Followers

Saturday, March 3, 2007

TAUHID (2)

Allah SWT, Maha Tahu Atas Objek Yang Diketahui

Alam tidak bisa lepas dari dua alternatif, pertama alam ada penciptanya, dan alam tidak ada penciptanya. Kalau alam ada penciptanya tentu Sang Pencipta tidak bisa terlepas dari dua alternatif, salah satunya bahwa Dia mesti tahu tentang Apa yang Dia ciptakan.

Orang-orang yang meyakini tentang Sang Pencipta telah bersepakat, bahwa Allah SWT adalah Mahatahu . Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang apa yang diketahui-Nya. Apakah Ilmu-Nya akan menambah-Nya ataukah tidak? Kesepakatan untuk menetapkan tentang Ilmu Allah sudah cukup, lalu kami ingin menambahkan keterangan, bahwa alam tidak bisa lepas dari dua alternatif: pertama, alam ada Penciptanya atau alternatif kedua, bahwa alam tidak ada Penciptanya. Kalau alam ini tidak ada Penciptanya, tentu apa yang telah kami sampaikan di muka tidak benar. Sementara kalau ada Penciptanya, tentu Sang Pencipta tersebut tidak bisa lepas dari dua altematif: Dia menciptakan, dan tahu atau tidak terhadap apa yang Dia ciptakan. Kalau dikatakan, bahwa Dia menciptakannya dan tidak tahu tentang apa yang Dia ciptakan, karena Dia terpaksa atau bodoh, tentu pernyataan demikian adalah tidak benar, sebab hal itu mustahil, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dengan demikian tinggal satu alternatif, yakni Dia mesti tahu tentang apa yang Dia ciptakan. Kalau dikatakan Dia Mahatahu , hanya saja Dia tahu secara global (totalitas) dan bukan secara parsial. Sebab kalau secara parsial akan mengakibatkan Ilmu-Nya huduts, akibat Dia harus mengetahui apa yang baru terjadi. Akan tetapi hal itu tidak benar, sebab huduts tidaklah berbeda-beda. Kalau pernyataan itu benar, tentu kalau ada sesuatu yang sangat kecil terwujud tanpa sepengetahuan-Nya tentu bisa saja terjadinya langit tanpa sepengetahuan-Nya juga.

Kalau dikatakan, "Kami bisa menerima, bahwa Sang Pencipta tidak akan menciptakan sesuatu kalau Dia tidak tahu tentang apa yang Dia ciptakan tersebut. Akan tetapi para malaikat yang diserahi tugas untuk mengurus hal tersebut mengetahui obyek yang diketahui secara mandiri. Dan inilah tingkat kemiripan sifat-sifat mereka dengan Sang Pencipta."

Kami jawab, bahwa hal itu sangat mustahil, sebab Sang Pencipta SWT menurut Anda hanyalah akal murni. Sementara akal murni yang bersih dari materi disyaratkan harus tidak bodoh terhadap obyek yang diketahui. Kebodohan yang terjadi pada manusia itu, karena ia dalam materi, sehingga karena disibukkan oleh suatu materi, ia pun tidak akan tahu terhadap yang lain.

Anda telah tahu, bahwa langit -menurut pendapat Anda - tahu tentang apa yang dapat diketahui secara parsial, lalu mengapa Anda tidak mengharuskan hal itu untuk Allah SWT sebagaimana menetapkannya untuk langit? Kalau mereka menjawab, "Karena hal itu akan mengakibatkan terjadinya sesuatu yang baru (huduts) pada Dzat Allah." Maka dari jawaban tersebut, kami dapat meluruskan, "Tidak harus demikian, sebab IImu-Nya adalah Qadim (Mahadahulu tanpa awal) .Dia mengetahui apa yang bakal terjadi dari berbagai formulasi dan transformasi alam sampai titik terakhir. Dan atas dalil Anda, dari sisi mengetahui berbagai sebab yang pertama tentu akan mengetahui sebab-sebab berikutnya dan seterusnya, karena orang yang tahu, tentu ia tahu apa penyebabnya. Sedangkan segala sesuatu yang terjadi tentu ada sebab musababnya, demikian seterusnya hingga titik akhir dari suatu rangkaian. Lalu sifat baru (huduts) dan perubahan (taghayyur) itu terjadi terhadap semua makhluk (hawadits). Sementara hal itu akan berlangsung sesuai dengan IImu-Nya, sehingga IImu-Nya adalah satu dan tidak berubah. Sedangkan perubahan yang terjadi itu hanya dari sisi, bahwa Dia tahu tentang perubahan tersebut, dan itu terjadi secara sistematis."

Kalau ada pertanyaan, "Apakah IImu-Nya akan menambah pada Dzat-Nya, ataukah IImu itu sendiri juga Dzat?"

Kami jawab, "Kelompok Mu'tazilah memang berpendapat, bahwa Dzat-Nya adalah IImu itu sendiri. Sementara kelompok Asy'ariyyah dan sebagian besar kelompok-kelompok yang lain berpendapat, bahwa IImu-Nya bukanlah Dzat-Nya. Sementara yang saya yakini adalah, bahwa Allah SWT Mahatahu, sedangkan dalil yang membuktikan Kemahatahuan-Nya sudah kami kemukakan sebelumnya Ini merupakan mukadimah dari mukadimah kedua Kalau sudah ditetapkan, bahwa Ilmu-Nya akan mengubah Dzat-Nya adalah mustahil, maka dengan demikian kita akan mengatakan, bahwa Ilmu itu tidak bisa lepas dari dua kemungkinan Ilmu-Nya adalah Dzat itu sendiri -sementara saya tidak berkeyakinan- seperti ini. Atau kemungkinan kedua, bahwa ilmu itu tambahan dari Dzat Dan inilah aliran (madzhab) yang Anda ikuti.

Kalau Ilmu-Nya itu tambahan dari Dzat, tentu tidak dapat lepas, dari tiga alternatif Ilmu itu lepas dan berdiri sendiri tanpa Dzat, atau Ilmu itu adalah sesuatu yang harus wujud (wajibul-wujud), atau Dzat itu menjadi syarat Ilmu. Kalau sekarang Ilmu itu lepas dari Dzat dan berdiri sendiri, dan itu merupakan sesuatu yang qadim, maka akan ada dua Tuhan, Yaitu Dzat dan Ilmu, sedangkan hal tersebut adalah mustahil.

Kalau ada pertanyaan, "Apakah Dzat merupakan persyaratan Ilmu?"

Maka kami jawab, "Kalau demikian, maka ia tidak bisa lepas dari dua kemungkinan. Ia sesuatu yang qadim atau ia sesuatu yang baru (huduts), Kalau ia qadim tentu tidak dapat dibenarkan bila sesuatu yang qadim menjadi syarat qadim yang lain. Kalau Ilmu itu sesuatu yang huduts, maka tidak bisa lepas dari dua altematif, ia berada pada Dzat Sang Pencipta atau pada yang lain Kalau Ilmu yang huduts berada pada Dzat Sang Pencipta, tentu pada Dzat-Nya terdapat sesuatu yang baru, dan ini tidak benar. Kalau Ilmu berada pada selain Dzat Sang Pencipta, berarti Ilmu itu bukan termasuk Sifat-sifat-Nya."

Kalau ditanya, "Ini berarti sama dengan aqidah kelompok Mu'tazilah?"

Saya jawab, "Kami dapat membedakan antara aqidah mereka dengan aqidah yang kami yakini. Dimana kami berkeyakinan, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, baik secara global maupun parsial, dan tidak boleh dikatakan, bahwa Ilmu-Nya adalah Dzat-Nya itu sendiri dan lain sebagainya. Sebab ketentuan untuk memberikan Nama kepada Sang Pencipta secara mutlak adalah cara yang ditempuh oleh syari'at, dan tidak ada ketentuan syari'at yang menunjukkan, bahwa Ilmu-Nya adalah tambahan dan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Akan tetapi hal itu disebutkan secara mutlak. Sementara banyak alasan rasional yang menunjukkan, bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui. Dan tidak dapat dibenarkan bila Ilmu-Nya wujud secara qadim dan berdiri sendiri, tidak butuh kepada Sang Pencipta SWT. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, bila Ilmu itu qadim tapi butuh syarat."




Allah SWT, Maha Berkehendak Atas Apa Yang Wujud

Kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiyah) adalah suatu ungkapan tentang ketetapan Allah terhadap suatu perbuatan dengan tidak akan melupakannya, maka tujuan dan maksud untuk mewujudkan itu disebut.

Pada bagian ini, kita akan membicarakan masalah Kehendak (Iradah). Dimana masalah ini menjadi suatu polemik yang cukup serius. Karena masalah ini pula, sehingga terjadi kevakuman. Oleh karena itu, insya Allah kami ingin menjelaskan persoalan ini secara rinci.

Kehendak secara hakiki dan makna yang dapat dipahami adalah kesepakatan jiwa untuk melakukan perbuatan ketika terwujudnya kekuatan emosional. Lalu di dalam kekuatan imajinasi terdapat sesuatu yang menggerakkan untuk melakukan pekerjaan tersebut karena adanya sesuatu yang disenangi atau ditakuti. Akan tetapi definisi seperti ini mustahil bagi Dzat Sang Pencipta, Allah SWT Dengan demikian, Kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiyyah) adalah suatu ungkapan tentang ketetapan Allah terhadap suatu perbuatan dengan tidak akan melupakannya. Maka tujuan dan maksud untuk mewujudkan sesuatu itu disebut Kehendak. Dan pada hakikatnya hal itu bisa diartikan sebagai munculnya suatu perbuatan dari kekuatan, sehingga menjadi suatu perbuatan.

Sementara telah dibuktikan dengan dalil, bahwa Allah SWT Maha Mengetahui, Dia Yang menciptakan alam semesta, dan sudah kita kukuhkan, bahwa alam ini akan selalu butuh kepada-Nya. Hal itu juga telah kita sepakati, sekalipun mereka menyebutnya sebagai sebab (illat), tapi mereka telah menetapkan, bahwa alam tidak akan eksis tanpa Sang Pencipta. Dia juga Maha Mengetahui alam ini. Sedangkan Ilmu-Nya tentang hal-hal yang Dia ketahui, baik yang telah terjadi, sedang dan bakal terjadi adalah satu cara dan bentuk yang tidak akan berubah. Dia tidak akan bodoh dan juga tidak akan lupa.

Ilmu, bila dikaitkan dengan-Nya maka Ilmu itu sebelum pekerjaan dan juga setelahnya untuk selama-lamanya. Kemudian Ilmu bila dikaitkan dengan apa yang bakal terjadi dari sisi apa yang diketahui, maka obyek yang diketahui dibedakan menjadi apa yang telah dan bakal terjadi. Sementara yang bakal terjadi tetap berada dalam kekuatan, sedangkan yang sudah terjadi telah keluar menjadi suatu pekerjaan. Akhirnya yang berubah adalah kondisi obyek yang diketahui, dan bukan Ilmu-Nya.

Ini adalah kaidah yang cukup sempurna bila Anda memahami tingkatan ini. Apabila ditetapkan demikian, maka segala yang ada dalam "Kekuatan" Iradah-Nya adalah yang bakal terjadi. Maka Allah SWT adalah Maha Berkehendak untuk mewujudkan sesuatu, dari sisi, bahwa Dia-lah Yang mensistematisasi seluruh sebab yang berlaku sesuai dengan Ilmu-Nya. Oleh karena itu, segala sebab akan sesuai dengan apa yang telah Dia ketahui, sehingga kehendak secara mutlak dalam bahasan ini dapat diartikan, bahwa apa yang dikehendaki itu telah diketahui. Sementara sistem analogi akan menyatakan, bahwa segala yang dikehendaki itu sudah diketahui. Lalu segala yang diketahui akan berjalan sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, dan segala yang Dia kehendaki akan berjalan sesuai dengan Ilmu Allah SWT.

Apabila dibenarkan, bahwa Ilmu merupakan sebab dari yang Dia kehendaki di dalam "Kekuatan" Iradah-Nya, maka apa yang dilakukan akan mengikuti apa yang ada di dalam "Kekuatan", sedangkan masalahnya sudah jelas. Sehingga apa yang keluar telah menjadi perbuatan, maka kejadian (perbuatan) itu menunjukkan adanya ketetapan Allah terhadap kejadian tersebut. Sedangkan ketetapan tersebut adalah yang dituntut dengan Kehendak yang mengikut pada Ilmu.

Kalau ada pertanyaan, "Lalu apakah yang diketahui itu terbatas atau tidak?".

Kami jawab, "Pertanyaan ini butuh rincian terlebih dahulu. Maka si penanya harus menambahkan, bahwa yang terbatas adalah obyek yang diketahui. Maka suatu keharusan secara rasional, bahwa obyek yang diketahui itu dalam lingkup, sedangkan apa yang ada dalam suatu lingkup tentu terbatas, sementara yang terbatas tentu ada batas akhir. Dengan demikian obyek yang diketahui adalah berada dalam batas, baik obyek pengetahuan tersebut berada dalam Kekuatan Iradah atau sudah keluar menjadi pekerjaan. Dengan demikian, seluruh alam dalam lingkup lingkaran yang kesembilan dan seluruh yang ada di dalamnya, dari berbagai jenis, macam dan individu adalah terbatas dalam Ilmu Allah SWT".

Kalau masih terus ditanya, "Ini dapat kita terima, akan tetapi sekarang pertanyaannya, apakah Sang Pencipta Maha Mengetahui tentang sesuatu yang tidak terbatas atau tidak?".

Maka kita jawab, "Ini adalah pertanyaan yang mustahil, dilihat dari sisi tersebut, sebab seluruh obyek yang diketahui adalah terbatas, maka pertanyaan seperti ini sangat melenceng dari kebenaran".

Kalau misalnya ditanya, "Apakah bisa dikatakan, ilmu layak membatasi terhadap apa yang tidak terbatas ataukah tidak?".

Kami jawab, "Ilmu itu sendiri tidak dapat diterangkan dengan sifat seperti itu, kecuali bila dikaitkan dengan obyek yang diketahui. Kalau tidak, maka ciri khusus yang dimiliki oleh Ilmu itu tidak benar, tapi kalau dikaitkan dengan obyek yang diketahui, maka obyek tersebut akan terbatas. Dengan demikian, hanya dapat dikatakan satu cara, bahwa Ilmu itu qadim yang berkaitan, bahwa alam-alam saling berurutan, sehingga kalau dikaitkan dengan alam itu sendiri akan terbatas. Akan tetapi apabila keterbatasan itu dikaitkan dengan Ilmu Allah yang Qadim tentu tidak benar, sebab Ilmu-Nya itu tidak dapat dikatakan terbatas atau tidak terbatas. Ini merupakan sumber kesalahan. Dan barangkali bagi orang yang tidak memahami hakikat masalah akan mengira, kalau obyek yang diketahui itu terbatas, tentu Ilmu Allah juga terbatas. Jauh sekali mereka mampu memahami hakikat sebenarnya. Sementara yang dapat dikatakan terbatas adalah obyek yang diketahui, dilihat dari sisi ia dapat dibatasi, sehingga sebagian besar para ahli ilmu kalam berpendapat, bahwa cara itu tidak dapat dikatakan terbatas atau tidak. Lalu bagaimana dengan Ilmu Sang Maha Pencipta SWT?.

Sebab Ilmu Allah bukan dari sisi sifat baru ('aradl) atau jauhar. Maka bagaimanapun persoalannya, istilah terbatas atau tidak adalah bila dikaitkan dengan obyek yang diketahui dan tidak dikaitkan dengan Ilmu. Hal itu tidak mengurangi Kekuasaan Allah, dan juga tidak dapat dikatakan bahwa Dia tidak kuasa".

No comments: