yakni samudra. Kata Arab bagi realitas batin adalah haqiqah yang berarti kebenaran. Samudra adalah realitas batin sedang sungai adalah jalan lahiriah. Sungai tak akan mempunyai tujuan atau makna apabila ia tidak berakhir di samudra, namun asalnya adalah dari samudra!

Mengenai orang yang memiliki visi dan wawasan, serta keterhubungan dan kesatuan sejati, pada saat mereka melangkah ke dalam syariat, mereka merasa bahwa mereka telah melangkah ke dalam hakikat batin. Dari sisi pandang kaum sufi, apahila sesorang sedang mencari kedalaman makna dan transformasi dalam hidupnya, maka pada saat ia menerima syariat, ia segera menyadari makna hatin dan ruhnya, Misalnya, syariat mewajibkan orang melakukan penyucian lahiriah, yang merupakan kombinasi dari mencuci seluruh badan secara ritual pada keadaan tertentu, dan mencuci hanya bagian-bagian tertentu saja secara ritual pada keadaan tertentu lainnya, sebelum mendirikan salaat Nah, apabila seseorang mempunyai visi hidup yang menyatukan dan mencari pengetahuan tentang kesatuan, maka ia akan menyadari hahwa pengetahuan ini tak akan tercapai apabila ia tidak disucikan secara lahir maupun hatin, dan ia akan memperluas tuntutan hukum lahiriah itu la akan menyucikan kulit dan dagingnya, hukan saja dengan penyucian ritual, tetapi juga dengan menjaga jenis makanan dan minuman yang dikonsumsinya Lebih dari itu, ia akan menyucikan hati, niat, dan pikirannya Ini merupakan pandangan kesatuan dari hukum syariat, atau tata perilaku. la semata-mata dan secara langsung mengantarkan ke realitas batin.

Hukum Islam yang lahiriah, seperti telah disebutkan sehelumnya, adalah hukum Tuhan yang sempurna dan final yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. la didasarkan pada hukum-hukum perilaku yang diwahyukan secara langsung dalam Al-Qur'an dan pada sunah Nabi Muhammad. Hukum-hukum ini memungkinkan setiap anggotamasyarakat mendalami lehihjauh dan mengemhangkan kesadaran yang lebih tinggi yang merupakan maksud dan tujuan di balik penciptaan ini. Pengemhangan batin, yang merupakan tujuan tasawuf tidaklah mungkin tanpa Islam eksoteris. Kepentingan esoteris tidak akan cukup apabila seseorang tidak mempunyai perlindungan dari hatas-batas lahiriah tata perilaku lahiriah. Air tak akan tertampung tanpa wadah, dan isi telur tak akan tertarnpung tanpa kulitnya. Demikian pula, hukum lahiriah itu ibarat kulit yang melindungi realitas batin, ibarat sekat luar yang melindungi inti batin yang dengan aman membawa apa yang bila tidak dilindungi akan menjadi energi yang sangat mudah menguap.

Sekarang, di manakah hukum lahiriah (syariat) berakhir dan realitas (hakikat) batin mulai? Yang satu berurusan dengan yang lahiriah dan kasar, sedang yang lainnya berurusan dengan yang batin dan halus. Serupa dengan mengatakan bahwa ini sungai dan itu samudra, padahal sebenamya keduanya merupakan aspek dari satu sistem yang saling dihubungkan oleh satu hakikat, yaitu air.

Dari sisi pandang sufi, manusia harus memeluk dan tunduk kepada hukum syariat maupun hakikat batin, karena ia meliputi keduanya. Manusia adalah genting, atau ruang pemisah, di antara keduanya. la terlibat dalam hukum lahiriah, atau undang-undang perilaku, dalam arti bahwa ia merupakan entitas fisik, material, dan ia terlibat dalam hakikat batin dalam arti bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang melampaui waktu dan ruang. Jadi, ke dalam ia merupakan hakikat batin, dan ke luar ia adalah hukum lahiriah. Syekh sufi besar mengatakan:

Barangsiapa bersyariat tanpa hakikat,
ia telah meninggalkan jalan yang benar;

Barangsiapa punya hakikat batin tanpa syariat,
ia adalah orang bidah.

Barangsiapa menyatukan keduanya,
ia mempunyai kesadaran.

Hukum Islam yang lahiriah adalah hukum yang diwahyukan Ilahi. Dalam alam ada hukum-hukum tertentu yang tak dapat dilanggar atau dipatahkan. Namun, di dalam batas-batasnya, orang dapat mengadakan beberapa perubahan. Misalnya, suatu rumah tangga di mana peraturan umum rumah itu telah ditetapkan, tetapi di dalam peraturan itu orang mengizinkan sang anak untuk berbuat banyak sekali hal yang disukainya dalam suatu ruang tertentu. Misalnya, si anak dapat mengubah kedudukan meja kursi atau meletakkan barang-barang tertentu di dinding, dan sebagainya. Namun, sejauh berkenaan dengan gaya perabotan atau batas sesungguhnya dari ruang itu, si anak tak punya komentar atau pilihan apa-apa. Tentu saja, sebagian batas-batas atau peraturan bersifat fleksibel, tetapi selalu ada batas akhirnya. Pengetahuan tentang batas-batas ini dan perilaku pantas yang diperlukan agar tetap berada di dalamnya adalah mengenai hukum Islam yang lahiriah. Menghormari dan mencintai hukum lahiriah ini adalah menghormari dan mencintai realitas fisik yang alami.

Semua nabi dan rasul mencapai kualitas yang luar biasa dalam mengungkapkan sebagian dari hukum- hukum Ilahi, baik hukum yang menguasai keberadaan maupun hukum yang mengatur mereka dalam kehidupan, sesuai dengan keadaan, tempat, dan ruang di mana mereka hidup. Mereka saling menguatkan. Tak ada nabi atau rasul yang menolak pendahulunya. Apabila ada suatu pembatalan (nasakh) atas hukum-hukum sebelumnya, maka ini karena realitas atau kesadaran umat sebelumnya itu masih berkembang dan belum siap untuk persoalan yang akan datang. Misalnya, lihatlah minuman alkohol. Di iklim gurun yang panas, tak mungkin menyimpan buah-buahan dalam waktu lama tanpa terjadi fermentasi, dan demikian pula ribuan tahun yang lalu, minuman anggur adalah hasil yang alami dari musim buah-buahan yang berlangsung lama.

Orang diizinkan meminum anggur namun tujuannya bukan supaya menjadi mabuk. Kemudian tiba saatnya ketika terdapat kemungkinan untuk membuat alkohol secara kimiawi dalam skala besar, sehingga orang dapat merusak diri dan lingkungannya dengan meminum alkohol. Karena itulah maka hukurn Islam yang terakhir diwahyukan memperingatkan hal ini dan melarang sama sekali konsumsi minuman beralkohol, walaupun sedikit.

Jadi, selalu ada tahapan kejadian dan tujuan di balik pembatalan (nasakh) hukum-hukum nabi tertentu, yang diwahyukan kepada nabi sebelurnnya, oleh nabi yang kemudian. Semua nabi berada dalam Islam, yakni dalam ketundukan, dalam arti bahwa masing-masing telah menyerahkan dirinya kepada Allah; dan hukurn lahiriah, atau hukurn perilaku, yang dibawa oleh masing-masing nabi merupakan konfirmasi dan kelanjutan dari hukum yang dibawa oleh pendahulunya, dari hukurn Ilahi yang saling mengisi. Ketika kota dibangun, peraturan dan ketetapan tertentu menjadi jelas, sampai seluruh kota itu disempurnakan. Kemudian seluruh peraturan dan ketentuan yang telah berkembang dan diperlukan dalam rangka pembangunan dipadukan dan disempurnakan, semuanya sesuai dengan rencana utama (master plan) yang asli!

Nabi Musa as mengungkapkan banyak hukum yang sepenuhnya segaris dengan hukum yang datang sebelumnya dan yang datang sesudahnya. Namun, selama beberapa abad, hukurn-hukum tersebut dirusak, dan hanya kandungan hukumnya saja yang tetap penting. Maka muncullah Nabi 'Isa as, yang menghidupkan kembali ruh hukum itu, tanpa mengubah hukum-hukum yang berasal dari Musa. la mempertanyakan cara penerapan hukum-hukum itu, dan berusaha untuk membenahi ketimpangan antara ruh dan kandungan hukum itu, dengan menekankan kualitas perilaku yang santun, kelemah-lembutan, keimanan, kepercayaan dan semua nilai moral Kristen lainnya. Kemudian, Nabi Muhammad mengukuhkan hukum asli itu secara benar-benar berimbang dan dalam bahasa dan kultur yang berbeda dengan bahasa dan kultur para nabi sebelumnya. Nabi Muhammad menghapuskan beberapa hukum dan, sesuai perintah llahi, membawa beberapa hukum baru, dengan demikian menyempurnakan undang-undang perilaku jalan kenabian.

Hukum-hukum kenabian (nubuwah) adalah aturan- aturan perilaku dari wahyu Ilahi yang dibawa oleh individu-individu yang peka luar biasa dalam keterhubungannya antara dunia nampak dan dunia gaib. "Hati" mereka bagaikan cermin yang memantulkan hukum asli yang diharapkan dalam alam gaib dan dalam bentuk yang lebih dapat diraba, yang mereka berikan untuk kemanusiaan. Hukum-hukum ini tidaklah kaku atau represif, dan di dalamnya terdapat banyak sekali kebebasan untuk menciptakan hukum-hukum sekunder (by-laws) dan peraturan baru yang lebih rinci untuk mengatur kehidupan manusia. Misalnya, jumlah yang tepat dari makanan yang dibolehkan untuk konsumsi manusia sehari-hari tidak diwahyukan Ilahi. Di lain pihak, adalah merupakan hukum alam dan umumnya dapat dipahami bahwa apabila seseorang tidak makan dalam jangka waktu cukup lama maka ia akan mati. Namun, tidaklah mudah dipahami, misalnya, bahwa apabila homoseksualitas merajalela maka masyarakat bisa binasa. Ini karena kita belum pernah hidup dalam suatu lingkungan di mana homoseksualitas telah berlaku menyeluruh. Maka hukum Ilahi dengan jelas melarang perbuatan homoseksual, karena apabila tidak demikian maka masyarakat akan dihancurkan dan didaur ulang. Sifat telanjang akan datang menyertainya, dan contoh Sodom dan Gomorah akan berulang sendiri. Kemudian ada hukum-hukum yang lebih halus yang berkenaan dengan pelanggaran yang kurang jelas, seperti riba. Telah diwahyukan kepada banyak nabi dan rasul, terutama ditekankan kepada para nabi besar terakhir-Musa, .Isa, dan Muhammad-bahwa riba akan menyebabkan kehancuran setiap masyarakat yang tenggelam di dalamnya. Isa menentang praktik riba, dan banyak orang Yahudi menentangnya karena ia mengancam akan menghancurkan kebiasaan buruk mereka, yang menjadi gantungan mata pencaharian mereka. Sekarang kita lihat benar-benar seluruh dunia dikuasai, diobsesi, dan dikendalikan oleh sistem riba yang beroperasi melalui sarana sistem perbankan resmi.

Syariat Islam, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah kulminasi dari semua hukum yang diwahyukan sebelumnya. Masyarakat dan kultur yang mengikuti hukum Tuhan yang asli akan bertahan. Individu atau masyarakat akan beroleh maslahat sesuai dengan kadar penerapan hukum ini. Apabila suatu masyarakat atau negeri berlaku dermawan kepada fakir miskin, yang sesuai dengan semua hukum Tuhan, maka sebagai akibat dari perbuatan ini banyak kebaikan akan datang kepada orang-orang dermawan. Maka bilamana, secara terbuka atau diam-diam, seseorang atau suatu masyarakat berbuat baik, perbuatan itu segaris dengan hukum Islam. Kesejahteraan dan kemakmuran suatu kultur atau masyarakat tergantung pada seberapa dekat praktik mereka dengan syariat Islam yang asli. Karena mayoritas kaum Muslim sekarang tidak sepenuhnya melaksana- kan syariat Islam, selain kedangkalannya, mereka pun secara individu dan kolektif sedang ditimpa dan dihukum oleh ketidaktahuan atau perbuatan batil mereka sendiri.

Dalam sejarah kemajuan umat manusia, kita dapati bahwa hukum syariat yang diwahyukan sangat sederhana pada mulanya. Namun, ketika kultur, peradaban dan kesadaran manusia berkembang, hukum syariat menjadi lebih rinci dan kompleks. Manusia di masa awal mempunyai cara dan gagasan yang sederhana dan langsung tentang hidup. Bahkan hingga kini, beberapa suku pengembara (nomadic) mempunyai undang-undang perilaku yang benar-benar berhubungan dengan sifat pembawaan lahir manusia. Undang-undang ini adalah orisinil dan sangat sederhana serta blak-blakan. Pemimpin dari suku semacam itu pada umumnya mempunyai sifat-sifat yang paling disukai di kalangan kaumnya. la pemurah, kuat, ramah, penyayang, tidak egois, dan seterusnya. Suku-suku ini terus hidup secara demikian selama suatu masa hingga tiba-tiba muncul pemimpin yang tak becus, atau sistem itu ditantang oleh suatu kultur yang lebih kompleks atau maju, dan kemudian cara hidup mereka yang sederhana hilang.

Singkatnya, hukum syariat Ilahi telah diwahyukan dalam format yang berbeda-beda selama suatu kurun waktu sesuai dengan kebutuhan masa itu, dan proses ini disempurnakan secara total l.400 tahun lalu. Master plan dari alam gaib ini, dari Sumber seluruh realitas penciptaan, adalah bagian dari cinta dan belas-kasih- Nya kepada manusia sehingga kita tidak dibiarkan tanpa bimbingan. Para nabi dan rasul mengungkapkan apa yang hakiki dan perlu bagi kondisi manusia. Hukum-hukum dan cetak biru yang mereka bawa terkulminasi dalam cetak biru akhir yang merupakan undang-undang Muhammad. Jadi, berbagai macam aturan-aturan hukum lahiriah ini bersifat komplementer (saling mengisi) dan merupakan bacaan-bacaan dari kitab yang sama. Kira- kira seperti membaca bab-bab berlainan dari kitab atau lembaran yang sama. Dan di dalam parameter hukum. syariat, ada ruangan bagi hukum buatan manusia yang selaras dengan syariat itu. Syariat Islam, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, memberikan pokok-pokok hukum, tetapi di dalam hal-hal spesifik-misalnya, berapa besar pajak harus ditarik atas penduduk untuk barang- barang impor tertentu-diserahkan kepada pemerintahan dari masa bersangkutan untuk memutuskannya. Apabila pemerintah memerlukan sejumlah tertentu uang untuk suatu proyek khusus, dan rakyat kaya, maka pemerintahan Islam dapat menetapkan peraturan untuk mengumpulkan uang melalui pajak tambahan, walaupun hal itu tidak diungkapkan secara tegas sebagai wajib menurut hukum Islam. Jadi, ada jangkauan yang luas di dalam hukum Islam untuk menetapkan peraturan dan ketentuan yang sesuai dengan keadaan sekarang dan yang selaras dengan itu. Keluwesan ini- lah,berdasarkan dan di dalam bentuk yang tepat, yang meyakinkan bahwa hukum lahiriah itu sebenarnya merupakan sarana menuju hakikat batin, dan bukan suatu halangan yang menutupi atau mencegah jalan masuk kepadanya.

No comments: