Wednesday, February 7, 2007
Memperkuat Zikir dengan Asma “Allah”
Memperkuat Zikir dengan Asma “Allah”
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar Rabbani
Bismillah hirrohman nirRohim
Allah swt berfirman dalam kitabnya, Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah
kepada-Nya dengan penuh ketekunan (73:8). Qadi Thanaullah Panipati berkata,
“Ketahuilah bahwa ayat ini merujuk pada pengulangan nama yang pokok (ism
al-dzat),” yaitu “Allah.” (Qadi Thanaullah Panipati, Tafsir Mazhari (10:111)).
Arti yang sama secara mendalam juga terdapat pada bagian akhir ayat 6:91, Surah
al-Anam, “Katakanlah Allah. Kemudian biarkan mereka bermain dengan
kesesatannya.”
Rasulullah sallallahu alaihi wasalam bersabda, “Waktu tidak akan berjalan bila
“Allah Allah” tidak disebutkan lagi di bumi.” Menurut sanad yang lain, beliau
bersabda, “Waktu tidak akan berjalan pada seseorang yang mengucapkan “Allah,
Allah.” (Keduanya diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya, buku mengenai Iman,
bab 66 yang berjudul dzahab al-iman akhir al-zaman, “Hilangnya iman di akhir
zaman.”)
Imam Nawawi dalam komentarnya terhadap bab ini berkata, “Ketahuilah bahwa
riwayat kedua versi hadits ini sangat banyak dalam hal pengulangan nama Allah
dan begitulah adanya seperti yang ditemukan di semua sumber yang berwenang.”
(Nawawi, Syarh sahih Muslim, Dar al-Qalam, Beirut ed. Vol. ½ hal 537).
Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam kepala bab, hilangnya iman di akhir
zaman, meskipun dalam hadits tersebut tidak disebutkan masalah iman. Hal ini
menunjukkan bahwa mengucapkan, “Allah, Allah” menunjukkan keimanan. Mereka yang
mengucapkannya menunjukkan keimanan mereka, dan sebaliknya mereka yang tidak
mengucapkannya tidak menunjukkan keimanan mereka. Oleh sebab itu mereka yang
memerangi orang yang mengucapkannya sebenarnya lebih buruk dari mereka yang
imannya lemah dan tidak mengucapkan “Allah, Allah”.
Imam Nawawi menyoroti keaslian dari pengulangan ini untuk membuktikan bahwa
pengulangan kata, “Allah, Allah” adalah sunna matsura, atau praktik yang
diwariskan oleh Rasulullah saw dan para Sahabat. Tetapi Ibnu Taymiyya mendesak
agar kata itu tidak berdiri sendiri, melainkan harus tersusun, misalnya dalam
bentuk seruan (yakni, “Ya Allah”) sehingga kontradiksi dengan sunnah.
Perlu dicatat bahwa translasi Shiddiqi terhadap Sahih Muslim mengandung
kesalahan translasi dari riwayat pertama yang dinyatakan di atas sebagai, “Waktu
(Berbangkit) tidak akan datang selama Allah masih diagungkan di dunia,” dan yang
kedua sebagai, “Waktu (Berbangkit) tidak akan datang kepada seseorang selama dia
berdoa kepada Allah.” Sebagian translasi ini adalah salah, tetapi sebagai
komentar dapat diterima karena mengucapkan “Allah, Allah”berarti berdoa
kepada-Nya. Hal ini berlaku bagi semua ibadah, sesuai dengan sabda Rasulullah,
“Berdoa—itulah arti ibadah.” (riwayat Tirmidzi dan lainnya). Namun untuk
mengakuratkan translasinya, bentuk kata yang disorot oleh Nawawi harus
dipertahankan dalam segala penjelasan mengenai hadits ini. Bukan sekedar “berdoa
kepada Allah ” tetapi dikatakan “Allah, Allah,” munurut kata-kata
diucapkan oleh Rasulullah sendiri.
Orang yang mengetahui bahwa zikir, “Allah, Allah” telah disebutkan oleh
Rasulullah saw sendiri tidak leluasa untuk memikirkan lebih dalam apakah zikir
itu digunakan oleh para Sahabat atau tidak, dengan maksud untuk menyelidiki
validitasnya. Validitasnya cukup dibuktikan dengan pernyataan bahwa Rasulullah
mengatakannya. Tambahan lagi, Bilal ra biasa berzikir, ”Ahad, Ahad” ketika dia
disiksa. Ibnu Hisham berkata dalam Sira-nya,
“Ibnu Ishaq meriwayatkan [dengan sanad transmisinya] bahwa, ‘Bilal ra adalah
seorang Muslim yang imannya kuat, hatinya suci… Umayya bin Khalaf biasa
menyiksanya dengan menjemurnya di panas matahari, menelantangkan tubuhnya dan
meletakkan sebuah batu besar di dadanya. Kemudian dia berkata, “Kamu tinggal di
sini sampai mati atau mau menyangkal Muhammad saw dan menyembah al-Latta dan
al-Uzza.” Selama menjalani siksaan ini, Bilal ra biasa mengucapkan, “Ahad,
Ahad”—“Satu, Satu!” (Ibnu Hajar menyatakannya dalam al-Isaba (1:171 #732).
Wa min Allah at Tawfiq
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar Rabbani
Bismillah hirrohman nirRohim
Allah swt berfirman dalam kitabnya, Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah
kepada-Nya dengan penuh ketekunan (73:8). Qadi Thanaullah Panipati berkata,
“Ketahuilah bahwa ayat ini merujuk pada pengulangan nama yang pokok (ism
al-dzat),” yaitu “Allah.” (Qadi Thanaullah Panipati, Tafsir Mazhari (10:111)).
Arti yang sama secara mendalam juga terdapat pada bagian akhir ayat 6:91, Surah
al-Anam, “Katakanlah Allah. Kemudian biarkan mereka bermain dengan
kesesatannya.”
Rasulullah sallallahu alaihi wasalam bersabda, “Waktu tidak akan berjalan bila
“Allah Allah” tidak disebutkan lagi di bumi.” Menurut sanad yang lain, beliau
bersabda, “Waktu tidak akan berjalan pada seseorang yang mengucapkan “Allah,
Allah.” (Keduanya diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya, buku mengenai Iman,
bab 66 yang berjudul dzahab al-iman akhir al-zaman, “Hilangnya iman di akhir
zaman.”)
Imam Nawawi dalam komentarnya terhadap bab ini berkata, “Ketahuilah bahwa
riwayat kedua versi hadits ini sangat banyak dalam hal pengulangan nama Allah
dan begitulah adanya seperti yang ditemukan di semua sumber yang berwenang.”
(Nawawi, Syarh sahih Muslim, Dar al-Qalam, Beirut ed. Vol. ½ hal 537).
Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam kepala bab, hilangnya iman di akhir
zaman, meskipun dalam hadits tersebut tidak disebutkan masalah iman. Hal ini
menunjukkan bahwa mengucapkan, “Allah, Allah” menunjukkan keimanan. Mereka yang
mengucapkannya menunjukkan keimanan mereka, dan sebaliknya mereka yang tidak
mengucapkannya tidak menunjukkan keimanan mereka. Oleh sebab itu mereka yang
memerangi orang yang mengucapkannya sebenarnya lebih buruk dari mereka yang
imannya lemah dan tidak mengucapkan “Allah, Allah”.
Imam Nawawi menyoroti keaslian dari pengulangan ini untuk membuktikan bahwa
pengulangan kata, “Allah, Allah” adalah sunna matsura, atau praktik yang
diwariskan oleh Rasulullah saw dan para Sahabat. Tetapi Ibnu Taymiyya mendesak
agar kata itu tidak berdiri sendiri, melainkan harus tersusun, misalnya dalam
bentuk seruan (yakni, “Ya Allah”) sehingga kontradiksi dengan sunnah.
Perlu dicatat bahwa translasi Shiddiqi terhadap Sahih Muslim mengandung
kesalahan translasi dari riwayat pertama yang dinyatakan di atas sebagai, “Waktu
(Berbangkit) tidak akan datang selama Allah masih diagungkan di dunia,” dan yang
kedua sebagai, “Waktu (Berbangkit) tidak akan datang kepada seseorang selama dia
berdoa kepada Allah.” Sebagian translasi ini adalah salah, tetapi sebagai
komentar dapat diterima karena mengucapkan “Allah, Allah”berarti berdoa
kepada-Nya. Hal ini berlaku bagi semua ibadah, sesuai dengan sabda Rasulullah,
“Berdoa—itulah arti ibadah.” (riwayat Tirmidzi dan lainnya). Namun untuk
mengakuratkan translasinya, bentuk kata yang disorot oleh Nawawi harus
dipertahankan dalam segala penjelasan mengenai hadits ini. Bukan sekedar “berdoa
kepada Allah ” tetapi dikatakan “Allah, Allah,” munurut kata-kata
diucapkan oleh Rasulullah sendiri.
Orang yang mengetahui bahwa zikir, “Allah, Allah” telah disebutkan oleh
Rasulullah saw sendiri tidak leluasa untuk memikirkan lebih dalam apakah zikir
itu digunakan oleh para Sahabat atau tidak, dengan maksud untuk menyelidiki
validitasnya. Validitasnya cukup dibuktikan dengan pernyataan bahwa Rasulullah
mengatakannya. Tambahan lagi, Bilal ra biasa berzikir, ”Ahad, Ahad” ketika dia
disiksa. Ibnu Hisham berkata dalam Sira-nya,
“Ibnu Ishaq meriwayatkan [dengan sanad transmisinya] bahwa, ‘Bilal ra adalah
seorang Muslim yang imannya kuat, hatinya suci… Umayya bin Khalaf biasa
menyiksanya dengan menjemurnya di panas matahari, menelantangkan tubuhnya dan
meletakkan sebuah batu besar di dadanya. Kemudian dia berkata, “Kamu tinggal di
sini sampai mati atau mau menyangkal Muhammad saw dan menyembah al-Latta dan
al-Uzza.” Selama menjalani siksaan ini, Bilal ra biasa mengucapkan, “Ahad,
Ahad”—“Satu, Satu!” (Ibnu Hajar menyatakannya dalam al-Isaba (1:171 #732).
Wa min Allah at Tawfiq
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment