Followers

Wednesday, February 7, 2007

Majelis zikir dengan suara keras dan berjamaah

Mawlana Syaikh Hisham Kabbani ar Rabbani


Bismillah hirRohman nirRohim

Kutipan hadits qudsi berikut, dimulai dengan, ”Mereka yang mengingat-Ku dalam
suatu majelis,” mengadakan perkumpulan untuk berzikir keras secara kolektif
sebagai pintu gerbang untuk mendapatkan janji Allah ‘Ingatlah Aku, maka Aku akan
mengingatmu’ Tidak heran bila perkumpulan semacam itu mendapat pujian yang
tertinggi dan berkah dari Allah dan Rasulullah saw sebagaimana dinyatakan dalam
banyak hadits yang autentik.
Menurut Bukhari dan Muslim:

“Rasulullah saw bersabda bahwa Allah mempunyai Malaikat yang berkelana untuk
menemukan orang-orang yang berzikir [dan dalam versi yang lain dari Imam Muslim,
majalis, ‘perkumpulan’ zikir]. Ketika mereka menemukan sekelompok orang (qawm)
yang berzikir dengan keras [dalam Imam Muslim yang lain dikatakan bahwa mereka
duduk bersama mereka], mereka memanggil satu sama lain dan menempatkan diri
mereka dalam sebuah lapisan sampai ke surga yang pertama. (Ini untuk menyatakan
para Malaikat dalam jumlah yang tidak terbatas akan berada di atas mereka. Dia
tidak mengatakan, “Ketika mereka menemukan satu orang.” Oleh sebab itu untuk
mendapatkan ganjaran semacam ini harus dilakukan dalam suatu kelompok.)

Allah bertanya kepada para Malaikatnya dan Dia telah mengetahuinya, (Dia
bertanya untuk menekankan apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya dan untuk
memfasilitasi pemahaman kita), “Apa yang dikatakan oleh hamba-hamba-Ku?” (Dia
tidak berkata, “hamba,” tetapi ibadi, “hamba-hamba” dalam bentuk jamak).

Para Malaikat berkata, “Mereka memuji-Mu (tasbih) dan mengagungkan Nama-Mu
(takbir), dan memberi-Mu Atribut terbaik (tamjid). Allah bertanya, “Apakah
mereka pernah melihat-Ku?” Para Malaikat berkata, “Wahai Tuhanku! Mereka tidak
melihat-Mu.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika mereka melihat-Ku?” Malaikat
menjawab, “Wahai Tuhanku, jika mereka melihat-Mu mereka akan lebih
sungguh-sungguh lagi dalam beribadah, tamjid dan tasbih.

Dia bertanya, “Apa yang mereka minta?” Para Malaikat menjawab, “Mereka memohon
surga-Mu!” Dia bertanya, “Apakah mereka sudah melihat surga?” Malaikat berkata,
“Wahai Tuhan kami, tidak, mereka belum melihatnya.” Dia berkata, “Dan bagaimana
keadaan mereka bila mereka melihatnya?” Malaikat berkata, “Jika mereka melihat
surga, mereka akan lebih terikat dan tertarik kepadanya!” Dia bertanya, “Apa
yang mereka takutkan dan lari darinya? (Ketika seseorang mengatakan, “Ya Ghaffar
(Wahai Yang Maha Pengampun), Ya Sattar (Wahai Yang Maha Menyembunyikan)

Itu berarti seseorang takut kepada-Nya karena dosa-dosanya. Orang itu memohon
kepada-Nya untuk menyembunyikan kesalahannya dan memohon ampunan-Nya.) Malaikat
berkata, “Mereka takut dan melarikan diri dari api neraka.” Dia berkata, “Dan
apakah mereka telah melihat api neraka?” Malaikat berkata, “Wahai Tuhan kami,
tidak, mereka belum melihat api neraka.”

Dia bertanya, “Bagaimana jika mereka melihat api neraka?” Malaikat berkata,
“Jika mereka melihat api-Mu mereka akan melarikan diri sejauh-jauhnya, dan
bahkan akan lebih takut lagi.” Dan Allah berkata, “Aku menjadikanmu sebagai
saksi (Allah tidak membutuhkan saksi karena Dia mengatakan, “Cukup Allah saja
sebagai saksi” (4:79, 4:166, 10:29, 13:43, 29:52). “Menjadikanmu sebagai saksi”
di sini maksudnya “menjamin kalian”) bahwa Aku telah mengampuni mereka.” (Allah
telah mengampuni mereka karena, sebagaimana pada awal hadits dinyatakan bahwa
mereka adalah sekelompok orang yang mengucapkan Nama-nama Allah dan
mengingat-Nya melalui zikir).

Salah satu Malaikat berkata, “Wahai Tuhanku, seseorang berada di sana yang
tidak tergabung dalam majelis itu, tetapi datang atas maksud yang lain.” (Orang
itu datang dengan niat bukan untuk berzikir, untuk meminta sesuatu kepada
seseorang). Allah berkata, “Majelis ini adalah sedemikian rupa sehingga orang
yang duduk bersama mereka diampuni dosa-dosanya.” Almarhum Imam Ahmad Mashhur
al-Hadad (meninggal pada 1416/1995) berkata dalam bukunya Miftah al-janna:
“Hadits ini menunjukkan keutamaan yang terdapat dalam majelis zikir, dan pada
setiap orang yang hadir melakukannya dengan keras dan serempak, karena
frase-frase, “Mereka memohon kepada-Mu” dalam bentuk jamak, dan “Mereka adalah
orang-orang yang duduk,” mempunyai arti bahwa mereka yang berkumpul untuk
mengingat Allah dan mengerjakannya secara serempak, sesuatu yang hanya bisa
dilakukan dengan keras, karena seseorang yang berzikir pelan, dalam hati tidak
perlu mencari suatu pertemuan dengan orang lain.”

Lebih jauh hal ini ditunjukkan oleh hadits qudsi yang berbunyi, “Allah
berfirman, Aku seperti yang diharapkan oleh hamba-Ku, Aku bersamanya ketika dia
mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam hatinya, Aku mengingatnya dalam
diri-Ku, dan jika dia mengingat-Ku dalam kelompok, Aku menyebutkan namanya dalam
suatu pertemuan yang lebih baik darinya…” (Bukhari dan Muslim). Jadi, zikir
dalam hati dibedakan dengan zikir keras melalui firman-Nya, “mengingat-Ku dalam
dirinya,” yang berarti, “dalam hati (diam),” dan “dalam suatu kelompok,” yang
berarti “keras”.

Zikir dalam suatu majelis hanya bisa dilakukan dengan keras dan serempak.
Sehingga hadits di atas mengandung bukti bahwa zikir yang dilakukan dengan keras
dalam suatu majelis merupakan sejenis zikir yang dimuliakan yang disebutkan
dalam majelis tertinggi (al-mala al-ala) oleh Tuhan kita Yang Maha Mulia dan
para Malaikat yang berada di dekat-Nya, “yang terus mengagungkan-Nya siang dan
malam, dan tidak pernah merasa lelah” (21:20).

Daya tarik merupakan bukti yang jelas antara mereka yang melakukan zikir di
dunia abadi, yang telah diciptakan dengan kepatuhan yang telah melekat dalam
dirinya dan mengingat Allah menjadi sifatnya dan dinamakan Malaikat dengan
mereka yang melakukan zikir di dunia yang padat, yang sifatnya dipenuhi dengan
kelemahan dan gangguan dan dinamakan manusia. Ganjaran bagi manusia dalam
melakukan zikir adalah mereka akan diangkat ke peringkat yang serupa dengan
Majelis Tertinggi, yang kemuliaan dan kenikmatannya cukup bagi setiap orang.
(Imam Ahmad Mashhur al-Hadad, Miftah al-janna, terj. Mustafa Badawi, Key to the
Garden, Quilliam Press hal.107-108)

Allah memberikan perbedaan yang nyata bagi mereka yang mengingat-Nya. Abu
Hurayra berkata, “Dalam perjalanan ke Makkah, Rasulullah saw melewati puncak
sebuah gunung yang dinamakan Jumdan (membeku di tempatnya), pada saat itu beliau
berkata, ‘Bergeraklah (siru)! Ini adalah Gunung Jumdan, dan orang yang
berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama.’ Mereka bertanya,
‘Siapa yang berpikiran tunggal, wahai Rasulullah?’ Beliau berkata, ‘Pria dan
wanita yang mengingat Allah tanpa henti (al-dzakirun allah katsiran wa
al-dzakirat).” (diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Muslim, dalam sahih-nya, pada
permulaan buku Zikir).

Gunung itu menyusul orang-orang sebab gunung itu juga berzikir. Ibnu Qayyim
al-Jawziyya menerangkan bahwa istilah mufarridun mempunyai dua arti, yaitu:
muwahhidun, orang-orang yang terikat dalam tawhid yang mendeklarasikan Ke-Esaan
Allah sebagai satu kelompok (tidak perlu sendiri), atau mereka yang beliau sebut
ahad furada, orang yang sama namun sebagai individu yang duduk sendiri (Ibnu
Qayyim al-Jawziyya, Madarij al-salikin). Dari contoh ini terbukti bahwa dalam
keterangan Ibnu Qayyim al-Jawziyya, duduk dalam zikir bisa dilakukan sendiri
atau dalam kelompok.

Dalam keterangan lain mengenai mufarridun, Ibnu Qayyim al-Jawziyya merujuk
istilah tersebut kepada “mereka yang hatinya bergetar ketika mengucapkan zikir
Allah, merasuk ke dalamnya secara terus-menerus, tidak mempedulikan apa yang
orang katakan atau lakukan terhadap mereka.” Hal ini karena Rasulullah saw
bersabda, udzkur Allaha hatta yaqulu majnun “Mengingat dan menyebut Allah
sebanyak yang kalian inginkan, sampai orang berkata bahwa kalian gila dan
bodoh.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, Ibnu Hibban dalam Sahih-nya,
dan al-Hakim yang menyatakan bahwa hadits itu sahih).
Mufarridun adalah orang-orang yang sungguh hidup. Abu Musa as melaporkan,
“Perbedaan orang-orang yang mengingat Tuhannya dengan orang yang tidak
mengingat-Nya adalah bagaikan orang yang hidup dengan orang mati.” (Bukhari).

Ibnu Umar ra melaporkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika kalian
melintasi kebun-kebun di Surga, ambillah manfaat darinya.” Para sahabat
bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kebun-kebun di Surga itu, Ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Lingkaran zikir. Para Malaikat Allah berkelana mencari
lingkaran zikir, dan ketika mereka menemukannya, mereka akan mengelilinginya
dengan rapat.” (Tirmidzi dan Ahmad menyatakan hadits ini hasan gharib).

Abu Saiid al-Khudri dan Abu Hurayra ra melaporkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Ketika sekelompok orang mengingat Allah, Malaikat mengelilingi mereka dan
rahmat menyelimuti mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah
menyebutkan mereka mereka kepada mereka yang bersama-Nya.” (Diriwayatkan oleh
Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Bayhaqi).

Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Muawiya bahwa, “Rasulullah
pergi menuju lingkaran para sahabatnya dan bertanya, ‘Apa yang membuat kalian
duduk di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk di sini untuk mengingat dan
menyebut Nama Allah (nadzkurullaha) dan untuk mengagungkan Dia (wa nahmaduhu)
sebab Dia membimbing kita kepada jejak Islam dan Dia menganugerahkan nikmat
kepada kita.’ Dengan segera beliau mendesak mereka demi Allah dan bertanya lagi
apakah hanya itu alasan mereka duduk di sana.

Mereka berkata, ‘Demi Allah, kami duduk di sini hanya untuk itu.’ Saat itu
Rasulullah berkata, ‘Aku tidak meminta kalian untuk bersumpah karena ada
kegelisahan di antara kalian, tetapi hanya karena Jibril datang kepadaku dan
memberitahuku bahwa Allah mengatakan kepada Malaikat bahwa Dia bangga kepada
kalian!’

Perhatikan bahwa dalam hadits di atas dinyatakan dengan kata jalasna, atau
“kami duduk,” dalam bentuk jamak, bukan tunggal. Itu melambangkan adanya
asosiasi manusia dalam suatu kelompok, dan bukan satu orang.

Syahr bin Hawashab menyatakan, “Suatu hari Abu al-Darda ramemasuki Masjid
Bayt al-Maqdis (Jerusalem) dan melihat orang berkumpul mengelilingi pemimpin
zikir mereka (mudzakkir) yang mengingatkan mereka. Mereka mengeraskan suara
mereka, menangis dan berdoa. Abu al-Darda berkata, “Hidup Ayahku dan Ibuku aku
korbankan untuk mereka yang merintih terus menerus sebelum hari perintihan!”
Lalu dia berkata, “Wahai Ibnu Hawshab, mari kita segera bergabung dengan mereka.
Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Jika kalian melihat semak belukar Surga,
gembalakan ternakmu di sana.’

Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan semak belukar
Surga?’ Beliau menjawab, Lingkaran orang-orang yang mengingat, demi Dzat yang
jiwaku berada dalam Genggamannya, tak satu pun orang yang berkumpul untuk
mengingat Allah kecuali dikelilingi dengan rapat oleh para Malaikat, rahmat
menyelubungi mereka, dan Allah menyebutkan mereka dalam Kehadirat-Nya, dan
ketika mereka ingin pergi, seseorang memanggil mereka dengan berkata,
Pengampunan telah dibangkitkan, perbuatan buruk kalian telah diubah menjadi amal
kebaikan!’

Lalu Abu al-Darda mendatangi mereka dan duduk bersama mereka dengan antusias.”
(Hafiz Ibnu al-Jawzi menyatakan hal ini dengan rantai transmisinya dalam bab
yang berjudul, “Sebutan bagi orang elit yang biasa menghadiri majelis pembaca
hikayat” dalam bukunya al-Qussas wa al-mudzakkirin (Pembaca Hikayat dan Orang
yang Mengingatkan) ed. Muhammad Basyuni Zaghlul (Beirut: Dar al-kutub
al-ilmiyya, 1406/1986) hal. 31).
Uraian-uraian di atas menunjukkan bukti-butkti mengenai bolehnya melakukan
zikir keras, dalam kelompok dan pengertian zikir, termasuk memberi peringatan
dan menceritakan kembali kisah-kisah yang bermanfaat bagi jiwa.

Kekerasan (suara) dalam Berzikir

Rasulullah memuji orang yang awwah (arti harfiahnya, orang yang berkata, ah,
ah!); yaitu keras dalam zikirnya walaupun yang lain mencemoohkannya. Ahmad
menceritakan dengan sanad yang baik dari Uqba bin Amir,

“Rasulullah berkata tentang seorang pria yang bernama Dzu al-Bijadayn, “innahu
awwah (dia adalah orang yang banyak mengucapkan ah, ah!). hal ini disebabkan
karena dia adalah orang yang sangat banyak berzikir kepada Allah dengan membaca
al-Quran, dan dia akan meninggikan suaranya ketika berdoa.” (Ahmad dalam Musnad
4:159)

Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim as, ”Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
yang awwah dan halim” (9:114, 11:75); menurut Tafsir al-jalalayn, “menangis dan
sangat menderita karena takut kepada Tuhannya.” (halim = penuh kasih sayang dan
lemah lembut). Rasulullah  berdoa untuk menjadi awwah dalam doa
berikut, “rabbi ijalni ilayka awwahan (Ya Allah, jadikanlah aku orang yang
menangis ah kepada-Mu.” Hadits ini diceritakan oleh Tirmidzi (Tirmidzi, kitab
daawat #102, hasan sahih), Ibnu Majah (Ibnu Majah, Du’a #2), dan Ahmad (Ahmad,
Musnad 1:227) dengan sanad yang kuat sebagai berikut: (Yahya bin Said, al-Qattan
Sufyan, al-Thawri Shuba, Amr bin Murra ,Abd Allah bin al-Harits, Taliq bin Qays,
al-Hanafi bin Abbas).

Rasulullah biasa berdoa dengan doa ini, “Ya Tuhanku! Tolonglah aku dan jangan
membuatku menghadapi kesulitan, berikanlah aku kemenangan dan jangan memberikan
kemenangan kepada orang terhadapku, buatlah rencana untukku dan bukan untuk
melawanku, bimbinglah aku dan berikanlah kemudahan untuk membimbingku,
sanggupkanlah aku dalam menghadapi orang yang menentangku. Ya Tuhanku!
Jadikanlah aku orang yang sangat bersyukur kepada-Mu (syakkaran laka), banyak
mengingat-Mu (dzakaran laka), banyak berdoa kepada-Mu (rahhaban laka), patuh
dengan sempurna kepada-Mu (mitwaan ilayka), rendah hati kepada-Mu (mukhbitan
laka), selalu menangis dan kembali kepada-Mu (awwahan muniban)!…”

Wa min Allah at Tawfi

No comments: