Followers

Monday, May 7, 2007

Syarah (8)

Pasal ke Tigapuluhsatu
Shalat-shalat Sunnah

Shalat-shalat Sunnah, yaitu:
1. Sunnah yang Mu’akkad (yang dianjurkan), jumlahnya ada 10 (sepuluh) raka’at, yaitu:
a. Dua raka’at sebelum (qabliyah) shalat Shubuh.
b. Dua raka’at sebelum (qabliyah) shalat Zhuhur atau Jum’at
c. Dua raka’at setelah (ba’diyah) shalat Zhuhur atau Jum’at.
d. Dua raka’at setelah (ba’diyah) shalat Maghrib.
e. Dua raka’at setelah (ba’diyah) shalat Isya’.
2. Sunnah yang bukan Mu’akkad (bukan yang dianjurkan), jumlahnya ada 12 (duabelas) raka’at, yaitu:
a. Dua raka’at ditambahkan sebelum shalat Zhuhur atau Jum’at.
b. Dua raka’at ditambahkan setelah shalat Zhuhur atau Jum’at.
c. Empat raka’at sebelum shalat Ashar.
d. Dua raka’at sebelum shalat Maghrib.
e. Dua raka’at sebelum shalat Isya’.
3. Sunnah shalat Witir, sekurang-kurangnya satu raka’at, pertengahannya tiga raka’at dan sebanyak-banyaknya sebelas raka’at. Adapun waktunya adalah dari sehabis shalat Isya’ hingga Fajar.
4. Sunnah shalat Dhuha’, sekurang-kurangnya dua raka’at dan sebanyak-banyaknya delapan raka’at. Waktunya adalah dari terbitnya Matahari sekedar sependirian hingga masuknya waktu shalat Zhuhur.
5. Sunnah shalat Wudhu’ (sunnatul wudhu’), yaitu dua raka’at sesudahnya mengambil Air Wudhu.
6. Sunnah Shalat Tahyatul Masjid (menghormati masjid), yaitu dua raka’at jika memasuki masjid.
7. Sunnah shalat Taraweh, yaitu dua puluh raka’at dan tiap-tiap dua raka’at daripadanya dengan tasyahhud dan salam.

TANBIH:
Bermula orang yang mempunyai Qadha’ Shalat fardhu (meninggalkan shalat wajib) maka jika dengan uzur (sebab) yaitu karena lupa atau ketiduran, atau karena dipaksa, maka wajib atasnya Shalat Qadha’ kapan saja waktunya tetapi sunnahnya adalah dengan segera membayar qadha’nya itu, dan sunnah mendahulukannya atas shalat-shalat sunnah.
Adapun jikalau orang yang mempunyai Qadha’nya itu dari tinggal shalat tidak dengan uzur (sengaja tidak shalat) maka wajib atasnya segera membayar qadha’ itu dan tidak harus shalat sunnah, hingga selesai daripada membayar qadha’nya itu.



Pasal ke Tigapuluh dua
Dosa Meninggalkan Shalat

Dosanya orang yang meninggalkan shalat adalah terlalu amat besar dan siksanya terlalu amat keras.
Maka telah diriwayatkan oleh setengah daripada ulama bahwa ada seorang perempuan yang suka meninggalkan shalat, kemudian dia mati.
Sewaktu diturunkannya mayat itu kedalam kubur oleh saudara laki-lakinya, maka terjatuhlah ke dalam lobang kubur sebuah kantong konjen yang berisi uang milik saudaranya itu.
Maka setelah ditutup lobang kuburnya itu, saudaranya itu ingat bahwa kantong konjen berisi uangnya itu terjatuh ke dalam lobang kubur.
Kemudian baliklah saudaranya itu yang bermaksud hendak menggali kuburan itu untuk mengeluarkan kantong konjennya itu sebab ada uangnya.
Sewaktu ia mulai menggali kuburan itu maka keluarlah api daripada kuburan itu, dan ia tidak dapat tahan atas panasnya.
Lalu ia kembalikan tanah kuburan itu, dan ia menangis berjalan pulang, kemudian menanyakan kepada ibunya, “betapakan dosa saudaraku semasa hidupnya?” dan diceritakannyalah kepada ibunya itu mengenai kejadian di atas kuburan saudaranya itu.
Maka ibunyapun sangat amat menangis sedih hatinya mendengan cerita tentang kuburan anak perempuannya itu, maka berkatalah ibunya “tiada dosa yang diperbuat oleh saudara perempuanmu melainkan terkadang ia suka meninggalkan shalat lima waktu dengan tiada uzur (tak ada sebab)”.


Pasal ke Tigapuluh tiga
Kewajiban Orangtua terhadap Anaknya

Wajib hukumnya atas orangtua Ayah maupun Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya mengerjakan shalat semenjak anaknya berumur 7 (tujuh) tahun.
Dan jika sampai umur anaknya 10 (sepuluh) tahun belum juga mau melakukan shalat, maka wajib atas Ayah dan Ibu memerintahkannya dengan ancaman suatu pukulan yang pantas dan tidak membuatnya terlalu kesakitan.



Pasal Ke tigapuluh empat
Hadist Nabi SAW tentang Shalat

Bersabda Rasullullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ كَفَرَ.

Artinya:
Siapa orang yang meninggalkan Shalat dengan sengaja maka telah Kafirlah ia.

Maka berdasarkan atas ini hadist, dimaknakan oleh Imam Hanbali Radhiyallahu ‘an, dengan zahirnya (kelihatannya), yakni tiap-tiap orang yang meninggalkan shalat dengan tiada uzur (sebab) maka kafirlah ia.
Sedangkan yang dimaknakan oleh Imam Syafi’I Radhiyallahu ‘an, yaitu jikalau orang yang meninggalkan shalat dengan tidak meng-I’tiqadkan (tidak berkeyakinan) bahwa shalat itu wajib baginya, maka kafirlah ia. Adapun jika ia meninggalkan shalat dikarenakan oleh sebab malas saja padahal ia ber-I’tiqad (berkeyakinan) bahwa shalat itu walau bagaimanapun wajib bagi dirinya, maka tidak menjadi kafir, tetapi dosanya amatlah besar.

Pasal Ke tigapuluh lima
Shalat Berjama’ah

Shalat Berjama’ah (bersama-sama imam) bagi laki-laki itu lebih afdhal daripada munfarid (shalat sendiri).
Sedangkan bagi perempuan afdhalnya adalah shalat di rumahnya sekalipun munfarid (shalat sendiri), dan jikalau dapat dirumahnya itu berjama’ah dengan sama-sama perempuan atau mahramnya (yang tidak menjadikan ia haram) maka itu lebih afhal lagi.
Syarat-syarat Shalat Berjama’ah 10 (sepuluh) perkara:
1. Bahwa janganlah ma’mum meng-I’tiqadkan (berkeyakinan) bahwa Shalat imamnya itu batal, atau imamnya itu sedang shalat qadha’
2. Janganlah ma’mum mengikuti ma’mum.
3. Janganlah seorang imam itu tidak pandai mengucapkan huruf bacaan Al-Fatihah, atau imam menggantikan sesuatu huruf dengan huruf yang lain, misalnya: alhamdulillah diganti dengan khabasara, melainkan jika ma’mumnya saja yang melakukan kesalahan seperti itu.
4. Janganlah ma’mum labih maju berdirinya atau duduknya daripada imam.
5. Janganlah ma’mum laki-laki mengikuti imam perempuan atau banci, akan tetapi perempuan atau banci sah mengikuti imam laki-laki.
6. Berniat (didalam hati) oleh ma’mum akan ma’muman (mengikuti imam) sewaktu di Takbirathul Ihram.
7. Bahwa ma’mum mengetahui akan imamnya ketika ruku’, sujud, duduk dan lainnya, dengan melihat padanya atau mendengar suara imamnya takbir intiqal (mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ) atau dengan takbir Muballigh (maksudnya suara bilal atau yang mengeraskan suara imam), atau melihat pada sebahagian ma’mum akan ruku’ sujudnya.
8. Jangan ada palang (penghalang) yang mencegah orang untuk berjalan antara tempat imam dan tempat ma’mum. Misalnya antara imam dan ma’mum dihalangi oleh bambu yang melintang, pintu tertutup, atau bale-bale yang tinggi, yang karena tingginya itu mencegah akan orang yang berjalan sebagaimana biasa orang yang berjalan, melainkan ia harus dengan sangat menunduk atau melompat.
9. Ma’mum wajib mengikuti gerakan imamnya, maka afdhalnya adalah jika imam telah sampai di batas ruku’ maka barulah ma’mum ruku’, dan jika imam telah sampai di batas berdiri maka barulah ma’mum bangkit daripada ruku’, dan jika imam telah sampai di batas sujud maka barulah ma’mum turun sujud, demikian pula pada rukun-rukun yang lain.
a. Makruh hukumnya bagi ma’mum membarengi gerakan imam dalam shalat, dan haram hukumnya mendahulukan imam pada satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika mendahulukan imam dengan dua rukun fi’li.
b. Makruh hukumnya bagi ma’mum bila tertinggal gerakan imam dengan tiada uzur hingga imam mendapat satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika tertinggal gerakan imam dengan dua rukun fi’li jika ketiadaan uzur.
c. Adapun jika ada uzur seumpama ma’mum lambat membaca Al-Fatihah dan Imamnya terlalu cepat membacanya, atau ma’mum terlupa membaca Al-Fatihah maka setelah imamnya ruku’ barulah ma’mum ingat, atau ma’mum yang muwaffak membaca do’a istiftah dan imamnya ruku’ sebelum ma’mum membaca Al-Fatihah, maka dengan salah satu uzur dalam kondisi yang tersebut ini boleh ma’mum ketinggalan daripada imamnya karena menghabiskan bacaan Al-Fatihah hingga imamnya bangkit daripada sujud yang kedua.
10. Jangan berlawanan gerakan ma’mum dengan gerakan imamnya dengan perbedaan yang sangat berbeda (mencolok) dilihatnya, yaitu seumpama imam sujud tilawah atau sujud sahwi maka tidak diikuti oleh ma’mum akan sujud tilawah atau sujud sahwi itu. Perbedaan gerakan oleh sebab yang demikian itu akan menjadi batal shalat ma’mum jika ia tidak berniat mufarraqah (berpisah dari imam).

Artinya muwaffak: yaitu makmum yang memulai didalam pendirian shalatnya bersama-sama imam, dimana waktu yang yang didapat ma’mum cukup muat untuk membaca Al-Fatihah seluruhnya.
Artinya Masbuk: yaitu ma’mum yang tidak mendapatkan waktu yang cukup membaca Al-Fatihah seluruhnya kecuali hanya takbiratul ihram atau mendapatkan imamnya lagi ruku’.
Ketentuan-ketentuan Masbuk:
1. Jika Masbuk mendapatkan imamnya lagi berdiri, maka sesudahnya ma’mum takbiratul ihram harus segera ia membaca Al-Fatihah dengan tidak perlu membaca اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ atau do’a istiftah lagi, karena apabila imam ruku’ sedangkan ma’mum belum menyelesaikan Al-Fatihah, maka ia boleh langsung mengikuti imamnya untuk ruku. Dan ma’mum mendapatkan raka’at itu.
2. Apabila Masbuk mendapatkan imam lagi ruku’, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram ia langsung ruku’ mengikuti imam dengan sunnah membaca takbir intiqal (اَللهُ اَكْبَرُ), maka jika ma’mum mendapatkan thuma’ninah (diam sekedar سُبْحَانَ اللهِ) bersama-sama imam di dalam ruku’ itu, maka dapatlah ma’mum akan raka’at itu.
Akan tetapi bilamana ma’mum tidak mendapatkan thuma’ninah itu bersama-sama imam (misalnya ma’mum ruku’ bersamaan imamnya I’tidal) maka ma’mum tidak mendapatkan raka’at itu.
3. Adapun jikalau Masbuk mendapatkan imam lagi sujud atau lagi duduk antara dua sujud atau lagi tasyahhud, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram, dia langsung mengikuti imam dimana adanya dengan tidak membaca takbir intiqal lagi. Dan ma’mum dalam hal ini tidak mendapatkan raka’at itu.



Pasal Ke tigapuluh enam
Shalat Qashar dan Jama’

Arti Qashar adalah: Mengurangi 2 (dua) raka’at daripada shalat (yang empat raka’at) seperti Shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’.
Arti Jama’ adalah: menggabungkan dua shalat fardhu didalam satu waktu.
Syarat-syarat Qashar 7 perkara:
1. Mengetahui akan harusnya bagi orang yang berlayar (musafir/bepergian) yang perjalanannya itu berjarak dua marhalah yaitu perjalanan 90 pal (kilometer).
2. Jangan kurang kadar jarak pelayarannya itu dari yang ditentukan diatas itu.
3. Pelayarannya itu bukan dengan maksud maksiat (piknik maksiat misalnya mau nonton bola)
4. Qasadnya (tempat yang akan dituju) pada tempat yang sudah ditentukan sebelumnya.
5. Niat Qashar di dalam takbiratul ihram.
6. Jangan mengikuti imam yang sedang shalat tamam (shalat yang lengkap/biasa).
7. Senantiasa pelayarannya itu hingga akhir shalat.

Arti Jama’ Taqdim yaitu: mendahulukankan Shalat Asyar diwaktu Zhuhur atau mendahulukankan Shalat Isya’ diwaktu Maghrib.
Maka syaratnya ada 4 perkara:
1. Mendahulukan shalat Zhuhur baru kemudian Asyar atau mendahulukan shalat Maghrib baru kemudian Isya’.
2. Niat Jama’ di dalam shalat yang didahulukan itu (didalam shalat Zhuhur atau shalat Maghrib), dengan mengatakan di dalam hatinya saja: “sahjaku menjama’ shalat Ashar di waktu Zhuhur” atau “sahjaku menjama’ shalat Isya diwaktu Maghrib”.
3. Segera melakukan shalat antara keduanya (maksudnya setelah salam shalat Zhuhur langsung takbiratul ihram lagi untuk shalat Ashar)
4. Senantiasa pelayarannya (perjalanannya) itu hingga habis waktu untuk takbiratul ihram shalat yang kedua (shalat Ashar atau Isya’).

Arti Jama’ Ta’khir yaitu: menta’khirkan shalat Zhuhur di waktu Asyar atau menta’khirkan shalat Maghrib di waktu Isya’.
Maka syaratnya ada 2 perkara:
1. Niat menta’khirkan diwaktu yang awal (misalnya di waktu Zhuhur tetapi diluar shalat atau di waktu Maghrib tetapi diluar shalat) dan sunnah berlafaz akan niat itu sebagai berikut:

نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ.

Artinya: Aku niat menta’khirkan Zhuhur kepada Ashar.
Atau:

نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الْمَغْرِبِ إِلَى الْعِشَآءِ

Artinya: Aku niat menta’khirkan Maghrib kepada Isya’
2. Senantiasa pelayarannya (perjalanannya) itu hingga shalat yang kedua. (shalat Ashar atau Isya tetapi cukup waktunya untuk melakukan shalat jama’ tersebut).

No comments: