Sunday, July 29, 2007
Cinta Tuhan, cinta sesama
mencintai Tuhan dengan mencintai manusia, mari menyitir kisah seorang sufi, Abu Ben Adhim. Suatu malam, Abu Ben Adhim terbangun dari mimpinya yang indah.
Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?" Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan." "Adakah namaku di situ?" kata Abu. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia." Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abu Ben Adhim diatas semua nama.
Abu Ben Adhim mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan.
Baik Abu Ben Adhim maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya.
Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, "Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku." Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum." Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, "Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku." Ketika hamba-hamba-Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, "Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya." (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah).
Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf, bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.
Abu Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, "Sejak dahulu katak dapat melakukannya!" Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, "Lalat dapat melakukannya lebih baik." Muridnya bertanya, "Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?" Ia menjawab, "Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya."
Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, kaum sufi banyak menyerap dari berbagai hikmah yang bisa diteladani demi meningkatkan kemuliaan diri (tahdzib al-akhlaq). Prinsip sufistik selaras sabda Nabi Muhammad:”ambilah hikmah dari mana datangnya.” Kaum sufi juga belajar jalan cinta dari kisah Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami."
Dengan marah Musa menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?" Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang."
Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. "Saya lapar sekali," katanya kepada Musa. "Berilah aku makanan." Musa berkata, "Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan." Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.
Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, "Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan."
"Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa," kata Musa.
"Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku."
Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.
Dalam Al-Quran juga ada perintah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yangmenghinakan."(QS.Al-Nisa’,36-37)
Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari "shadaqa", yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. "Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan," sabda Nabi Muhammad SAW.
Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.
Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul, Turki.
Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.
Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, "Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut.."
Penulis adalah redaktur Majalah MataAir
Dan ia lihat, di ruangan dalam cahaya terang rembulan, yang gemerlap ceria seperti bunga lili yang sedang merekah, seorang malaikat menulis pada kitab emas. Ketenteraman jiwa membuatnya berani berkata kepada sang Sosok di kamarnya, "Apa yang sedang kamu tulis?" Bayangan terang itu mengangkat kepalanya dan dengan pandangan yang lembut dan manis ia berkata, "Nama-nama mereka yang mencintai Tuhan." "Adakah namaku di situ?" kata Abu. "Tidak. Tidak ada," jawab malaikat. Abu berkata dengan suara lebih rendah, tapi tetap ceria, "Kalau begitu aku bermohon, tuliskan aku sebagai orang yang mencintai sesama manusia." Malaikat menulis dan menghilang. Pada malam berikutnya ia datang lagi dengan cahaya yang menyilaukan dan memperlihatkan nama-nama yang diberkati cinta Tuhan. Aduhai! Nama Abu Ben Adhim diatas semua nama.
Abu Ben Adhim mungkin lahir di negara yang sekarang ini disebut Afganistan. Ia tidak begitu dikenal dibandingkan dengan teman senegaranya, Jalaluddin Balkhi (alias Rumi). Tetapi, keduanya menekankan pentingnya kecintaan kepada Tuhan sebagai hakikat keberagamaan.
Baik Abu Ben Adhim maupun Rumi percaya bahwa kita tidak bisa mencintai Tuhan tanpa mencintai sesama manusia. Mereka menegaskan kembali apa yang dikatakan Tuhan kepada hamba-Nya pada hari kebangkitan: pada hari kiamat, Tuhan memanggil hamba-hamba-Nya.
Ia berkata kepada salah seorang di antara mereka, "Aku lapar, tapi kamu tidak memberi makan kepada-Ku." Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kamu tidak memberiku minum." Ia berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, "Aku sakit, tapi kamu tidak menjenguk-Ku." Ketika hamba-hamba-Nya mempertanyakan semuanya ini, Ia menjawab, "Sungguh si fulan lapar; jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan sakit; jika kamu mengunjunginya, kamu akan menemukan Aku bersamanya. Si fulan haus; jika kamu memberinya minum, kamu akan menemukan Aku bersamanya." (Ibn Arabi sering mengutip hadis ini dalam Al-Futuhat al-Makkiyah).
Ketika seorang murid baru mengikuti tarekat, syaikh-nya akan mengajarinya untuk menjalankan tiga tahap latihan rohaniah selama tiga tahun. Ia baru diizinkan mengikuti Jalan Tasawuf, bila ia lulus melewatinya. Tahun pertama adalah latihan berkhidmat kepada sesama manusia. Tahun kedua beribadat kepada Tuhan, dan tahun ketiga mengawasi hatinya sendiri. Kita tidak bisa beribadat kepada Tuhan sebelum kita berkhidmat kepada sesama manusia. Menyembah Allah adalah berkhidmat kepada makhluk-Nya.
Abu Said Abul Khayr terkenal sebagai sufi yang pertama kali mendirikan tarekat sufi. Ketika salah seorang pengikutnya menceritakan seorang suci yang dapat berjalan di atas air, ia berkata, "Sejak dahulu katak dapat melakukannya!" Ketika muridnya kemudian menyebut orang yang dapat terbang, ia menjawab singkat, "Lalat dapat melakukannya lebih baik." Muridnya bertanya, "Guru, gerangan apakah ciri kesucian itu?" Ia menjawab, "Cara terbaik untuk mendekati Tuhan adalah melakukan perkhidmatan sebaik-baiknya kepada sesama manusia, memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya."
Mungkin karena perhatiannya yang sangat besar pada cinta kasih, kaum sufi banyak menyerap dari berbagai hikmah yang bisa diteladani demi meningkatkan kemuliaan diri (tahdzib al-akhlaq). Prinsip sufistik selaras sabda Nabi Muhammad:”ambilah hikmah dari mana datangnya.” Kaum sufi juga belajar jalan cinta dari kisah Musa. Seorang syaikh menyampaikan cerita berikut ini, Kaum Bani Israil satu kali mendatangi Musa, "Wahai Musa, kami ingin mengundang Tuhan untuk menghadiri jamuan makan kami. Bicaralah kepada Tuhan supaya Dia berkenan menerima undangan kami."
Dengan marah Musa menjawab, "Tidakkah kamu tahu bahwa Tuhan tidak memerlukan makanan?" Tetapi, ketika Musa menaiki bukit Sinai, Tuhan berkata kepadanya, "Kenapa tidak engkau sampaikan kepada-Ku undangan itu? Hamba-hamba-Ku telah mengundang Aku. Katakan kepada mereka, Aku akan datang pada pesta mereka Jumat petang."
Musa menyampaikan sabda Tuhan itu kepada umatnya. Berhari-hari mereka sibuk mempersiapkan pesta itu. Pada Jumat sore, seorang tua tiba dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh. "Saya lapar sekali," katanya kepada Musa. "Berilah aku makanan." Musa berkata, "Sabarlah, Tuhan Rabbul Alamin akan datang. Ambillah ember ini dan bawalah air ke sini. Kamu juga harus memberikan bantuan." Orang tua itu membawa air dan sekali lagi meminta makanan. Tapi tak seorang pun memberikan makanan sebelum Tuhan datang. Hari makin larut, dan akhirnya orang-orang mulai mengecam Musa yang mereka anggap telah memperdayakan mereka.
Musa menaiki bukit Sinai dan berkata, "Tuhanku, saya sudah dipermalukan di hadapan setiap orang karena Engkau tidak datang seperti yang Engkau janjikan." Tuhan menjawab, "Aku sudah datang. Aku telah menemui kamu langsung, bahkan ketika Aku bicara kepadamu bahwa Aku lapar, kau menyuruh Aku mengambil air. Sekali lagi Aku minta, dan sekali lagi engkau menyuruh-Ku pergi. Baik kamu maupun umatmu tidak ada yang menyambut-Ku dengan penghormatan."
"Tuhanku, seorang tua memang pernah datang dan meminta makanan, tapi ia hanyalah manusia biasa," kata Musa.
"Aku bersama hamba-Ku itu. Sekiranya kamu memuliakan dia, kamu memuliakan Aku juga. Berkhidmat kepadanya berarti berkhidmat kepada-Ku. Seluruh langit terlalu kecil untuk meliputi-Ku, tetapi hanya hati hamba-Ku yang dapat meliputi-Ku. Aku tidak makan dan minum, tetapi menghormati hamba-Ku berarti menghormati Aku. Melayani mereka berarti melayani Aku."
Berbakti kepada sesama manusia bukanlah kewajiban sekelompok orang. Setiap Muslim apa pun jenis kelamin, usia, dan status sosialnya berkewajiban memperlakukan semua orang dengan baik.
Dalam Al-Quran juga ada perintah, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbaktilah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Kami telah menyediakan orang-orang kafir seperti itu, siksa yangmenghinakan."(QS.Al-Nisa’,36-37)
Tindakan membahagiakan orang lain disebut sebagai shadaqah. Kata ini berasal dari "shadaqa", yang berarti benar sejati atau tulus. Orang yang bersedekah adalah orang yang imannya tulus. Sedekah tidak selalu berbentuk harta atau uang. "Termasuk sedekah adalah engkau tersenyum ketika berjumpa dengan saudaramu, atau engkau singkirkan duri dari jalanan," sabda Nabi Muhammad SAW.
Untuk bisa menolong orang lain dengan tulus, kita memerlukan kecintaan tanpa syarat (unconditional love) kepada semua orang. Cinta inilah yang dimasukkan sebagai fitrah dalam hati kita. Cinta ini adalah seperseratus dari Rahmat Allah yang dijatuhkan Tuhan di Bumi.
Alkisah, bertahun-tahun yang lalu, seorang ibu dari salah seorang sultan dari Khilafah Utsmaniyah membaktikan hidupnya untuk kegiatan amal saleh. Ia membangun masjid, rumah sakit besar, dan sumur-sumur umum untuk daerah permukiman yang tidak punya air di Istanbul, Turki.
Pada suatu hari, ia mengawasi pembangunan rumah sakit yang dibiayai sepenuhnya dari kekayaannya. Ia melihat ada semut kecil jatuh pada adukan beton yang masih basah. Ia memungut semut itu dan menempatkannya pada tanah yang kering.
Tidak lama setelah itu, ia meninggal dunia. Kepada banyak kawannya, ia muncul dalam mimpi mereka. Ia tampak bersinar bahagia dan cantik. Kawan-kawannya bertanya, apakah ia masuk ke surga karena sedekah-sedekah yang dilakukannya ketika masih hidup? Ia menjawab, "Saya tidak masuk surga karena semua sumbangan yang sudah aku berikan. Saya masuk surga karena seekor semut.."
Penulis adalah redaktur Majalah MataAir
Tarekat Awam Dan Tarekat Khos
Dalam wacana Syadziliyah ada tahap dimana, para penempuh jalan Sufi melakukan melalui dua metode:
Metode pertama melalui cara yang ditempuh khalayak awam (umum) dan ada pula yang ditempuh oleh khalayak khusus (Khos). Pandangan awam maupun Khos di sini, tidak bersifat sosiologis maupun intelektual. Tetapi bersifat spiritual. Penentuan seseorang melalui sistem Awam atau pun Khos, hanyalah bentuk penempuhan itu sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur’an ada istilah al-Muhibbin dan Al-Mahbubin, ada ash-Shiddiqin dan ada pula ash-Shadiqin. Konteks lain dari istilah Sufi, ada proses yang bersifat Al-Murid ada juga dengan proses Al-Murad. Jadi kategori di atas hanyalah kategori proses penempuhannya. Karena itu dibutuhkan Mursyid Kamil Mukammil untuk membimbing, masing-masing terhadap kedua proses di atas.
Dalam Al-Mafakhir, dikutip ucapan asy-Syadzily tentang kategori penempuhan di atas, beliau mengatakan secara panjang lebar:
“Perlu diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki hasrat. Dan mereka itulah kalangan elit atau Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia. Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena baik Nabi maupun para Rasul dari ummat ini, pasti mempunyai pewaris, dan setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi saw, bersabda, “ Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan posisi dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, semedntara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah swt, sudah berfirman, “Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya”. Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa menyertai Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya.
Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai para Abdal (pengganti) bagi para Nabi Bagian kedua, adalah pengganti para Rasul.
Abdal para Nabi disebut sebagai kalangan Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka dari mereka, dan dari mereka pula. Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi langsung dari Rasulullah saw, yang mereka saksikan dengan pandangan keyakinan.
Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakkatnya cukup banyak. Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah saw,. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materinya itu, bahkan , mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat kecuali hanya pada “waktunya”.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang memalui cahaya itu, dan mengenal urusannya secara hakikat. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik (umum). Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat elit yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu Nafsu. Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan, Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Kalbu. Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” dalam dunia ma’rifatnya. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh. Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-caha keyakinan, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai keyakinannya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang berlalu itu. Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur keyakinan. Maka ia menyaksikan adanya yang dimaujudkan tanpa batas dan pangkal, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.
Matahari itu adalah akal yang lazim, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya keyakinan. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.” Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud. Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebutkan, “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada bolh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya melainkan oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain yang mengenalnya.” Kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr.
Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga. Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dengan Allah, karena yang Dicintai justru dari tirai (hijab), dari Allah, beserta Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.” Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakannya menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin) , sebagai para Badal Nabi.
Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya.
Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah padaMuhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat besar adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi. Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya. Para hamba itu hidup melalui PemumunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana.
Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalaui Sirr itu) kalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melalaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam. Kemudian muncullah AkalNya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu ) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah RuhNya melalui AkalNya, dan melalui RuhNya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri. Lalu muncul jiwanya melalui kalbuNya, lalu muncullah melalui jiwaNya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Caha Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui JiwaNya di dalam JiwaNya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang jiwanya pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah.
Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri. Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan – tanpa harus pindah – ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli , lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Kalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah. Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Malakiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah.
Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai ganti dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh pengganti Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Proyeksi yang dijadikan ilustrasi di atas sekaligus menggambarkan bagaimana tahapan spiritual, namun sekaligus juga maqam dan haal ruhani para Sufi. Lebih dari itu menggambarkan peta dunia metafisis dan struktur Wujud itu sendiri dalam perspektif teosofis.
Metode pertama melalui cara yang ditempuh khalayak awam (umum) dan ada pula yang ditempuh oleh khalayak khusus (Khos). Pandangan awam maupun Khos di sini, tidak bersifat sosiologis maupun intelektual. Tetapi bersifat spiritual. Penentuan seseorang melalui sistem Awam atau pun Khos, hanyalah bentuk penempuhan itu sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur’an ada istilah al-Muhibbin dan Al-Mahbubin, ada ash-Shiddiqin dan ada pula ash-Shadiqin. Konteks lain dari istilah Sufi, ada proses yang bersifat Al-Murid ada juga dengan proses Al-Murad. Jadi kategori di atas hanyalah kategori proses penempuhannya. Karena itu dibutuhkan Mursyid Kamil Mukammil untuk membimbing, masing-masing terhadap kedua proses di atas.
Dalam Al-Mafakhir, dikutip ucapan asy-Syadzily tentang kategori penempuhan di atas, beliau mengatakan secara panjang lebar:
“Perlu diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki hasrat. Dan mereka itulah kalangan elit atau Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia. Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena baik Nabi maupun para Rasul dari ummat ini, pasti mempunyai pewaris, dan setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi saw, bersabda, “ Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan posisi dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, semedntara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah swt, sudah berfirman, “Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang lainnya”. Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa menyertai Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya.
Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai para Abdal (pengganti) bagi para Nabi Bagian kedua, adalah pengganti para Rasul.
Abdal para Nabi disebut sebagai kalangan Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka dari mereka, dan dari mereka pula. Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi langsung dari Rasulullah saw, yang mereka saksikan dengan pandangan keyakinan.
Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakkatnya cukup banyak. Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah saw,. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materinya itu, bahkan , mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani (haal) sampai tidak lagi melihat kecuali hanya pada “waktunya”.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang memalui cahaya itu, dan mengenal urusannya secara hakikat. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.
Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik (umum). Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat elit yang sulit dicerna akal biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu Nafsu. Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan, Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Kalbu. Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” dalam dunia ma’rifatnya. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh. Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-caha keyakinan, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai keyakinannya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang berlalu itu. Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur keyakinan. Maka ia menyaksikan adanya yang dimaujudkan tanpa batas dan pangkal, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.
Matahari itu adalah akal yang lazim, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya keyakinan. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.” Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud. Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebutkan, “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada bolh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya melainkan oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain yang mengenalnya.” Kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr.
Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga. Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dengan Allah, karena yang Dicintai justru dari tirai (hijab), dari Allah, beserta Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.” Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakannya menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin) , sebagai para Badal Nabi.
Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya.
Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah padaMuhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat besar adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi. Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya. Para hamba itu hidup melalui PemumunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana.
Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalaui Sirr itu) kalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melalaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam. Kemudian muncullah AkalNya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu ) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah RuhNya melalui AkalNya, dan melalui RuhNya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri. Lalu muncul jiwanya melalui kalbuNya, lalu muncullah melalui jiwaNya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Caha Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui JiwaNya di dalam JiwaNya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang jiwanya pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah.
Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri. Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan – tanpa harus pindah – ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli , lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Kalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah. Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Malakiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah.
Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai ganti dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh pengganti Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Proyeksi yang dijadikan ilustrasi di atas sekaligus menggambarkan bagaimana tahapan spiritual, namun sekaligus juga maqam dan haal ruhani para Sufi. Lebih dari itu menggambarkan peta dunia metafisis dan struktur Wujud itu sendiri dalam perspektif teosofis.
Masuknya Waswas ke dalam Perut Anak-anak Adam (as)
Suatu hari Nabi Adam (as) harus meninggalkan rumah untuk melakukan suatu urusan dan beliau memerintahkan kepada Hawa agar tidak membiarkan seorang pun masuk ke dalam rumah. "Setan ada dimana-mana," ujar Nabi Adam (as), "dan setan mungkin saja mampir untuk berbincang dan menipumu. Jangan biarkan seorang pun masuk sama sekali sampai aku kembali."
Ketika Nabi Adam (as) telah pergi, seorang wanita datang dan berkata kepada Hawa, "Aku sedang dalam perjalanan menuju pasar, tolong jaga anakku ini saat aku pergi." Hawa menanggapi permintaan wanita itu, "Wahai saudaraku. Suamiku dengan keras melarang agar aku tidak membiarkan seorang pun masuk ke rumah." Tetapi wanita itu terus menerus bersikeras sehingga Hawa akhirnya menyerah dan membiarkan anak laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Anak laki-laki itu sangatlah nakal dan melakukan semua jenis kenakalan, dan ketika Adam (as) tiba dirumah, langsung menyadari bahwa anak laki-laki itu adalah Setan, lalu beliau membunuhnya. Setelah beberapa saat si wanita tadi datang lagi dan bertanya, "Dimanakah anakku?" Mereka menjawab, "Dia sudah pergi, kami tidak tahu kemana." Jadi, si wanita itu mulai berseru, "Oh Waswas (sinonim untuk setan, sifat jahat yang menyusup)- oh Waswas, dimanakah engkau?" Tulang belulang anak itu menjawab, "Ibu, aku disini!" karena anak laki-laki tersebut setan. Si wanita mengambilnya dan pergi.
Hari berikutnya Nabi Adam (as) memberi peringatan lagi kepada istrinya agar tidak memberikan seorang pun masuk. Sesaat setelah Adam (as) pergi, si wanita datang lagi dan meminta Hawa untuk menjaga anaknya. Tapi Hawa menolak dan tidak mau mengurusinya. Si wanita dengan paksa meletakkan anak laki-laki didepan Hawa dan pergi. Ketika Adam (as) kembali ke rumah, beliau amat sangat marah melihat Hawa tidak mematuhinya, dan Adam (as) berteriak dan memukuli Hawa. Akhirnya Adam (as) membunuh anak itu dan memasukkan mayatnya ke dalam sumur. Ketika si wanita kembali untuk menjemput anaknya, mereka berkata, "Dia sudah pergi, kami tidak tahu apa yang terjadi dengannya." Kali ini si wanita berseru, "Wahai Waswas al Khannas (julukan bagi setan, yang mundur apa bila nama Allah disebutkan), dimana engkau?," dan tulang belulangnya kembali hidup lagi, dan pulang dengan ibunya.
Lagi-lagi, keesokkan harinya si wanita kembali muncul dihadapan Hawa dan memohon agar dapat meninggalkan anaknya dalam pengawasan Hawa, tapi Hawa mengusirnya dan tidak mau menjaga anak itu. Hawa berkata, "Pergilah, suamiku marah dan memukuliku karena kamu, dia menjadi liar ketika melihat anakmu –aku tidak mau menjaganya, tidak lagi." Tapi secara diam-diam si wanita menyembunyikan anaknya di dalam rumah dan Hawa tidak tahu tentang hal ini. Ketika Adam (as) tiba di rumah, beliau menjadi beringas saat menemukan anak laki-laki itu laki didalam rumah dan Hawa protes bahwa dia tidak mengetahui tentang hal itu, anak laki-laki itu telah ditinggalkan dirumah tanpa persetujuan Hawa. Jadi, Adam (as) membunuhnya sekali lagi, menaruh mayatnya ke dalam panci, memasaknya dan kemudian mereka memakannya. Setelah selesai mereka makan, si wanita datang dan ingin mengambil anaknya. Mereka berkata, "Dia sudah pergi." Si wanita memanggil-manggil, "Dimanakah engkayu, wahai Waswas al Khannas?" Waswas menjawab, "Wahai ibuku, aku ada didalam perut anak-anak Adam." "Oh," jawab ibunya, "itulah tempat yang baik bagimu, kamu boleh tinggal disana…."
Ketika Nabi Adam (as) telah pergi, seorang wanita datang dan berkata kepada Hawa, "Aku sedang dalam perjalanan menuju pasar, tolong jaga anakku ini saat aku pergi." Hawa menanggapi permintaan wanita itu, "Wahai saudaraku. Suamiku dengan keras melarang agar aku tidak membiarkan seorang pun masuk ke rumah." Tetapi wanita itu terus menerus bersikeras sehingga Hawa akhirnya menyerah dan membiarkan anak laki-laki itu masuk ke dalam rumah. Anak laki-laki itu sangatlah nakal dan melakukan semua jenis kenakalan, dan ketika Adam (as) tiba dirumah, langsung menyadari bahwa anak laki-laki itu adalah Setan, lalu beliau membunuhnya. Setelah beberapa saat si wanita tadi datang lagi dan bertanya, "Dimanakah anakku?" Mereka menjawab, "Dia sudah pergi, kami tidak tahu kemana." Jadi, si wanita itu mulai berseru, "Oh Waswas (sinonim untuk setan, sifat jahat yang menyusup)- oh Waswas, dimanakah engkau?" Tulang belulang anak itu menjawab, "Ibu, aku disini!" karena anak laki-laki tersebut setan. Si wanita mengambilnya dan pergi.
Hari berikutnya Nabi Adam (as) memberi peringatan lagi kepada istrinya agar tidak memberikan seorang pun masuk. Sesaat setelah Adam (as) pergi, si wanita datang lagi dan meminta Hawa untuk menjaga anaknya. Tapi Hawa menolak dan tidak mau mengurusinya. Si wanita dengan paksa meletakkan anak laki-laki didepan Hawa dan pergi. Ketika Adam (as) kembali ke rumah, beliau amat sangat marah melihat Hawa tidak mematuhinya, dan Adam (as) berteriak dan memukuli Hawa. Akhirnya Adam (as) membunuh anak itu dan memasukkan mayatnya ke dalam sumur. Ketika si wanita kembali untuk menjemput anaknya, mereka berkata, "Dia sudah pergi, kami tidak tahu apa yang terjadi dengannya." Kali ini si wanita berseru, "Wahai Waswas al Khannas (julukan bagi setan, yang mundur apa bila nama Allah disebutkan), dimana engkau?," dan tulang belulangnya kembali hidup lagi, dan pulang dengan ibunya.
Lagi-lagi, keesokkan harinya si wanita kembali muncul dihadapan Hawa dan memohon agar dapat meninggalkan anaknya dalam pengawasan Hawa, tapi Hawa mengusirnya dan tidak mau menjaga anak itu. Hawa berkata, "Pergilah, suamiku marah dan memukuliku karena kamu, dia menjadi liar ketika melihat anakmu –aku tidak mau menjaganya, tidak lagi." Tapi secara diam-diam si wanita menyembunyikan anaknya di dalam rumah dan Hawa tidak tahu tentang hal ini. Ketika Adam (as) tiba di rumah, beliau menjadi beringas saat menemukan anak laki-laki itu laki didalam rumah dan Hawa protes bahwa dia tidak mengetahui tentang hal itu, anak laki-laki itu telah ditinggalkan dirumah tanpa persetujuan Hawa. Jadi, Adam (as) membunuhnya sekali lagi, menaruh mayatnya ke dalam panci, memasaknya dan kemudian mereka memakannya. Setelah selesai mereka makan, si wanita datang dan ingin mengambil anaknya. Mereka berkata, "Dia sudah pergi." Si wanita memanggil-manggil, "Dimanakah engkayu, wahai Waswas al Khannas?" Waswas menjawab, "Wahai ibuku, aku ada didalam perut anak-anak Adam." "Oh," jawab ibunya, "itulah tempat yang baik bagimu, kamu boleh tinggal disana…."
Bumi ini Cukup Besar Bagi Ummat Manusia untuk Menyebar, Menemukan Kedamaian dan Kebahagiaan
Semoga Allah mengampuni kita! Berusahalah menggapai ampunan dari Allah yang Maha Kuasa! Jika kau tidak mencapai pengampunan, (maka tidak ada) berkah, tidak ada kasih sayang, tidak ada Surga, tidak ada kedamaian, tidak ada kesenangan, tidak ada kehidupan abadi. Oleh karenanya tujuan utama bagi manusia harusnya berusaha: Apa yang dapat aku lakukan agar Tuhan-ku ridho kepadaku? Bagaimana caranya agar aku sanggup mengusir Amarah, Amarah Surgawi dariku? Karena kini Amarah surgawi…ada angin topan, angin yang memutar, mengambil (semuanya) ke atas..itulah awal angin topan itu, angin topan yang menakutkan, jadi manusia akan berlarian sambil menangis,"'Aina-l mafar? 'Aina-l mafar? 'Aina-l mafar? Kemana aku bisa pergi?"
Dan "...'Ardu-llahi wasi'a..."; bumi ini begitu luas, begitu besar, kau tidak bisa membayangkanya! Tidak seorang pun dapat mencapai titik terakhir dari tiap benua; jika seseorang lari untuk mencari dan melihat akhir dari benua, maka hal itu tidaklah mungkin, kau bisa berlari, tapi kau tidak bisa menemukannya. Dan: "...'Ardu-llahi wasi'a..." artinya, Allah yang Maha Kuasa menjadikan dunia ini begitu besar, tapi, wahai orang-orang beriman, siapa yang percaya dengan Allah yang Maha Kuasa bahwa Dia-lah Sang Pencipta dan Dia yang menciptakan manusia pertama dan Dia memberikan akomodasi baginya dimuka planet ini.
Dunya- Dia berkata bahwa ini adalah Dunya, planet ini begitu besar, jika Allah berfirman, " 'Ardu-llahi wasi'a "- bumi yang Dia ciptakan ini dan (dimana Dia) menaruh kalian untuk hidup di muka bumi sampai suatu periode tertentu- (Dia) berfirman: "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku membuat planet ini begitu luas, begitu besar: " 'Ardu-llahi wasi'a!"
Segala sesuatunya adalah milik Allah, kau tidak bisa memakai apapun untuk mengukurnya! Ilmuwan mana yang pernah kau dengar bahwa dia mengukur dunia ini dari satu titik ke titik lain? Wasi'a- begitu besar dan luas! Bukan hanya
(selama) hidupmu yang pendek, (bahkan) jika kau hidup hingga 70.000 (tahun)- namun kenyataanya kau hidup disini mungkin selama 50 tahun, 60 tahun, 80 tahun- (bahkan) jika Dia menjadikan usia hidupmu hingga 50.000 kali lebih lama, kau tidak sanggup (untuk mengukurnya). Jika Allah berfirman "wasi'a",
wasi'a (artinya): begitu besar, begitu luas.
Orang-orang berkata bahwa, "Kami baru saja mencapai akhir dunia ini dari arah Timur", beberapa dari mereka berkata bahwa: "Kami baru saja mencapai titik akhir bumi ini dari tempat terbenamnya matahari, dimana matahari turun."
Keduanya tidak pernah dapat bicara dengan sebuah keseimbangan yang tidak diragukan, tidak diragukan mengukur dari Timur atau dari Barat. Tapi, wahai manusia, Setan –Allah mengutuk setan- Dia menjadikan dunia yang begitu besar (menjadi kecil dan Dia) berfirman: "Ini begitu sempit; kau harus keluar dari perbatasan dalammu, karena tempatmu begitu kecil, sempit. Kau harus mencari negara yang lebih besar!"
Itulah yang setan sarankan kepada para sahabatnya. Dan aku tidak berpikir bahwa kau kini dapat mencari dimuka bumi bahkan satu dari % (?) untuk menyangkal setan dan berkata: "Kau salah! Dunya tidaklah sempit, dunya begitu besar, karena Tuhan kami berfirman: "'Ardu-llahi wasi'a"! Kau dapat mengukurnya, kau dapat mengukur hingga 100.000 km; (tapi) aku bisa saja berkata: 'Ukurlah lagi', maka kau akan mendapatkan hasil pengukuran 150.000 km! Dia-lah Tuhan, Dia dapat melakukan apa saja!"
Kau harus percaya atau seluruh Dunya akan menjadi bagaikan penjara bagimu!
Seperti sebuah kamar (seperti disini), jika kau terpenjara didalamnya, kau menjadi tidak bahagia dan (disana tidak akan ada) kedamaian bagimu, karena kau berkata: "Aku berada dalam tempat yang sempit." Dan jika aku membuatkan untukmu –ini sebuah desa- (jika) Aku berkata: "Kau…Aku tahu bahwa kau tidak begitu bahagia dan damai dalam balai ini, maka aku berikan kepadamu seluruh Lefke." Setelah beberapa lama –guru yang bodoh bagi manusia- guru dan teman bagi orang-orang bodoh (datang kepada mereka dan) berkata: "Untuk apa Lefke? Lefke? Disana ada beberapa tempat yang bisa aku kunjungi", jadi kau dapat lompat dari pulau ini (Siprus) ke pantai-pantai Suriah atau ke Turki… Kau mendapati: "Ini juga sudah selesai", mereka berkata: "Oh, kita harus mencari tempat lain, pantai-pantai di Yunani atau Mesir dan kemudian kau harus menetap disana" dan hingga ke Jepang, mereka akan berkata: "Oh, kami terpenjara!" Setan menjadikan manusia tidak percaya dan Allah berkata: "'Ardu-llahi wasi'a"; bumi yang kita tinggali , begitu besar sehingga kau tidak bisa mencapai titik akhir dari bumi ini! Tapi setan berkata: "Tidak, kau terpenjara di muka bumi! Kau harus melakukan sesuatu terhadap beberapa instrumen, yang akan membawamu dari bumi ke Mars!"
"Dimanakan Mars itu?"
Aku tanya, "Mars, apakah namanya tertulis diatasnya? Semua orang berkata bahwa 'Inilah Mars!' "
Ketika kau tiba di London, ini dituliskan- atau ke Larnaca, tertulis
'Bandar Udara Internasional Larnaca'... atau 'Bandar Udara Internasional Heathrow' (dan) kau akan memakami bahwa kau baru saja tiba di London atau kau tiba di Larnaca, atau kau tiba di Istanbul... (karena ini) ada tulisannya! Jika tidak dituliskan, kau tidak tahu. "Apa kau berkata: 'Inilah Mars'?"
Aku tanya, ""Apakah dituliskan diatasnya: 'Bandar Udara Internasional dalam Sistem Matahari (Solar System), kau telah tiba, selamat datang'? Apa itu?" Atau ketika tiba: "(Berikan kami) sebotol air, kami kehausan!"
"Wahai manusia, inilah Mars, kau dapat menemukan (disini/Mars) hanya sungai-sungai dari mineral yang meleleh, tidak ada lainnya!", tapi orang-orang tidak peduli dan meminta ingin pergi lebih jauh lagi ke dalam alam semesta, karena perasaan mereka mengatakan: "Ohhh, kami terpenjara di Lefke, di Larnaca, bagian bangsa Yunani, bagian bangsa Turki, Suriah, Lebanon, Mesir... kami berada dalam pejara, kami menginginkan tanah yang lebih besar!"
Mengapa? Mengapa kau mengklaim ini dan ketika Allah yang Maha Kuasa bersabda: "'Ardu-llahi wasi'a ", mengapa kau berlari ke luar dari dunia ini? Bumi (ini) tidak cukup bagimu? Tapi kau mencari gurumu dan sahabat baik setan, yang berkata kepada orang-orang: "Ini planet yang kecil, sempit, kau bisa mencari planet lain. Mungkin kau dapat membawa air dari bumi ke planet itu menggunakan pipa-pipa , kau dapat membuat diplanet itu taman-taman dan hutan dan gedung-gedung… kau harusnya berada disana dengan kondisi yang baik!" Itu semua adalah kebohongan yang lebih besar, lebih besar dari kebohongan lain!
Ini bohong dan kesalahan orang yang tidak percaya; ini menjadikan manusia terjerumus ke dalam masalah tidak terpecahkan yang tidak berkesudahan! Atau Dunya, jika kini ada 5 milyar orang yang hidup diatasnya, (bahkan) jika kini (ada) 50 milyar orang, mereka semua dapat hidup diatasnya, jika Allah berfirman: "'Ardu-llahi wasi'a ", bumi ini begitu besar!"
Dan Setan menjadikan manusia tidak mencapai kedamaian. Mereka berkata: "Ini tempat yang kecil, wilayah yang kecil! Mengapa wilayah bangsa Turki hanya bagian yang amat kecil?" Bangsa Yunani berkata: "Mengapa kita hidup di wilayah yang sedikit lebih besar di pulau ini (Siprus)?" Tidak seorang pun berkata: "Wilayah ini begitu besar!"
Kadang kala aku melihat dari satu sisi gunung ke sisi lain gunung dan aku berkata: "Ohhh, seandainya tidak ada mobil, bagaimana aku bisa tiba ke gunung itu dari sini?" Tapi –insan berperawakan kecil, tapi mata mereka tidak pernah puas dengan besarnya tanah mereka dimana mereka hidup diatasnya. Itu memberikan masalah. Setan selalu berkata: "Kau mempunyai wilayah yang sangat kecil; kau harus memperbesarnya…"
Bangsa Rusia, mempunyai setengah dari bumi ini, tapi mereka menginginkan bagian lain juga. Bangsa Amerika juga, mereka berkata: "Mengapa bangsa Rusia datang? (Wilayah kekuasaan) kita bisa saja mencapai titik akhir bumi ini." Tidak seorang pun dari mereka mencapai titik akhir yang lainnya, karena Allah bersabda: "'Ardu-llahi wasi'a ": Tanah dibumi dimana Allah yang Maha Kuasa mendaratkanmu untuk hidup diatasnya untuk beberapa waktu, (Dia) menjadikan bumi begitu lebar, begitu besar!
Wahai manusia, jika kau tidak bahagia disini, berpindahan dari Timur dan Barat! Kau dapat mencari tanah-tanah yang besar! Itulah sumber masalah dan perang dimana orang saling membunuh, karena mereka tidak percaya; tidak percaya kepada Allah yang Maha Kuasa, (melainkan) percaya kepada setan, "Setan adalah teman baik kami dan ajaran-ajarannya adalah ajaran terbaik! Kita tidak membutuhkan ajaran lain, Ajaran-ajaran surgawi, kami tidak peduli!"
Selama kau tidak peduli dengan Ajaran-ajaran surgawi, kami akan semakin dalam, dalam, dalam terjerumus dalam kegelapan; (ini) datang ke hatimu, datang ke matamu, datang ke pikiranmu dan kau tidak pernah menjadi bahagia!
Wahai manusia, berbahagialah dengan apa yang Allah Maha Kuasa telah anugerahkan kepadamu! Percayalah kepada Allah! Saat kau percaya kepada Allah, kau akan menggapai kepuasan dan kebahagiaan dalam dirimu! Itulah Surga bagimu, bagi pikiranmu, bagi hatimu, bagi tubuhmu. Jika tidak, kau tidak dapat menggapai kedamaian dalam pikiranmu, dalam hatimu, dalam bentuk fisikmu. Kau tidak bisa berkumpul di sebuah komunitas yang penuh damai dan memberikan respek kepada orang lain dan kau akan menemukan dirimu dikelilingi oleh Neraka!
Wahai manusia, jangan pergi ke universitas! Universitas mengubah pemikiranmu, karena universitas menentang Pengetahuan Suci yang datang dari para Nabi dari Surga. Karena universitas, pengajaran mereka adalah pengajaran setan; mereka selalu bertikai dengan Ajaran-ajaran surgawi yang para Nabi bawa! Apa yang aku katakan? Aku tidak berkata apa-apa! Ini merupakan titik yang sangaaat kecil sehingga kau dapat memahaminya: Dunya ini begitu besar, "('Ardu-llahi wasi'a)...fa taharraju fiha..."! Allah yang Maha Kuasa bersabda: "Jika kau mendapati dirimu berada dalam situasi yang sulit, larilah ke bagian lagi dunia ini; kau akan menemukan beberapa wilayah, beberapa tempat, yang memberikanmu atau seharusnya memberimu kesenangan dan kedamaian dan kemurnian dalam pikiran dan hatimu!"
Apa yang akan kita katakan? Orang-orang tidak mengikuti para Nabi, tapi mereka mengikuti ajaran setan dan mereka akan berada dalam situasi yang lebih buruk (seperti) yang dialami oleh ummat Nabi Nuh...
Huuu!... Wahai manusia, hampiri dan percayalah kepada Pencipta-mu, Tuhan Penguasa Surga, Sang Pencipta! Seluruh Nabi diutus untuk mengajarimu ajaran itul. Dan kau tidak menemukan kedamaian di Timur dan Barat selama mengikuti ajaran setan!
"Salamu-llah 'alaikum!" Allah memberikan Salam-Nya, selamat bagimu! Wahai manusia, percayalah kepada Tuhan-mu, Allah yang Maha Kuasa, lalu kau akan menggapai kepuasan di hatimu. Kau seharusnya bahagia, saat kau bangun, kau seharusnya bahagia, saat tidur- setiap kebajikan seharusnya mengejarmu! Tapi selama kau mengejar setiap kejahatan dan setan, maka masalah selalu mengejarmu, untuk menjadikamu tidak bahagia dan tidak damai…
Wahai manusia, datang dan percayalah Pencipta-mu, Allah, Jalla Jalaluh, Tuhan
Penguasa Surga!
Ini... hanya beberapa tahun tersisa bagi tanah kita mencapai stasiun terakhirnya. Wahai orang-orang, semua dari kita akan pergi ke Hadirat Illahiah untuk Pembalasan (kita)! Itulah hari Pembalasan –sipakan dirimu untuk menghadapi Hari itu! Jika Allah yang Maha Kuasa berkata: "Wahai manusia", jika kau tidak melakukannya, apa yang Dia katakan, Dia tidak berkata kepadamu: "Abdi, hamba-Ku", tidak! Barang siapa yang mengikuti Setan, Allah yang Maha Kuasa tidak pernah memanggil mereka dengan: "Datanglah, hamba-Ku!", tidak, (tapi Dia akan berkata): "Bawalah pergi hamba ini, (ini) hamba yang jahat! Bawa dia ke Setan karena dia mengikutinya! Dia bukanlah hamba-Ku, bawa dia pergi!"
Ini sudah cukup bagi seseorang sebagai sebuah ketidak hormatan ketika dikatakan baginya: "Bawalah makhluk yang Aku sudah ciptakan dalam bentuknya yang terbaik dan yang Aku hormati dia sebagai khalifah-Ku, wakil dimuka bumi, tapi dia tidak pernah percaya, tidak pernah memelihara kehormatan itu, kehormatan yang Aku berikan kepadanya! Bawalah hamba yang buruk ini agar bersama hamba buruk Setan lainnya!"
Wahai manusia! Dunya mendekati stasiun terakhirnya! Waspadalah terhadap setan, agar tidak menipu dan membawaku ke jalan Neraka! Jika kau suka! Jika kau suka, ambillah ajaran-ajaran setan, ikuti dia!
Semoga Allah mengampuni kita! Ini titik penting yang harus diketahui. Kau harus berusaha untuk mengajari anak-anakmu, mula-mula adalah siapakah mereka, untuk apa mereka diciptakan dan siapakah Tuhan mereka dan apa tugas mereka di muka bumi! Wahai manusia, jaga dirilah! Pikirkanlah, karena kini Dunya mengejar setan dan setan membawa mereka ke Neraka!
Semoga Allah mengampuni kami dan memberkahi kalian! Demi kehormatan hamba yang paling terhormat, Sayyidina Muhammad saw, Fatiha.
Dan "...'Ardu-llahi wasi'a..."; bumi ini begitu luas, begitu besar, kau tidak bisa membayangkanya! Tidak seorang pun dapat mencapai titik terakhir dari tiap benua; jika seseorang lari untuk mencari dan melihat akhir dari benua, maka hal itu tidaklah mungkin, kau bisa berlari, tapi kau tidak bisa menemukannya. Dan: "...'Ardu-llahi wasi'a..." artinya, Allah yang Maha Kuasa menjadikan dunia ini begitu besar, tapi, wahai orang-orang beriman, siapa yang percaya dengan Allah yang Maha Kuasa bahwa Dia-lah Sang Pencipta dan Dia yang menciptakan manusia pertama dan Dia memberikan akomodasi baginya dimuka planet ini.
Dunya- Dia berkata bahwa ini adalah Dunya, planet ini begitu besar, jika Allah berfirman, " 'Ardu-llahi wasi'a "- bumi yang Dia ciptakan ini dan (dimana Dia) menaruh kalian untuk hidup di muka bumi sampai suatu periode tertentu- (Dia) berfirman: "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku membuat planet ini begitu luas, begitu besar: " 'Ardu-llahi wasi'a!"
Segala sesuatunya adalah milik Allah, kau tidak bisa memakai apapun untuk mengukurnya! Ilmuwan mana yang pernah kau dengar bahwa dia mengukur dunia ini dari satu titik ke titik lain? Wasi'a- begitu besar dan luas! Bukan hanya
(selama) hidupmu yang pendek, (bahkan) jika kau hidup hingga 70.000 (tahun)- namun kenyataanya kau hidup disini mungkin selama 50 tahun, 60 tahun, 80 tahun- (bahkan) jika Dia menjadikan usia hidupmu hingga 50.000 kali lebih lama, kau tidak sanggup (untuk mengukurnya). Jika Allah berfirman "wasi'a",
wasi'a (artinya): begitu besar, begitu luas.
Orang-orang berkata bahwa, "Kami baru saja mencapai akhir dunia ini dari arah Timur", beberapa dari mereka berkata bahwa: "Kami baru saja mencapai titik akhir bumi ini dari tempat terbenamnya matahari, dimana matahari turun."
Keduanya tidak pernah dapat bicara dengan sebuah keseimbangan yang tidak diragukan, tidak diragukan mengukur dari Timur atau dari Barat. Tapi, wahai manusia, Setan –Allah mengutuk setan- Dia menjadikan dunia yang begitu besar (menjadi kecil dan Dia) berfirman: "Ini begitu sempit; kau harus keluar dari perbatasan dalammu, karena tempatmu begitu kecil, sempit. Kau harus mencari negara yang lebih besar!"
Itulah yang setan sarankan kepada para sahabatnya. Dan aku tidak berpikir bahwa kau kini dapat mencari dimuka bumi bahkan satu dari % (?) untuk menyangkal setan dan berkata: "Kau salah! Dunya tidaklah sempit, dunya begitu besar, karena Tuhan kami berfirman: "'Ardu-llahi wasi'a"! Kau dapat mengukurnya, kau dapat mengukur hingga 100.000 km; (tapi) aku bisa saja berkata: 'Ukurlah lagi', maka kau akan mendapatkan hasil pengukuran 150.000 km! Dia-lah Tuhan, Dia dapat melakukan apa saja!"
Kau harus percaya atau seluruh Dunya akan menjadi bagaikan penjara bagimu!
Seperti sebuah kamar (seperti disini), jika kau terpenjara didalamnya, kau menjadi tidak bahagia dan (disana tidak akan ada) kedamaian bagimu, karena kau berkata: "Aku berada dalam tempat yang sempit." Dan jika aku membuatkan untukmu –ini sebuah desa- (jika) Aku berkata: "Kau…Aku tahu bahwa kau tidak begitu bahagia dan damai dalam balai ini, maka aku berikan kepadamu seluruh Lefke." Setelah beberapa lama –guru yang bodoh bagi manusia- guru dan teman bagi orang-orang bodoh (datang kepada mereka dan) berkata: "Untuk apa Lefke? Lefke? Disana ada beberapa tempat yang bisa aku kunjungi", jadi kau dapat lompat dari pulau ini (Siprus) ke pantai-pantai Suriah atau ke Turki… Kau mendapati: "Ini juga sudah selesai", mereka berkata: "Oh, kita harus mencari tempat lain, pantai-pantai di Yunani atau Mesir dan kemudian kau harus menetap disana" dan hingga ke Jepang, mereka akan berkata: "Oh, kami terpenjara!" Setan menjadikan manusia tidak percaya dan Allah berkata: "'Ardu-llahi wasi'a"; bumi yang kita tinggali , begitu besar sehingga kau tidak bisa mencapai titik akhir dari bumi ini! Tapi setan berkata: "Tidak, kau terpenjara di muka bumi! Kau harus melakukan sesuatu terhadap beberapa instrumen, yang akan membawamu dari bumi ke Mars!"
"Dimanakan Mars itu?"
Aku tanya, "Mars, apakah namanya tertulis diatasnya? Semua orang berkata bahwa 'Inilah Mars!' "
Ketika kau tiba di London, ini dituliskan- atau ke Larnaca, tertulis
'Bandar Udara Internasional Larnaca'... atau 'Bandar Udara Internasional Heathrow' (dan) kau akan memakami bahwa kau baru saja tiba di London atau kau tiba di Larnaca, atau kau tiba di Istanbul... (karena ini) ada tulisannya! Jika tidak dituliskan, kau tidak tahu. "Apa kau berkata: 'Inilah Mars'?"
Aku tanya, ""Apakah dituliskan diatasnya: 'Bandar Udara Internasional dalam Sistem Matahari (Solar System), kau telah tiba, selamat datang'? Apa itu?" Atau ketika tiba: "(Berikan kami) sebotol air, kami kehausan!"
"Wahai manusia, inilah Mars, kau dapat menemukan (disini/Mars) hanya sungai-sungai dari mineral yang meleleh, tidak ada lainnya!", tapi orang-orang tidak peduli dan meminta ingin pergi lebih jauh lagi ke dalam alam semesta, karena perasaan mereka mengatakan: "Ohhh, kami terpenjara di Lefke, di Larnaca, bagian bangsa Yunani, bagian bangsa Turki, Suriah, Lebanon, Mesir... kami berada dalam pejara, kami menginginkan tanah yang lebih besar!"
Mengapa? Mengapa kau mengklaim ini dan ketika Allah yang Maha Kuasa bersabda: "'Ardu-llahi wasi'a ", mengapa kau berlari ke luar dari dunia ini? Bumi (ini) tidak cukup bagimu? Tapi kau mencari gurumu dan sahabat baik setan, yang berkata kepada orang-orang: "Ini planet yang kecil, sempit, kau bisa mencari planet lain. Mungkin kau dapat membawa air dari bumi ke planet itu menggunakan pipa-pipa , kau dapat membuat diplanet itu taman-taman dan hutan dan gedung-gedung… kau harusnya berada disana dengan kondisi yang baik!" Itu semua adalah kebohongan yang lebih besar, lebih besar dari kebohongan lain!
Ini bohong dan kesalahan orang yang tidak percaya; ini menjadikan manusia terjerumus ke dalam masalah tidak terpecahkan yang tidak berkesudahan! Atau Dunya, jika kini ada 5 milyar orang yang hidup diatasnya, (bahkan) jika kini (ada) 50 milyar orang, mereka semua dapat hidup diatasnya, jika Allah berfirman: "'Ardu-llahi wasi'a ", bumi ini begitu besar!"
Dan Setan menjadikan manusia tidak mencapai kedamaian. Mereka berkata: "Ini tempat yang kecil, wilayah yang kecil! Mengapa wilayah bangsa Turki hanya bagian yang amat kecil?" Bangsa Yunani berkata: "Mengapa kita hidup di wilayah yang sedikit lebih besar di pulau ini (Siprus)?" Tidak seorang pun berkata: "Wilayah ini begitu besar!"
Kadang kala aku melihat dari satu sisi gunung ke sisi lain gunung dan aku berkata: "Ohhh, seandainya tidak ada mobil, bagaimana aku bisa tiba ke gunung itu dari sini?" Tapi –insan berperawakan kecil, tapi mata mereka tidak pernah puas dengan besarnya tanah mereka dimana mereka hidup diatasnya. Itu memberikan masalah. Setan selalu berkata: "Kau mempunyai wilayah yang sangat kecil; kau harus memperbesarnya…"
Bangsa Rusia, mempunyai setengah dari bumi ini, tapi mereka menginginkan bagian lain juga. Bangsa Amerika juga, mereka berkata: "Mengapa bangsa Rusia datang? (Wilayah kekuasaan) kita bisa saja mencapai titik akhir bumi ini." Tidak seorang pun dari mereka mencapai titik akhir yang lainnya, karena Allah bersabda: "'Ardu-llahi wasi'a ": Tanah dibumi dimana Allah yang Maha Kuasa mendaratkanmu untuk hidup diatasnya untuk beberapa waktu, (Dia) menjadikan bumi begitu lebar, begitu besar!
Wahai manusia, jika kau tidak bahagia disini, berpindahan dari Timur dan Barat! Kau dapat mencari tanah-tanah yang besar! Itulah sumber masalah dan perang dimana orang saling membunuh, karena mereka tidak percaya; tidak percaya kepada Allah yang Maha Kuasa, (melainkan) percaya kepada setan, "Setan adalah teman baik kami dan ajaran-ajarannya adalah ajaran terbaik! Kita tidak membutuhkan ajaran lain, Ajaran-ajaran surgawi, kami tidak peduli!"
Selama kau tidak peduli dengan Ajaran-ajaran surgawi, kami akan semakin dalam, dalam, dalam terjerumus dalam kegelapan; (ini) datang ke hatimu, datang ke matamu, datang ke pikiranmu dan kau tidak pernah menjadi bahagia!
Wahai manusia, berbahagialah dengan apa yang Allah Maha Kuasa telah anugerahkan kepadamu! Percayalah kepada Allah! Saat kau percaya kepada Allah, kau akan menggapai kepuasan dan kebahagiaan dalam dirimu! Itulah Surga bagimu, bagi pikiranmu, bagi hatimu, bagi tubuhmu. Jika tidak, kau tidak dapat menggapai kedamaian dalam pikiranmu, dalam hatimu, dalam bentuk fisikmu. Kau tidak bisa berkumpul di sebuah komunitas yang penuh damai dan memberikan respek kepada orang lain dan kau akan menemukan dirimu dikelilingi oleh Neraka!
Wahai manusia, jangan pergi ke universitas! Universitas mengubah pemikiranmu, karena universitas menentang Pengetahuan Suci yang datang dari para Nabi dari Surga. Karena universitas, pengajaran mereka adalah pengajaran setan; mereka selalu bertikai dengan Ajaran-ajaran surgawi yang para Nabi bawa! Apa yang aku katakan? Aku tidak berkata apa-apa! Ini merupakan titik yang sangaaat kecil sehingga kau dapat memahaminya: Dunya ini begitu besar, "('Ardu-llahi wasi'a)...fa taharraju fiha..."! Allah yang Maha Kuasa bersabda: "Jika kau mendapati dirimu berada dalam situasi yang sulit, larilah ke bagian lagi dunia ini; kau akan menemukan beberapa wilayah, beberapa tempat, yang memberikanmu atau seharusnya memberimu kesenangan dan kedamaian dan kemurnian dalam pikiran dan hatimu!"
Apa yang akan kita katakan? Orang-orang tidak mengikuti para Nabi, tapi mereka mengikuti ajaran setan dan mereka akan berada dalam situasi yang lebih buruk (seperti) yang dialami oleh ummat Nabi Nuh...
Huuu!... Wahai manusia, hampiri dan percayalah kepada Pencipta-mu, Tuhan Penguasa Surga, Sang Pencipta! Seluruh Nabi diutus untuk mengajarimu ajaran itul. Dan kau tidak menemukan kedamaian di Timur dan Barat selama mengikuti ajaran setan!
"Salamu-llah 'alaikum!" Allah memberikan Salam-Nya, selamat bagimu! Wahai manusia, percayalah kepada Tuhan-mu, Allah yang Maha Kuasa, lalu kau akan menggapai kepuasan di hatimu. Kau seharusnya bahagia, saat kau bangun, kau seharusnya bahagia, saat tidur- setiap kebajikan seharusnya mengejarmu! Tapi selama kau mengejar setiap kejahatan dan setan, maka masalah selalu mengejarmu, untuk menjadikamu tidak bahagia dan tidak damai…
Wahai manusia, datang dan percayalah Pencipta-mu, Allah, Jalla Jalaluh, Tuhan
Penguasa Surga!
Ini... hanya beberapa tahun tersisa bagi tanah kita mencapai stasiun terakhirnya. Wahai orang-orang, semua dari kita akan pergi ke Hadirat Illahiah untuk Pembalasan (kita)! Itulah hari Pembalasan –sipakan dirimu untuk menghadapi Hari itu! Jika Allah yang Maha Kuasa berkata: "Wahai manusia", jika kau tidak melakukannya, apa yang Dia katakan, Dia tidak berkata kepadamu: "Abdi, hamba-Ku", tidak! Barang siapa yang mengikuti Setan, Allah yang Maha Kuasa tidak pernah memanggil mereka dengan: "Datanglah, hamba-Ku!", tidak, (tapi Dia akan berkata): "Bawalah pergi hamba ini, (ini) hamba yang jahat! Bawa dia ke Setan karena dia mengikutinya! Dia bukanlah hamba-Ku, bawa dia pergi!"
Ini sudah cukup bagi seseorang sebagai sebuah ketidak hormatan ketika dikatakan baginya: "Bawalah makhluk yang Aku sudah ciptakan dalam bentuknya yang terbaik dan yang Aku hormati dia sebagai khalifah-Ku, wakil dimuka bumi, tapi dia tidak pernah percaya, tidak pernah memelihara kehormatan itu, kehormatan yang Aku berikan kepadanya! Bawalah hamba yang buruk ini agar bersama hamba buruk Setan lainnya!"
Wahai manusia! Dunya mendekati stasiun terakhirnya! Waspadalah terhadap setan, agar tidak menipu dan membawaku ke jalan Neraka! Jika kau suka! Jika kau suka, ambillah ajaran-ajaran setan, ikuti dia!
Semoga Allah mengampuni kita! Ini titik penting yang harus diketahui. Kau harus berusaha untuk mengajari anak-anakmu, mula-mula adalah siapakah mereka, untuk apa mereka diciptakan dan siapakah Tuhan mereka dan apa tugas mereka di muka bumi! Wahai manusia, jaga dirilah! Pikirkanlah, karena kini Dunya mengejar setan dan setan membawa mereka ke Neraka!
Semoga Allah mengampuni kami dan memberkahi kalian! Demi kehormatan hamba yang paling terhormat, Sayyidina Muhammad saw, Fatiha.
Saturday, July 28, 2007
Rajab
Saudara-saudaraku yang budiman,Pada hari Senin lalu tanggal 16 July 2007 kita memasuki bulan Rajab.
Bulan Rajab adalah bulannya Allah. Mari kita simak ada apa di balik
bulan Rajab itu.Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Ketahuilah bahwa
bulan Rajab itu adalah bulan ALLAH, maka:* Barang siapa yang berpuasa satu hari dalam bulan ini dengan ikhlas,
maka pasti ia mendapat keridhaan yang besar dari ALLAH SWT;* Dan barang siapa berpuasa pada tgl 27 Rajab 1428/Isra Mi’raj
(Sabtu, 11 Agustus 2007) akan mendapat pahala seperti 5 tahun
berpuasa;
* Barang siapa yang berpuasa dua hari di bulan Rajab akan mendapat
kemuliaan di sisi ALLAH SWT;
* Barang siapa yang berpuasa tiga hari yaitu pada tgl 1, 2, dan 3
Rajab, 16,17,18 Jully 2007) maka ALLAH akan memberikan pahala
seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya
dunia, dan siksa akhirat;
* Barang siapa berpuasa lima hari dalam bulan ini, insyaallah
permintaannya akan dikabulkan;
* Barang siapa berpuasa tujuh hari dalam bulan ini, maka ditutupkan
tujuh pintu neraka Jahanam dan barang siapa berpuasa delapan hari
maka akan dibukakan delapan pintu syurga;
* Barang siapa berpuasa lima belas hari dalam bulan ini, maka ALLAH
akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan menggantikan
kesemua kejahatannya dengan kebaikan, dan barang siapa yang
menambah (hari-hari puasa) maka ALLAH akan menambahkan
pahalanya.”
Sabda Rasulullah SAW lagi :
“Pada malam Mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis
dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak
wangi,
lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan
sungai
ini ?”
Maka berkata Jibrilb a.s.:
“Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat
untuk engkau dibulan Rajab ini”.
Dalam sebuah riwayat Tsauban bercerita :
“Ketika kami berjalan bersama-sama Rasulullah SAW ke sebuah kubur,
lalu Rasulullah berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih,
kemudian beliau berdoa kepada ALLAH SWT. Lalu saya bertanya
kepada beliau: “Ya Rasulullah mengapakah engkau menangis?” Lalu
beliau bersabda :”Wahai Tsauban, mereka itu sedang disiksa dalam
kubur nya, dan saya berdoa kepada ALLAH, lalu ALLAH meringankan
siksa atas mereka”.
Sabda beliau lagi: “Wahai Tsauban, kalaulah sekiranya mereka ini mau
berpuasa satu hari dan beribadah satu malam saja di bulan Rajab niscaya
mereka tidak akan disiksa di dalam kubur.”
Tsauban bertanya: “Ya Rasulullah,apakah hanya berpuasa satu hari dan
beribadah satu malam dalam bulan Rajab sudah dapat mengelakkan dari
siksa kubur?”
Sabda beliau: “Wahai Tsauban, demi ALLAH Zat yang telah mengutus saya
sebagai nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa
satu hari dan mengerjakan sholat malam sekali dalam bulan
Rajab dengan niat karena ALLAH, kecuali ALLAH mencatatkan baginya
seperti berpuasa satu tahun dan mengerjakan sholat malam satu tahun.”
Sabda beliau lagi: “Sesungguhnya Rajab adalah bulan ALLAH, Sya’ban
Adalah bulan aku dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku”. “Semua
manusia akan berada dalam keadaan lapar pada hari kiamat, kecuali para
nabi,keluarga nabi dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Rajab,
Sya’ban dan bulan Ramadhan.
Maka sesungguhnya mereka kenyang, serta tidak akan merasa lapar dan
haus bagi mereka.”
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bulan Rajab adalah bulannya Allah. Mari kita simak ada apa di balik
bulan Rajab itu.Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Ketahuilah bahwa
bulan Rajab itu adalah bulan ALLAH, maka:* Barang siapa yang berpuasa satu hari dalam bulan ini dengan ikhlas,
maka pasti ia mendapat keridhaan yang besar dari ALLAH SWT;* Dan barang siapa berpuasa pada tgl 27 Rajab 1428/Isra Mi’raj
(Sabtu, 11 Agustus 2007) akan mendapat pahala seperti 5 tahun
berpuasa;
* Barang siapa yang berpuasa dua hari di bulan Rajab akan mendapat
kemuliaan di sisi ALLAH SWT;
* Barang siapa yang berpuasa tiga hari yaitu pada tgl 1, 2, dan 3
Rajab, 16,17,18 Jully 2007) maka ALLAH akan memberikan pahala
seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya
dunia, dan siksa akhirat;
* Barang siapa berpuasa lima hari dalam bulan ini, insyaallah
permintaannya akan dikabulkan;
* Barang siapa berpuasa tujuh hari dalam bulan ini, maka ditutupkan
tujuh pintu neraka Jahanam dan barang siapa berpuasa delapan hari
maka akan dibukakan delapan pintu syurga;
* Barang siapa berpuasa lima belas hari dalam bulan ini, maka ALLAH
akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan menggantikan
kesemua kejahatannya dengan kebaikan, dan barang siapa yang
menambah (hari-hari puasa) maka ALLAH akan menambahkan
pahalanya.”
Sabda Rasulullah SAW lagi :
“Pada malam Mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis
dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak
wangi,
lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan
sungai
ini ?”
Maka berkata Jibrilb a.s.:
“Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat
untuk engkau dibulan Rajab ini”.
Dalam sebuah riwayat Tsauban bercerita :
“Ketika kami berjalan bersama-sama Rasulullah SAW ke sebuah kubur,
lalu Rasulullah berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih,
kemudian beliau berdoa kepada ALLAH SWT. Lalu saya bertanya
kepada beliau: “Ya Rasulullah mengapakah engkau menangis?” Lalu
beliau bersabda :”Wahai Tsauban, mereka itu sedang disiksa dalam
kubur nya, dan saya berdoa kepada ALLAH, lalu ALLAH meringankan
siksa atas mereka”.
Sabda beliau lagi: “Wahai Tsauban, kalaulah sekiranya mereka ini mau
berpuasa satu hari dan beribadah satu malam saja di bulan Rajab niscaya
mereka tidak akan disiksa di dalam kubur.”
Tsauban bertanya: “Ya Rasulullah,apakah hanya berpuasa satu hari dan
beribadah satu malam dalam bulan Rajab sudah dapat mengelakkan dari
siksa kubur?”
Sabda beliau: “Wahai Tsauban, demi ALLAH Zat yang telah mengutus saya
sebagai nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa
satu hari dan mengerjakan sholat malam sekali dalam bulan
Rajab dengan niat karena ALLAH, kecuali ALLAH mencatatkan baginya
seperti berpuasa satu tahun dan mengerjakan sholat malam satu tahun.”
Sabda beliau lagi: “Sesungguhnya Rajab adalah bulan ALLAH, Sya’ban
Adalah bulan aku dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku”. “Semua
manusia akan berada dalam keadaan lapar pada hari kiamat, kecuali para
nabi,keluarga nabi dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Rajab,
Sya’ban dan bulan Ramadhan.
Maka sesungguhnya mereka kenyang, serta tidak akan merasa lapar dan
haus bagi mereka.”
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Friday, July 27, 2007
Blank Page....
Semilir angin pagi hari menebar aroma wangi melati sinar cahaya matahari merebak, meruak, diatas dinding cakrawala, kulihat sang mentari sedang tersenyum manja menggeliat penuh dengan pesona, pancaran keabadian sang Raja Manusia……..
Hari demi hari kulalui bersama dengan senyum dan kerinduan kepada kekasihku, pesona yang selalu merekah meretas segala resah, seperti sinar pelangi senja hari yang tenggelam di atas debur ombak diterpa riak gelombang pasang, semakin membuat rinduku kian meradang..
Rasa bercampur asa menggeliat mengiris kalbu, walau perih terasa ketika hati ini menahan rasa, namun aku tetap coba menahan sejumput asa tuk mengimbangi derasnya rasa, seperti gelombang pasang yang menerjang apapun yang menghadang, semakin hari rasa itu semakin menjadi, seperti sang putri yang sedang menyulam diatas jerami….
Kadang aku merasa bosan dengan kesendirian ini, tapi bayangMu selalu menemaniku menghibur dan mengiringi setiap langkahku, mencoba yakinkan aku tuk selalu tegar bersamaMu..Detak waktu t’rus berlalu tapi cinta yang kupunya tak akan hilang terpudar oleh perputaran itu, bahkan kian hari malah semakin kurasa dahsyatnya rasa itu, cinta itu semakin kuat mendera seperti suara badai tornado disiang hari menghentak denyut jantungku dan menyadarkan aku bahwa Engkaulah satu yang harus kurindu dan selalu kujaga dan kucintai hingga berpisah ruhku dari jasadnya, dan menjadikan aku tetap selalu tersenyum untuk menyambut hadirnya Dirimu untuk satu yang kudamba Menjadi satu denganMu dan menjadi milikMu selamanya…….
Hari demi hari kulalui bersama dengan senyum dan kerinduan kepada kekasihku, pesona yang selalu merekah meretas segala resah, seperti sinar pelangi senja hari yang tenggelam di atas debur ombak diterpa riak gelombang pasang, semakin membuat rinduku kian meradang..
Rasa bercampur asa menggeliat mengiris kalbu, walau perih terasa ketika hati ini menahan rasa, namun aku tetap coba menahan sejumput asa tuk mengimbangi derasnya rasa, seperti gelombang pasang yang menerjang apapun yang menghadang, semakin hari rasa itu semakin menjadi, seperti sang putri yang sedang menyulam diatas jerami….
Kadang aku merasa bosan dengan kesendirian ini, tapi bayangMu selalu menemaniku menghibur dan mengiringi setiap langkahku, mencoba yakinkan aku tuk selalu tegar bersamaMu..Detak waktu t’rus berlalu tapi cinta yang kupunya tak akan hilang terpudar oleh perputaran itu, bahkan kian hari malah semakin kurasa dahsyatnya rasa itu, cinta itu semakin kuat mendera seperti suara badai tornado disiang hari menghentak denyut jantungku dan menyadarkan aku bahwa Engkaulah satu yang harus kurindu dan selalu kujaga dan kucintai hingga berpisah ruhku dari jasadnya, dan menjadikan aku tetap selalu tersenyum untuk menyambut hadirnya Dirimu untuk satu yang kudamba Menjadi satu denganMu dan menjadi milikMu selamanya…….
AWLIYA, DERAJAT MANUSIA PILIHAN ALLAH
Syekh Muhammad Nâzim ‘Adil al-Qubrusî al-Haqqânî al-Naqsyabandî
12 Rabiul Awal 1424,11 Mei 2003,Lefke, Cyprus
Al-Hasan ibn al-Manshûr berkata:
Diri seorang hamba pilihan Tuhan melebur dalam Kehadiran Tuhan. Tidak ada orang yang tahan dengan orang semacam itu, dan orang itu juga tidak tahan dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang kebanyakan. Namun, seorang hamba pilihan Tuhan itu laksana bumi; ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan berkeliling di bumi sebagai hamba Tuhan. Dan seburuk-buruknya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya pelit.
Al-Syiblî mengatakan, “hamba pilihan Tuhan terlepas dari ciptaan dan terkait pada Kebenaran (al-Haqq).” Ibn ‘Ajîbâh meriwayatkan, “Seseorang yang telah mencapai maqam yang begitu dekat dengan Tuhan, ia menjadi tak tertahankan. Gunung pun tidak dapat memanggulnya.” Kondisi semacam ini merupakan karakteristik orang yang telah mencapai maqam peleburan diri (fanâ’). Al-Hasan ibn al-Manshûr menulis tentang seseorang yang lebur dalam cintanya kepada Allah: Orang kebanyakan sulit menerima orang yang telah kehilangan segenap kesadaran dirinya, dan yang kehilangan kesadaran diri di sisi berada dalam ketakjuban yang sangat di hadapan Eksistensi Mutlak Tuhan. Siapa pun yang mencapai maqam itu dan berusaha membeberkan rahasianya, maka ia akan bertingkah laku di luar kebiasaan manusia kebanyakan.
Oleh karena itu, kekasih Tuhan (awliyâ’ Allâh) yang mencapai maqam itu akan menyembunyikan diri. Kisah dalam Alquran tentang Khidhr melukiskan fenomena ini. Ia melakukan tindakan yang tidak biasa dilakukan orang lain; tindakan-tindakan yang sulit diterima oleh Mûsâ sekalipun. Dengan contoh kisah tersebut, Allah memerintah kan kita untuk mengambil pelajaran, bukan karena Mûsâ lebih rendah maqamnya (daripada Khidhr). Bagaimanapun juga ia adalah salah seorang dari lima nabi teragung (ûlû al-‘azm). Tak seorang pun mencapai derajat para nabi ataupun sahabat nabi. Dengan menginformasikan kisah pertemuan Mûsâ dengan Khidhr, Alquran hendak memberi kita contoh tentang seseorang yang telah begitu dekat dengan Allah dan menjadi salah satu hamba-Nya yang suci. Manusia semacam itu dilukiskan dalam sebuah hadis qudsi sebagai berikut, “Hamba-hamba-Ku yang suci ada di bawah kubah-Ku; hanya Aku yang tahu tentang mereka.” Allah sendiri menyembunyikan hamba-hamba-Nya yang suci, karena mereka luar biasa berharga bagi-Nya. Hadis lain melukiskan, “Siapa pun yang bermusuhan dengan kekasih-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.”
Di tengah-tengah masyarakat kebanyakan, para kekasih Tuhan akan mengucapkan dan melakukan sesuatu yang sulit diterima orang lain. Inilah maksud dari perkataan Ibn ‘Ajîbâh, “Tidak ada orang yang tahan dengan orang semacam itu.” Itulah sebabnya, ketika Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan, masyarakatnya menolak dirinya. Semua nabi mendapatkan penolakan dari masyarakat mereka. Kalau kasus semacam itu terjadi pada para nabi, bagaimana dengan para wali? Sudah menjadi sunatullah bahwa mereka akan sepenuhnya ditolak oleh masyarakat kebanyakan, karena para wali adalah manusia biasa yang dianugerahi Tuhan dengan kekuatan langit.
Para ulama masa kini mengatakan bahwa para wali sudah tak ada lagi. Ini tidak benar. Yang benar, mereka sudah buta sehingga tak bisa mengetahui keberadaan para wali. Mengapa buta? Karena para wali menyembunyikan diri mereka, terutama pada masa sekarang ini. Mereka tahu bahwa tidak ada orang yang akan menerima mereka beserta kekuatan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Jika mereka memperlihatkan kekuatan yang mereka miliki, orang-orang akan menentang mereka. Maqam tertinggi wali adalah ketika ia bertingkah seperti manusia biasa dan tidak menampakkan perbedaan perilaku dengan masyarakat kebanyakan. Seorang wali berperilaku layaknya manusia biasa hingga orang lain akan berkomentar, “Dia seperti kita. Apa bedanya?” Yang tidak mereka ketahui tentang dirinya adalah bahwa ia telah diuji oleh para wali; para nabi; dan Tuhan yang Mahaagung. Ia telah lulus dalam tes tersebut dan memperoleh amanat spiritual. Ibn ‘Ajîbâh melanjutkan, “orang itu juga tidak tahan dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang kebanyakan.” Ini berarti ia menyaksikan betapa mereka telah tersesat, dan menyeru mereka untuk kembali ke jalan Tuhan, tetapi mereka tak mau mendengar. Setelah beberapa lama, akhirnya wali itu pergi meninggalkan mereka. Bayâzîd al-Bisthâmî, salah seorang wali terbesar, selalu beribadah kepada Allah, bertakarub hingga ia bisa mendengar pembicaraan para malaikat. Ia telah sampai pada maqam di mana ia berusaha mendekati Tuhan sambil berdoa, “Ya Rabb, bukalah bagiku pintu menuju Kehadiran-Mu!” Ia lalu mendengar suara dalam hatinya yang berujar, “Hai Bayâzîd, jika engkau ingin berada di sisi-Ku, engkau harus menjadi tiang yang tak diindahkan orang.” Makanya al-Hasan ibn al-Manshûr berkata, “hamba pilihan Tuhan ibarat bumi; ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atasnya (bumi).”
“Bumi” dimaknai sebagai kekuatan. Apa pun Kehendak Tuhan, bumi menerimanya. Ia tak memiliki kehendak sendiri. Nah, para waliullah mirip dengan bumi: “semua hal yang kotor dan buruk dilempar ke bumi,” dan ia tetap menerimanya. Kata Arab “qabîh” tak sekadar bermakna “kotor” dan “buruk” tapi juga bermakna “bau” dan “busuk” yang menggambarkan sampah paling jelek yang dibuang ke bumi. Tetapi, setelah menerima sampah busuk itu, “bumi hanya menghasilkan yang baik-baik.” Wali tidak memperlakukan kita seperti kita memperlakukan dirinya. Segala bentuk keburukan yang ia terima, akan ia balas dengan kebaikan. Diriwayatkan bahwa Bayâzîd perna menguji para ulama dengan ungkapan-ungkapan yang sangat ekstatis (syathâhât) hingga akhirnya mereka merajamnya. Itu terjadi karena ketidakpahaman mereka terhadap maqam di mana ia berucap. Bayâzîd bukanlah orang yang suka memperbuat bidah, bahkan Ibn Taymiyyah sekalipun memuji kesalehannya. Tetapi, ia hanya bermaksud menguji mereka, karena mereka juga sebenarnya telah berusaha menguji dirinya.
Akhirnya, seusai mereka merajam Bayâzîd, jasadnya dilemparkan ke tempat pembuangan sampah. Sebenarnya ia masih hidup, tetapi badannya sangat lemah. Setelah terbaring dalam kondisi luka-luka selama tujuh hari, tenaganya sedikit pulih dan ia bisa menggerakkan badannya. Ia mulai mencari sesuatu yang bisa dimakan, dan menemukan sepotong tulang dengan sedikit daging busuk, yang mungkin dibuang orang seminggu sebelumnya. Ketika ia hendak memungutnya, muncul seekor anjing yang menggonggong dan berkata kepadanya, “Ini wilayah kekuasaanku, dan itu makananku. Kamu tak boleh mengambilnya.” Tuhan memberinya kemampuan memahami bahasa binatang. Bayâzîd meriwayatkan, “Aku bermunajat kepada Tuhan, ‘Ya Allah, ya Tuhanku, apa yang telah aku lakukan adalah demi cintaku pada-Mu. Aku ingin mereka membunuhku, tapi Engkau membuatku bergerak dan hidup. Dan ketika aku hidup kembali, aku ingin mereka kembali mengantarku kepada kematian; lalu Engkau kembali membuatku bergerak dan hidup, dan mereka akan merajamku lagi kemudian. Engkau pun kembali menghidupkanku, begitu berulang-ulang karena setiap kali mereka merajamku, aku berdoa agar Engkau, Tuhanku, mengampuni dosa-dosa mereka. Apa pun yang Engkau berikan sebagai balasan doa dan perjuangan batinku, Engkau, ya Rabb, membuat mereka berbagi pahala denganku.” Kisah ini menunjukkan bagaimana kebanyakan wali akan mencintai hamba-hamba-Nya ketika ia masuk ke dalam cinta-Nya.
Kini banyak sarjana muslim berkata, “Para wali sudah tak ada lagi.” Sebenarnya mereka masih ada, namun karena hanya sedikit orang yang akan bisa memahami kondisi para wali, maka mereka bersembunyi. Pernyataan lain dari para ulama masa kini adalah, “Setiap mukmin itu wali.” Kalaulah demikian, tentu Tuhan tak akan membedakan antara mukmin dan wali. Walaupun demikian, siapakah yang benar-benar bisa mengatakan bahwa dirinya seorang mukmin? Apakah mereka tidak ingat dengan firman Allah:
Orang-orang Arab badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk.” Karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian, dan jika kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun pahala amalan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q 49:14)
Siapa yang dapat menjamin seseorang bahwa iman sudah masuk ke dalam hatinya? Jaminan semacam itu tidak diberikan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya; itu diberikan oleh Allah kepada orang yang percaya. Di mana pun mereka berada, para wali akan membangun tempat ibadah, zawiat, khâniqah, atau ribat (tempat-tempat berkumpul untuk latihan dan praktik spiritual). Setelah selesai dibangun, orang-orang dari tempat yang jauh akan berdatangan mengunjungi tempat tersebut, dan akan disambut. Mereka (para wali) tak akan mengatakan, “Kami tidak mau menemui si ini atau si itu.” Pada zaman sekarang, orang-orang biasanya berkata, “Orang-orang ini musuh. Kami tak bisa menemui mereka. Orang-orang ini suka menghujat kami. Kami tak bisa menjumpai mereka.” Tetapi, Nabi saw. menemui semua orang, entah kawan maupun lawan.
HDan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q 34:28)
Jika musuh hendak menemui, beliau tetap akan berkenan membukakan pintu. Karena para waliullah merupakan pewaris maqam dan sifat para nabi, pintu mereka juga harus selalu terbuka. Jika tidak, maka apa gunanya kewalian? Allah menganugerahi kewalian kepada mereka agar mereka membukakan telinga kepada manusia, bergaul dengan mereka, dan menyeru mereka ke dalam Islam. Ketika kita menutup pintu dan berkata, “Aku tidak bergaul dengan orang-orang itu,” berarti kita telah mengucilkan diri sendiri dan menjadi penghalang jalan menuju-Nya. Kita harus bergaul dengan orang-orang dari berbagai keyakinan, agama, dan kelompok untuk membawa mereka kepada Kebenaran. Itulah sebabnya Syekh Agung menemui setiap orang, dan kita berusaha mengikuti langkahnya. Kita tak bisa menutup pintu dan berkata, “Kalian bukan anggota kelompok kami.” Kini segala sesuatu didasarkan pada keanggotaan–demi uang. Mereka akan berkata, “Bayarlah lima ratus ribu dan Anda bisa menjadi anggota kami.” Tidak ada lagi amal yang dilakukan secara ikhlas karena Allah.
“Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan berkeliling di atas bumi sebagai hamba Tuhan.” Artinya, ia akan menanggung beban–ia tempat pembuangan sampah semua orang. Sebagai balasannya, ia justru mendoakan orang-orang agar hati mereka berpaling kepada Tuhan. Hamba pilihan Tuhan mengerahkan kemampuan terbaik mereka untuk orang lain meskipun mereka memperlakukannya dengan sangat buruk. Itulah sebabnya dikatakan bahwa baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atas bumi. Ibn ‘Ajîbâh berkata, “Dan sejahat-jahatnya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya tidak dermawan.” Seorang hamba pilihan Tuhan sangat dermawan. Ia tidak pelit. Seorang hamba Tuhan selalu bermurah hati dengan segala pemberian Tuhan, dan tidak menahannya. Dan Allah Maha Memberi.
Nabi Muhammad saw. digambarkan Tuhan sebagai berikut: amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (Q 9:128) Dan tiada Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (Q 21:107)
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. akan meminta ampunan kepada Allah bagi semua orang. Singkatnya, seorang hamba Tuhan tidak boleh kikir. Manusia terburuk adalah mereka yang mengklaim sebagai hamba pilihan Tuhan padahal mereka bakhil. Bukan bakhil dalam urusan harta, tetapi bakhil dalam arti tidak mau menanggung kesulitan orang lain dan mengambil apa pun bentuk kebaikan yang dilimpahkan Tuhan, untuk diberikan kepada orang lain. Yang lebih buruk lagi adalah para hamba Tuhan yang telah dianugerahi ilmu pengetahuan agama dan makna-maknanya yang terdalam tetapi menyimpan ilmu pengetahuan itu untuk diri sendiri dengan tidak mengajarkannya kepada orang yang mampu menerimanya. Mereka adalah para ulama yang mengemukakan kebohongan tentang Tuhan dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Tuhan. Pada masa sekarang kita bisa menunjukkan banyak contoh mengenai hal semacam itu. Mereka, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan menginginkan agar manusia mengabdikan hidupnya untuk kejahatan, mengejar tujuan yang keliru, atau menyebarkan doktrin palsu. Mereka hamba-hamba Tuhan yang bakhil secara spiritual. Orang-orang semacam itu tak akan sukses dan, pada hari pembalasan kelak, mereka akan dimasukkan ke dalam golongan yang merugi. Mereka ibarat pohon yang dihiasi dengan bunga-bunga yang indah pada musim semi, tetapi meranggas dan tak berbuah pada musim gugur.
Untuk lebih jelasnya, seorang hamba Tuhan yang sejati akan membawa dosa-dosa mereka yang berada dalam bimbingannya dengan memohon ampunan Tuhan bagi mereka dan dengan meminta-Nya untuk menganugerahi mereka apa pun balasan pahala yang ia terima dari maqam apa pun yang ia duduki saat itu. Ini berlaku bagi siapa pun yang datang menemuinya. Nabi bersabda: Tuhan memerintahkan para malaikat untuk menelusuri jalanan guna mencari orang-orang yang sedang mengingat diri-Nya (berzikir). Ketika mereka menemukan sekelompok orang yang sedang berzikir, mereka akan memanggil malaikat yang lain dan para malaikatpun mengerumuni tempat itu secara berlapis-lapis hingga langit pertama … Lalu seseorang yang bukan berasal dari kelompok tersebut, tapi hanya datang untuk mendengarkan persoalan khusus, duduk bersama mereka. Allah berfirman, “Penyesalan tak akan menimpa siapa pun yang duduk bersama mereka.”
Itu berarti seseorang yang datang hanya selama beberapa menit, meskipun bukan termasuk anggota kelompok tersebut, tetap akan memperoleh balasan karena telah berkumpul bersama mereka. Siapa pun yang datang menemui seorang wali, ia akan memberi orang itu apa pun yang telah diberikan Tuhan dan nabi-Nya kepada dirinya. Itulah makna kemurahan hati–lawan dari sikap kikir. Itu berarti memberikan dengan penuh kasih sayang apa yang telah Allah anugerahkan kepada dirinya. Itu berarti mengambil alih dan menanggung kesusahan dan persoalan orang-orang yang datang menemuinya. Al-Syiblî mengatakan, “hamba pilihan Tuhan terlepas dari ciptaan dan terkait pada Sang Mahabenar (al-Haqq).” Ia melanjutkan, “munqathi‘ ‘an al-khalq,” bermakna, “hatinya terputus dari orang banyak dan terhubung dengan Ilahi.” Secara harfiah, ungkapan itu berarti bahwa ia melepaskan diri dari makhluk dan secara spiritual menghubungkan diri dengan cinta-Nya. Akan tetapi, dalam maknanya yang lebih dalam, ungkapan itu juga berarti bahwa ia menolak segala bentuk kepalsuan dan mencintai segala bentuk kebenaran. Seorang hamba Tuhan tidak akan melibatkan diri ke dalam persoalan yang tidak penting baginya, atau ke dalam perbuatan dan pembicaraan orang-orang yang bertentangan dengan Kebenaran. Ia terhubung dengan Kebenaran. Ia menyukai segala sesuatu tentang Kebenaran dan membenci segala bentuk kepalsuan. Ketika ia melepaskan diri dari kepalsuan, ia membungkusnya, seolah-olah ia tidak melihatnya, meskipun sebenarnya ia benar-benar menyadarinya. Pada saat yang sama, ia juga tidak mengecam atau membeberkan kepalsuan dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang-orang.
Ia menggabungkan diri dengan Kebenaran dan melepaskan diri dari kepalsuan. Ia melakukan hal ini untuk mengimbangi kepalsuan orang-orang dengan meletakkan Kebenaran pada sisi timbangan lainnya. Jika kepalsuan tidak terkendali, itu akan menyebabkan kehancuran baik bagi umat maupun bagi dunia secara keseluruhan. Jadi, para wali itu ibarat gunung dalam kehidupan umat; mereka mengimbangi segala sesuatu sebagaimana gunung membuat bumi tetap seimbang. Dan gunung-gunung sebagai pasak. (Q 78:7).Jika kepalsuan semakin tak teratasi, tidak akan ada lagi keseimbangan di bumi, dan bumi akan terbalik. Maka para wali membuat seimbang segala sesuatu. Itulah makna dari firman Allah: Supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Q 55:8–9)
Kedua ayat itu mengandung arti, “Jadikanlah segala sesuatu seimbang dalam timbangan.” Jika para wali tidak mengimbangi kepalsuan dengan beribadah, jika mereka tidak menyeimbangkan kesalahan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan kebenaran, maka dunia sudah musnah sejak lama. Mengenai salah satu tanda datangnya kiamat, ‘Abd Allâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah berkata:
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada para ulama, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mencabut nyawa mereka hingga tiada lagi orang yang menggantikan posisi mereka, dan orang-orang pun menjadikan orang bodoh sebagai pimpinan mereka. Mereka (para pemimpin bodoh) akan dimintai pendapat lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.
Hamba-hamba yang saleh telah menyeimbangkan segala sesuatu sejak masa Nabi Muhammad saw. Memang, sepanjang zaman, mereka selalu menyeimbangkan kepalsuan dengan kebenaran. Tetapi, sekarang keseimbangan yang mereka bawakan kepada dunia itu sudah mencapai batas akhir, sehingga tidak lagi tercipta keseimbangan. Memang, lemahnya naluri keseimbangan telah menjadi ciri umum zaman kita sekarang. Itulah sebabnya saat ini kita menyaksikan banyak sekali pembunuhan. Dan ketika semua orang berbicara tentang perdamaian, kenyataannya di mana-mana orang meregang nyawa. Semoga Tuhan menjaga kita dalam lindungan hamba-hamba-Nya yang saleh yang telah Dia anugerahi pengetahuan, dan Dia amanatkan bimbingan umat Muhammad, serta mengimbangi perbuatan kita dengan kebaikan. Nabi Muhammad saw. bersabda: Setelahku akan ada para khalifah, dan setelah para khalifah akan ada para pangeran, dan setelah para pangeran akan ada para raja, dan setelah para raja akan ada para penguasa tiran. Dan setelah para penguasa tiran akan ada seseorang dari keluargaku (ahlulbait) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan, dan setelahnya akan ada al-Qahtânî. Demi Yang memberiku Kebenaran, tiada kabar yang terlewat.
Para khalifah yang disebut dalam hadis ini adalah empat khalifah teladan, yaitu Abû Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Alî—semoga Allah meridai mereka. Sedangkan para pangeran dalam hadis itu adalah para khalifah Bani Umayyah di Damaskus dan para khalifah Bani Abbasiyah di Bagdad. Sementara para raja adalah para sultan Utsmani di Istanbul. Setelah para raja, menurut hadis itu, akan ada para penguasa tiran, yaitu yang biasa kita saksikan sekarang. Para wali tidak melihat masa depan yang disebutkan dalam hadis semacam itu sebagai masa depan yang sangat jauh. Mereka berbicara kepada siapa yang mau belajar dari mereka, bahwa hadis-hadis tersebut adalah rambu-rambu bagi manusia di sepanjang jalan menuju akhirat. Kalau kita berperilaku seperti orang buta, mengabaikan tanda-tanda zaman, lantas apa gunanya petunjuk yang sangat terang itu? Tugas para wali, sebagai pewaris para nabi, adalah mengingatkan manusia, memberi kabar gembira (basyîr) dan peringatan (nadzîr). Mari kita perhatikan petunjuk terang yang dibawa Nabi saw. kepada kita semua, dan siap-siap menghadapi zaman penuh godaan. Dengan mengikuti rambu-rambu tersebut, kita berharap bisa mewujudkan era keemasan peradaban nabawi, era yang belum pernah dunia saksikan
12 Rabiul Awal 1424,11 Mei 2003,Lefke, Cyprus
Al-Hasan ibn al-Manshûr berkata:
Diri seorang hamba pilihan Tuhan melebur dalam Kehadiran Tuhan. Tidak ada orang yang tahan dengan orang semacam itu, dan orang itu juga tidak tahan dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang kebanyakan. Namun, seorang hamba pilihan Tuhan itu laksana bumi; ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan berkeliling di bumi sebagai hamba Tuhan. Dan seburuk-buruknya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya pelit.
Al-Syiblî mengatakan, “hamba pilihan Tuhan terlepas dari ciptaan dan terkait pada Kebenaran (al-Haqq).” Ibn ‘Ajîbâh meriwayatkan, “Seseorang yang telah mencapai maqam yang begitu dekat dengan Tuhan, ia menjadi tak tertahankan. Gunung pun tidak dapat memanggulnya.” Kondisi semacam ini merupakan karakteristik orang yang telah mencapai maqam peleburan diri (fanâ’). Al-Hasan ibn al-Manshûr menulis tentang seseorang yang lebur dalam cintanya kepada Allah: Orang kebanyakan sulit menerima orang yang telah kehilangan segenap kesadaran dirinya, dan yang kehilangan kesadaran diri di sisi berada dalam ketakjuban yang sangat di hadapan Eksistensi Mutlak Tuhan. Siapa pun yang mencapai maqam itu dan berusaha membeberkan rahasianya, maka ia akan bertingkah laku di luar kebiasaan manusia kebanyakan.
Oleh karena itu, kekasih Tuhan (awliyâ’ Allâh) yang mencapai maqam itu akan menyembunyikan diri. Kisah dalam Alquran tentang Khidhr melukiskan fenomena ini. Ia melakukan tindakan yang tidak biasa dilakukan orang lain; tindakan-tindakan yang sulit diterima oleh Mûsâ sekalipun. Dengan contoh kisah tersebut, Allah memerintah kan kita untuk mengambil pelajaran, bukan karena Mûsâ lebih rendah maqamnya (daripada Khidhr). Bagaimanapun juga ia adalah salah seorang dari lima nabi teragung (ûlû al-‘azm). Tak seorang pun mencapai derajat para nabi ataupun sahabat nabi. Dengan menginformasikan kisah pertemuan Mûsâ dengan Khidhr, Alquran hendak memberi kita contoh tentang seseorang yang telah begitu dekat dengan Allah dan menjadi salah satu hamba-Nya yang suci. Manusia semacam itu dilukiskan dalam sebuah hadis qudsi sebagai berikut, “Hamba-hamba-Ku yang suci ada di bawah kubah-Ku; hanya Aku yang tahu tentang mereka.” Allah sendiri menyembunyikan hamba-hamba-Nya yang suci, karena mereka luar biasa berharga bagi-Nya. Hadis lain melukiskan, “Siapa pun yang bermusuhan dengan kekasih-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.”
Di tengah-tengah masyarakat kebanyakan, para kekasih Tuhan akan mengucapkan dan melakukan sesuatu yang sulit diterima orang lain. Inilah maksud dari perkataan Ibn ‘Ajîbâh, “Tidak ada orang yang tahan dengan orang semacam itu.” Itulah sebabnya, ketika Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan, masyarakatnya menolak dirinya. Semua nabi mendapatkan penolakan dari masyarakat mereka. Kalau kasus semacam itu terjadi pada para nabi, bagaimana dengan para wali? Sudah menjadi sunatullah bahwa mereka akan sepenuhnya ditolak oleh masyarakat kebanyakan, karena para wali adalah manusia biasa yang dianugerahi Tuhan dengan kekuatan langit.
Para ulama masa kini mengatakan bahwa para wali sudah tak ada lagi. Ini tidak benar. Yang benar, mereka sudah buta sehingga tak bisa mengetahui keberadaan para wali. Mengapa buta? Karena para wali menyembunyikan diri mereka, terutama pada masa sekarang ini. Mereka tahu bahwa tidak ada orang yang akan menerima mereka beserta kekuatan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Jika mereka memperlihatkan kekuatan yang mereka miliki, orang-orang akan menentang mereka. Maqam tertinggi wali adalah ketika ia bertingkah seperti manusia biasa dan tidak menampakkan perbedaan perilaku dengan masyarakat kebanyakan. Seorang wali berperilaku layaknya manusia biasa hingga orang lain akan berkomentar, “Dia seperti kita. Apa bedanya?” Yang tidak mereka ketahui tentang dirinya adalah bahwa ia telah diuji oleh para wali; para nabi; dan Tuhan yang Mahaagung. Ia telah lulus dalam tes tersebut dan memperoleh amanat spiritual. Ibn ‘Ajîbâh melanjutkan, “orang itu juga tidak tahan dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang kebanyakan.” Ini berarti ia menyaksikan betapa mereka telah tersesat, dan menyeru mereka untuk kembali ke jalan Tuhan, tetapi mereka tak mau mendengar. Setelah beberapa lama, akhirnya wali itu pergi meninggalkan mereka. Bayâzîd al-Bisthâmî, salah seorang wali terbesar, selalu beribadah kepada Allah, bertakarub hingga ia bisa mendengar pembicaraan para malaikat. Ia telah sampai pada maqam di mana ia berusaha mendekati Tuhan sambil berdoa, “Ya Rabb, bukalah bagiku pintu menuju Kehadiran-Mu!” Ia lalu mendengar suara dalam hatinya yang berujar, “Hai Bayâzîd, jika engkau ingin berada di sisi-Ku, engkau harus menjadi tiang yang tak diindahkan orang.” Makanya al-Hasan ibn al-Manshûr berkata, “hamba pilihan Tuhan ibarat bumi; ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atasnya (bumi).”
“Bumi” dimaknai sebagai kekuatan. Apa pun Kehendak Tuhan, bumi menerimanya. Ia tak memiliki kehendak sendiri. Nah, para waliullah mirip dengan bumi: “semua hal yang kotor dan buruk dilempar ke bumi,” dan ia tetap menerimanya. Kata Arab “qabîh” tak sekadar bermakna “kotor” dan “buruk” tapi juga bermakna “bau” dan “busuk” yang menggambarkan sampah paling jelek yang dibuang ke bumi. Tetapi, setelah menerima sampah busuk itu, “bumi hanya menghasilkan yang baik-baik.” Wali tidak memperlakukan kita seperti kita memperlakukan dirinya. Segala bentuk keburukan yang ia terima, akan ia balas dengan kebaikan. Diriwayatkan bahwa Bayâzîd perna menguji para ulama dengan ungkapan-ungkapan yang sangat ekstatis (syathâhât) hingga akhirnya mereka merajamnya. Itu terjadi karena ketidakpahaman mereka terhadap maqam di mana ia berucap. Bayâzîd bukanlah orang yang suka memperbuat bidah, bahkan Ibn Taymiyyah sekalipun memuji kesalehannya. Tetapi, ia hanya bermaksud menguji mereka, karena mereka juga sebenarnya telah berusaha menguji dirinya.
Akhirnya, seusai mereka merajam Bayâzîd, jasadnya dilemparkan ke tempat pembuangan sampah. Sebenarnya ia masih hidup, tetapi badannya sangat lemah. Setelah terbaring dalam kondisi luka-luka selama tujuh hari, tenaganya sedikit pulih dan ia bisa menggerakkan badannya. Ia mulai mencari sesuatu yang bisa dimakan, dan menemukan sepotong tulang dengan sedikit daging busuk, yang mungkin dibuang orang seminggu sebelumnya. Ketika ia hendak memungutnya, muncul seekor anjing yang menggonggong dan berkata kepadanya, “Ini wilayah kekuasaanku, dan itu makananku. Kamu tak boleh mengambilnya.” Tuhan memberinya kemampuan memahami bahasa binatang. Bayâzîd meriwayatkan, “Aku bermunajat kepada Tuhan, ‘Ya Allah, ya Tuhanku, apa yang telah aku lakukan adalah demi cintaku pada-Mu. Aku ingin mereka membunuhku, tapi Engkau membuatku bergerak dan hidup. Dan ketika aku hidup kembali, aku ingin mereka kembali mengantarku kepada kematian; lalu Engkau kembali membuatku bergerak dan hidup, dan mereka akan merajamku lagi kemudian. Engkau pun kembali menghidupkanku, begitu berulang-ulang karena setiap kali mereka merajamku, aku berdoa agar Engkau, Tuhanku, mengampuni dosa-dosa mereka. Apa pun yang Engkau berikan sebagai balasan doa dan perjuangan batinku, Engkau, ya Rabb, membuat mereka berbagi pahala denganku.” Kisah ini menunjukkan bagaimana kebanyakan wali akan mencintai hamba-hamba-Nya ketika ia masuk ke dalam cinta-Nya.
Kini banyak sarjana muslim berkata, “Para wali sudah tak ada lagi.” Sebenarnya mereka masih ada, namun karena hanya sedikit orang yang akan bisa memahami kondisi para wali, maka mereka bersembunyi. Pernyataan lain dari para ulama masa kini adalah, “Setiap mukmin itu wali.” Kalaulah demikian, tentu Tuhan tak akan membedakan antara mukmin dan wali. Walaupun demikian, siapakah yang benar-benar bisa mengatakan bahwa dirinya seorang mukmin? Apakah mereka tidak ingat dengan firman Allah:
Orang-orang Arab badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk.” Karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian, dan jika kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun pahala amalan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q 49:14)
Siapa yang dapat menjamin seseorang bahwa iman sudah masuk ke dalam hatinya? Jaminan semacam itu tidak diberikan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya; itu diberikan oleh Allah kepada orang yang percaya. Di mana pun mereka berada, para wali akan membangun tempat ibadah, zawiat, khâniqah, atau ribat (tempat-tempat berkumpul untuk latihan dan praktik spiritual). Setelah selesai dibangun, orang-orang dari tempat yang jauh akan berdatangan mengunjungi tempat tersebut, dan akan disambut. Mereka (para wali) tak akan mengatakan, “Kami tidak mau menemui si ini atau si itu.” Pada zaman sekarang, orang-orang biasanya berkata, “Orang-orang ini musuh. Kami tak bisa menemui mereka. Orang-orang ini suka menghujat kami. Kami tak bisa menjumpai mereka.” Tetapi, Nabi saw. menemui semua orang, entah kawan maupun lawan.
HDan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q 34:28)
Jika musuh hendak menemui, beliau tetap akan berkenan membukakan pintu. Karena para waliullah merupakan pewaris maqam dan sifat para nabi, pintu mereka juga harus selalu terbuka. Jika tidak, maka apa gunanya kewalian? Allah menganugerahi kewalian kepada mereka agar mereka membukakan telinga kepada manusia, bergaul dengan mereka, dan menyeru mereka ke dalam Islam. Ketika kita menutup pintu dan berkata, “Aku tidak bergaul dengan orang-orang itu,” berarti kita telah mengucilkan diri sendiri dan menjadi penghalang jalan menuju-Nya. Kita harus bergaul dengan orang-orang dari berbagai keyakinan, agama, dan kelompok untuk membawa mereka kepada Kebenaran. Itulah sebabnya Syekh Agung menemui setiap orang, dan kita berusaha mengikuti langkahnya. Kita tak bisa menutup pintu dan berkata, “Kalian bukan anggota kelompok kami.” Kini segala sesuatu didasarkan pada keanggotaan–demi uang. Mereka akan berkata, “Bayarlah lima ratus ribu dan Anda bisa menjadi anggota kami.” Tidak ada lagi amal yang dilakukan secara ikhlas karena Allah.
“Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan berkeliling di atas bumi sebagai hamba Tuhan.” Artinya, ia akan menanggung beban–ia tempat pembuangan sampah semua orang. Sebagai balasannya, ia justru mendoakan orang-orang agar hati mereka berpaling kepada Tuhan. Hamba pilihan Tuhan mengerahkan kemampuan terbaik mereka untuk orang lain meskipun mereka memperlakukannya dengan sangat buruk. Itulah sebabnya dikatakan bahwa baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atas bumi. Ibn ‘Ajîbâh berkata, “Dan sejahat-jahatnya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya tidak dermawan.” Seorang hamba pilihan Tuhan sangat dermawan. Ia tidak pelit. Seorang hamba Tuhan selalu bermurah hati dengan segala pemberian Tuhan, dan tidak menahannya. Dan Allah Maha Memberi.
Nabi Muhammad saw. digambarkan Tuhan sebagai berikut: amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (Q 9:128) Dan tiada Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (Q 21:107)
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. akan meminta ampunan kepada Allah bagi semua orang. Singkatnya, seorang hamba Tuhan tidak boleh kikir. Manusia terburuk adalah mereka yang mengklaim sebagai hamba pilihan Tuhan padahal mereka bakhil. Bukan bakhil dalam urusan harta, tetapi bakhil dalam arti tidak mau menanggung kesulitan orang lain dan mengambil apa pun bentuk kebaikan yang dilimpahkan Tuhan, untuk diberikan kepada orang lain. Yang lebih buruk lagi adalah para hamba Tuhan yang telah dianugerahi ilmu pengetahuan agama dan makna-maknanya yang terdalam tetapi menyimpan ilmu pengetahuan itu untuk diri sendiri dengan tidak mengajarkannya kepada orang yang mampu menerimanya. Mereka adalah para ulama yang mengemukakan kebohongan tentang Tuhan dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Tuhan. Pada masa sekarang kita bisa menunjukkan banyak contoh mengenai hal semacam itu. Mereka, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan menginginkan agar manusia mengabdikan hidupnya untuk kejahatan, mengejar tujuan yang keliru, atau menyebarkan doktrin palsu. Mereka hamba-hamba Tuhan yang bakhil secara spiritual. Orang-orang semacam itu tak akan sukses dan, pada hari pembalasan kelak, mereka akan dimasukkan ke dalam golongan yang merugi. Mereka ibarat pohon yang dihiasi dengan bunga-bunga yang indah pada musim semi, tetapi meranggas dan tak berbuah pada musim gugur.
Untuk lebih jelasnya, seorang hamba Tuhan yang sejati akan membawa dosa-dosa mereka yang berada dalam bimbingannya dengan memohon ampunan Tuhan bagi mereka dan dengan meminta-Nya untuk menganugerahi mereka apa pun balasan pahala yang ia terima dari maqam apa pun yang ia duduki saat itu. Ini berlaku bagi siapa pun yang datang menemuinya. Nabi bersabda: Tuhan memerintahkan para malaikat untuk menelusuri jalanan guna mencari orang-orang yang sedang mengingat diri-Nya (berzikir). Ketika mereka menemukan sekelompok orang yang sedang berzikir, mereka akan memanggil malaikat yang lain dan para malaikatpun mengerumuni tempat itu secara berlapis-lapis hingga langit pertama … Lalu seseorang yang bukan berasal dari kelompok tersebut, tapi hanya datang untuk mendengarkan persoalan khusus, duduk bersama mereka. Allah berfirman, “Penyesalan tak akan menimpa siapa pun yang duduk bersama mereka.”
Itu berarti seseorang yang datang hanya selama beberapa menit, meskipun bukan termasuk anggota kelompok tersebut, tetap akan memperoleh balasan karena telah berkumpul bersama mereka. Siapa pun yang datang menemui seorang wali, ia akan memberi orang itu apa pun yang telah diberikan Tuhan dan nabi-Nya kepada dirinya. Itulah makna kemurahan hati–lawan dari sikap kikir. Itu berarti memberikan dengan penuh kasih sayang apa yang telah Allah anugerahkan kepada dirinya. Itu berarti mengambil alih dan menanggung kesusahan dan persoalan orang-orang yang datang menemuinya. Al-Syiblî mengatakan, “hamba pilihan Tuhan terlepas dari ciptaan dan terkait pada Sang Mahabenar (al-Haqq).” Ia melanjutkan, “munqathi‘ ‘an al-khalq,” bermakna, “hatinya terputus dari orang banyak dan terhubung dengan Ilahi.” Secara harfiah, ungkapan itu berarti bahwa ia melepaskan diri dari makhluk dan secara spiritual menghubungkan diri dengan cinta-Nya. Akan tetapi, dalam maknanya yang lebih dalam, ungkapan itu juga berarti bahwa ia menolak segala bentuk kepalsuan dan mencintai segala bentuk kebenaran. Seorang hamba Tuhan tidak akan melibatkan diri ke dalam persoalan yang tidak penting baginya, atau ke dalam perbuatan dan pembicaraan orang-orang yang bertentangan dengan Kebenaran. Ia terhubung dengan Kebenaran. Ia menyukai segala sesuatu tentang Kebenaran dan membenci segala bentuk kepalsuan. Ketika ia melepaskan diri dari kepalsuan, ia membungkusnya, seolah-olah ia tidak melihatnya, meskipun sebenarnya ia benar-benar menyadarinya. Pada saat yang sama, ia juga tidak mengecam atau membeberkan kepalsuan dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang-orang.
Ia menggabungkan diri dengan Kebenaran dan melepaskan diri dari kepalsuan. Ia melakukan hal ini untuk mengimbangi kepalsuan orang-orang dengan meletakkan Kebenaran pada sisi timbangan lainnya. Jika kepalsuan tidak terkendali, itu akan menyebabkan kehancuran baik bagi umat maupun bagi dunia secara keseluruhan. Jadi, para wali itu ibarat gunung dalam kehidupan umat; mereka mengimbangi segala sesuatu sebagaimana gunung membuat bumi tetap seimbang. Dan gunung-gunung sebagai pasak. (Q 78:7).Jika kepalsuan semakin tak teratasi, tidak akan ada lagi keseimbangan di bumi, dan bumi akan terbalik. Maka para wali membuat seimbang segala sesuatu. Itulah makna dari firman Allah: Supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Q 55:8–9)
Kedua ayat itu mengandung arti, “Jadikanlah segala sesuatu seimbang dalam timbangan.” Jika para wali tidak mengimbangi kepalsuan dengan beribadah, jika mereka tidak menyeimbangkan kesalahan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan kebenaran, maka dunia sudah musnah sejak lama. Mengenai salah satu tanda datangnya kiamat, ‘Abd Allâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah berkata:
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada para ulama, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mencabut nyawa mereka hingga tiada lagi orang yang menggantikan posisi mereka, dan orang-orang pun menjadikan orang bodoh sebagai pimpinan mereka. Mereka (para pemimpin bodoh) akan dimintai pendapat lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.
Hamba-hamba yang saleh telah menyeimbangkan segala sesuatu sejak masa Nabi Muhammad saw. Memang, sepanjang zaman, mereka selalu menyeimbangkan kepalsuan dengan kebenaran. Tetapi, sekarang keseimbangan yang mereka bawakan kepada dunia itu sudah mencapai batas akhir, sehingga tidak lagi tercipta keseimbangan. Memang, lemahnya naluri keseimbangan telah menjadi ciri umum zaman kita sekarang. Itulah sebabnya saat ini kita menyaksikan banyak sekali pembunuhan. Dan ketika semua orang berbicara tentang perdamaian, kenyataannya di mana-mana orang meregang nyawa. Semoga Tuhan menjaga kita dalam lindungan hamba-hamba-Nya yang saleh yang telah Dia anugerahi pengetahuan, dan Dia amanatkan bimbingan umat Muhammad, serta mengimbangi perbuatan kita dengan kebaikan. Nabi Muhammad saw. bersabda: Setelahku akan ada para khalifah, dan setelah para khalifah akan ada para pangeran, dan setelah para pangeran akan ada para raja, dan setelah para raja akan ada para penguasa tiran. Dan setelah para penguasa tiran akan ada seseorang dari keluargaku (ahlulbait) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan, dan setelahnya akan ada al-Qahtânî. Demi Yang memberiku Kebenaran, tiada kabar yang terlewat.
Para khalifah yang disebut dalam hadis ini adalah empat khalifah teladan, yaitu Abû Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Alî—semoga Allah meridai mereka. Sedangkan para pangeran dalam hadis itu adalah para khalifah Bani Umayyah di Damaskus dan para khalifah Bani Abbasiyah di Bagdad. Sementara para raja adalah para sultan Utsmani di Istanbul. Setelah para raja, menurut hadis itu, akan ada para penguasa tiran, yaitu yang biasa kita saksikan sekarang. Para wali tidak melihat masa depan yang disebutkan dalam hadis semacam itu sebagai masa depan yang sangat jauh. Mereka berbicara kepada siapa yang mau belajar dari mereka, bahwa hadis-hadis tersebut adalah rambu-rambu bagi manusia di sepanjang jalan menuju akhirat. Kalau kita berperilaku seperti orang buta, mengabaikan tanda-tanda zaman, lantas apa gunanya petunjuk yang sangat terang itu? Tugas para wali, sebagai pewaris para nabi, adalah mengingatkan manusia, memberi kabar gembira (basyîr) dan peringatan (nadzîr). Mari kita perhatikan petunjuk terang yang dibawa Nabi saw. kepada kita semua, dan siap-siap menghadapi zaman penuh godaan. Dengan mengikuti rambu-rambu tersebut, kita berharap bisa mewujudkan era keemasan peradaban nabawi, era yang belum pernah dunia saksikan
11 prinsip thariqat Naqhbandi
11 Prinsip Thoriqot Naqsbandi
Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq al ghujduwani adalah:
1. Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
4. Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun."
8. Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya
Asas-asasnya 'Abd al-Khaliq al ghujduwani adalah:
1. Hush dar dam: "sadar sewaktu bernafas". Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: "menjaga langkah". Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: "melakukan perjalanan di tanah kelahirannya". Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
4. Khalwat dar anjuman: "sepi di tengah keramaian". Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep "innerweltliche Askese" dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai "menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang"; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara'. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: "ingat", "menyebut". Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt: "kembali", " memperbarui". Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: "waspada". Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): "Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun."
8. Yad dasyt: "mengingat kembali". Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
1. Wuquf-i zamani: "memeriksa penggunaan waktu seseorang". Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i 'adadi: "memeriksa hitungan dzikir seseorang". Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: "menjaga hati tetap terkontrol". Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya
Friday, July 20, 2007
Ikhlas
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih” (QS. 39:3).
Anas bin Malik ra menuturkan bahwa Rasulullah saw telah menyatakan, “Kedengkian tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika dia menetapi tiga perkara: ikhlas kepada Allah dalam semua perbuatannya, memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan orang-orang yang berserah diri kepada Allah”.
Ikhlas mempunyai maksud menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan persembahan. Ini berarti menghendaki kedekatan dengan Allah melalui ibadah, dengan mengesampingkan yang lain, apakah itu sifat riya yang bertujuan memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia –pendeknya apapun yang lain dari kehendak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Dikatakan dengan tepat, “Ikhlas berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari harapan apapun terhadap sesama makhluk”.
Dikatakan juga, “Ikhlas berarti melindungi diri sendiri dari apapun pandangan manusia”.
Sebuah hadits shahih menyatakan bahwa Nabi saw menuturkan, berdasarkan riwayat Jibril as, yang menuturkan tentang Allah SWT, bahwa Dia telah berfirman, “Ikhlas adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-KU. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati hamba-hamba yang Ku-cintai.”
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia, dan sifat amanah berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap munafik dan orang yang amanah tidaklah sombong”.
Dzun Nun al-Mishry berkomentar, “Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus”. Abu Ya’qub as-Susi menyatakan, “Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan”. Dzun Nun menjelaskan, “Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya”.
Abu ‘Utsman al-Maghribi menyatakan, “Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh kesenangan. Ini adalah ikhlasnya orang awam. Mengenai ikhlasnya manusia pilihan, keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka terpisah dengannya. Mereka tidak menyadari perbuatan baik mereka, tidak pula mereka punya kepedulian terhadapnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan”. Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, “Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)”. Sahl berkata, “Hanya orang yang ikhlas (mukhlis) sajalah yang mengenal akrab kemunafikan”. Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan, “kemunafikan kaum ‘arifin adalah lebih baik dari ikhlasnya para murid”.
Dzun Nun menyatakan, “Keikhlasan adalah apa yang dilindungi dari kerusakan oleh musuh”. Abu ‘Utsman mengatakan, “Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah”. Hudzaifah al-Mar’asyi berkomentar, “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya”. Dikatakan, “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah berkendak dan sifat amanah diupayakan”. Dikatakan pula, “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik”. As-Sari mengatakan, “Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti bercampak dari penghargaan Allah SWT”. Al-Fudhail menyatakan, “Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini”.
Al-Junayd mengatakan, “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinya sehingga ia tidak bisa mempengaruhinya”. Ruwaym menjelaskan : Ikhlas dalam berbuat kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat, tidak pula dia mencari perlakuan baik dari dua malaikat yang menanyai orang mati [di dalam kubur]”. Ditanyakan kepada Sahl bin ‘Abdallah, “Apakah hal yang paling berat pada diri manusia?” Dia menjawab, “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya”.
Ketika ditanya tentang keikhlasan, salah seorang Sufi menjawab, “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah untuk menjadi saksi atas perbuatanmu”.
Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku menemui Sahl bin ‘Abdallah pada suatu hari jumat dirumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu di pintu. Dia berseru, ‘Masuklah! Tak seorangpun bisa mencapai hakikat iman jika dia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi’. Kemudian dia bertanya, ‘Apakah engkau hendak mengikuti shalat jumat?’ aku menjawab, ‘Jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam’. Maka dia lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di situ, melihat orang banyak, dan berkata, ‘banyak orang yang mengucapkan La ilaha illa l’Lah, tapi sedikit sekali yang ikhlas’”.
Mak-hul menyatakan, “Seorang hamba yang ikhlas selama empat puluh hari akan mengalami kebijaksanaan memancar dari hati dan lidahnya”. Yusuf bin al-Husayn berkomentar, “Milikku, yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari kemunafikan, namun setiap kali aku berhasil, ia muncul lagi dalam selubung yang lain!” Abu Sulayman berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka gelombang godaan dan kemunafikan akan berhenti”.
Anas bin Malik ra menuturkan bahwa Rasulullah saw telah menyatakan, “Kedengkian tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika dia menetapi tiga perkara: ikhlas kepada Allah dalam semua perbuatannya, memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan orang-orang yang berserah diri kepada Allah”.
Ikhlas mempunyai maksud menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan persembahan. Ini berarti menghendaki kedekatan dengan Allah melalui ibadah, dengan mengesampingkan yang lain, apakah itu sifat riya yang bertujuan memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia –pendeknya apapun yang lain dari kehendak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Dikatakan dengan tepat, “Ikhlas berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari harapan apapun terhadap sesama makhluk”.
Dikatakan juga, “Ikhlas berarti melindungi diri sendiri dari apapun pandangan manusia”.
Sebuah hadits shahih menyatakan bahwa Nabi saw menuturkan, berdasarkan riwayat Jibril as, yang menuturkan tentang Allah SWT, bahwa Dia telah berfirman, “Ikhlas adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-KU. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati hamba-hamba yang Ku-cintai.”
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia, dan sifat amanah berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap munafik dan orang yang amanah tidaklah sombong”.
Dzun Nun al-Mishry berkomentar, “Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus”. Abu Ya’qub as-Susi menyatakan, “Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan”. Dzun Nun menjelaskan, “Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya”.
Abu ‘Utsman al-Maghribi menyatakan, “Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh kesenangan. Ini adalah ikhlasnya orang awam. Mengenai ikhlasnya manusia pilihan, keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka terpisah dengannya. Mereka tidak menyadari perbuatan baik mereka, tidak pula mereka punya kepedulian terhadapnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan”. Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, “Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)”. Sahl berkata, “Hanya orang yang ikhlas (mukhlis) sajalah yang mengenal akrab kemunafikan”. Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan, “kemunafikan kaum ‘arifin adalah lebih baik dari ikhlasnya para murid”.
Dzun Nun menyatakan, “Keikhlasan adalah apa yang dilindungi dari kerusakan oleh musuh”. Abu ‘Utsman mengatakan, “Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah”. Hudzaifah al-Mar’asyi berkomentar, “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya”. Dikatakan, “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah berkendak dan sifat amanah diupayakan”. Dikatakan pula, “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik”. As-Sari mengatakan, “Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti bercampak dari penghargaan Allah SWT”. Al-Fudhail menyatakan, “Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini”.
Al-Junayd mengatakan, “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinya sehingga ia tidak bisa mempengaruhinya”. Ruwaym menjelaskan : Ikhlas dalam berbuat kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat, tidak pula dia mencari perlakuan baik dari dua malaikat yang menanyai orang mati [di dalam kubur]”. Ditanyakan kepada Sahl bin ‘Abdallah, “Apakah hal yang paling berat pada diri manusia?” Dia menjawab, “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya”.
Ketika ditanya tentang keikhlasan, salah seorang Sufi menjawab, “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah untuk menjadi saksi atas perbuatanmu”.
Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku menemui Sahl bin ‘Abdallah pada suatu hari jumat dirumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu di pintu. Dia berseru, ‘Masuklah! Tak seorangpun bisa mencapai hakikat iman jika dia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi’. Kemudian dia bertanya, ‘Apakah engkau hendak mengikuti shalat jumat?’ aku menjawab, ‘Jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam’. Maka dia lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di situ, melihat orang banyak, dan berkata, ‘banyak orang yang mengucapkan La ilaha illa l’Lah, tapi sedikit sekali yang ikhlas’”.
Mak-hul menyatakan, “Seorang hamba yang ikhlas selama empat puluh hari akan mengalami kebijaksanaan memancar dari hati dan lidahnya”. Yusuf bin al-Husayn berkomentar, “Milikku, yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari kemunafikan, namun setiap kali aku berhasil, ia muncul lagi dalam selubung yang lain!” Abu Sulayman berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka gelombang godaan dan kemunafikan akan berhenti”.
RIDHA
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” (QS, al-Bayyinah, 98:8).
Jabir mengabarkan bahwa Rasululah saw. Menyatakan , “Para penghuni surga akan berada di dalam sebuah kumpulan ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan Allah SWT memandang mereka dan berfirman, ‘Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian inginkan.’ Mereka akan menjawab, ‘Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami.’ Allah SWT menjawab, ‘ Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku telah menghormati kalian. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku.’ Mereka akn menjawab, ‘Kami memohon tambahan selain ini.’ “
Selanjutnya beliau berkata, “Kepada mereka akan di bawakan kuda-kuda kuat yang terbuat dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud dan manikam. Mereka akan menaikinya, dan kuda-kuda itu akan melangkah lebih cepat dari penglihatan mata. Lalu Allah SWT akan memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari itu akan berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang muda dan lemah lembut, dan kami tidak akan layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.’
Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harum, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut ‘al-Mutsirah’ (Pembangkit) sampai akhirnya mereka dibawa ke Surga ‘Adn, yang adalah pusat surga. Para malaikat akan menyerukan ‘Wahai Tuhan kami, mereka telah datang.’ Allah SWT akan mengatakan, ‘Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang patuh.’ “Lalu Rasulullah saw mengatakan , “Maka tabir pun akan disingkapkan akan menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah SWT akan memerintahkan, “Rasulullah melanjutkan, “mereka akan dibawa kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan bisa lagi saling pandang”. Lalu Rasulullah saw menjelaskan, “Itulah yang dimaksud dengan Firman Allah, `sebagai hadiah dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang`” (QS, Fushshilat, 41:32).
Manakala orang berbicara tentang keridlaan, masing-masing mengungkapkan berdasarkan keadaan dan “maqam” masing-masing. Maka ungkapan pendapat mereka juga berbeda, sebagaimana berbedanya pengalaman dan “maqam” masing-masing. Ada yang mengatakannya sebagai ‘tanpa keraguan sedikit pun’, hal itu adalah bahwa orang yang ridla terhadap Allah SWT adalah orang yang tidak berkeberatan terhadap takdir-Nya.
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Keridlaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, keridlaan sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan Ilahi dan pengadilan-Nya”.
Ketahuilah bahwa wajib hukumnya, bagi seorang hamba untuk bersikap ridla terhadap takdir yang ditetapkan untuknya, yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala.
Para syaikh berkomentar, “Keridlaan adalah gerbang Allah yang terbesar”. Maksud mereka adalah bahwa barangsiapa yang mendapat kehormatan dengan keridlaan, berarti dia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan yang tertinggi”.
‘Abdul Wahid bin Zayd menjelaskan, “Keridlaan adalah gerbang Alah yang terbesar dan surganya dunia ini”. Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat keridlaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha keapda-Nya” (QS. Al-Bayyinah, 98:8).
Syaikh abu ‘Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syaikhnya, ‘Apakah si hamba mengetahui apakah Allah ridla kepadanya?‘ Sang Syaikh menjawab, ‘tidak. Bagaimana dia bisa tahu hal itu sedangkan keridlaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?’ Si murid memprotes, ‘Tidak, dia bisa mengetahuinya!’ Syaikhnya bertanya, ‘Bagaimana si hamba bisa tahu? Si murid menjawab: “Jika saya mendapati hati saya ridla kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridla kepada saya.’ Maka sang Syaikh lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.’ “
Ketika Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keridlaan-Mu.” Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra ‘Imran, Keridlaan-Ku ada pada keridlaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Sulayman ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu, maka dia akan mencapai keridlaan.” An-Nasrabadhi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai derajat keridlaan, maka hendaklah ia berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam keridlaan: keridlaan terhadap Allah SWT dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya.” Keridlaan terhadap Allah SWT berarti bahwa si hamba ridla terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya), dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syaihk Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “jalan sang pengembara lebih panjang, dan itulah jalan latihan spritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridlaan dan agar engkau ridla dengan takdir.” Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridlaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.” Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah keridlaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan kemanisan dan pengetahuan memanfaatkan dirimu agar supaya tidak menabirimu dari kebenaran batin yang menyangkut kepedulianmu.” Ketahuilah bahwa kata-kata ini sangatlah penting. Di Dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab keridlaan terhadap keadaan itu sendiri merupakan tabir yang menabiri si Pemberi Keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam keridlaannya dan mengalami nikmatnya keridlaan dalam hatinya, maka dia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran hati.
Al-Wasiti juga mengingatkan, “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadah, sebab itu adalah racun yang membawa maut.” Ibn khafif menyatakan, “Keridlaan adalah tenangnya hati dengan ketetapn Allah dan keserasiannya hati dengan apa yang menjadikan Allah ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”
Ketika Rabia’ah al-Adawiyah ditanya: “Kapankah seorang hamba dipandang ridla?” dia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah.” Diceritakan bahwa Asy-Syibli menegaskan di hadapan Al-Junayd, “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah, “ dan Al-Junayd mengatakan kepadanya, “Ucapanmu itu muncul dari kenestapaan, dan kenestapaan datang karena orang meninggalkan keridlaan terhadap takdir. “ Asy-Syibli terdiam.
Abu Sulayman ad-Darani mengatakan: “Keridlaan adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah SWT atau berlindung kepada-Nya dari neraka.“ Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ada tiga tanda keridlaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husayn putra ‘Ali bin Abi Thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, ‘Kemikisnan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’ Al-Husayn menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.’ “
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa Bisyr al-Hafi, “Keridlaan adalah lebih baik daripada hidup kepertapaan (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang ridla tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya. “ Ketika Abu ‘Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa ridla setelah diputuskannya ketetapan (Mu), “Dia menjelaskan, “Ini karena keridlaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah berarti adanya niat kuat untuk merasa ridla, tetapi keridlaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] keridlaan.”
Abu Sulayman menyatakan, “Aku ingin seandainya aku mengetahui sebagian kecil saja tentang keridlaan. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan puas karenanya.” Abu ‘Umar ad-Dimasyqi menyatakan, “Keridlaan adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah (Allah) yang mana pun. “ Al-Junayd berkomentar, “Keridlaan adalah meniadakan pilihan.” Ibnu ‘Atha’ menegaskan, “Keridlaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Allah (Qadha’) bagi si hamba, dan meninngalkan ketidaksenangan.” Ruwaym berkata,”Keridlaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).” An-Nuri menyatakan, “Keridlaan adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.” Al-Jurayri mengatakan, “Barangsiapa yang ridla tampa batas, Allah akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Abu Turab An-Naksyabi menyatakan, “Orang yang menaruh penghargaan terhadap dunia di dalam hatinya tidak akan dianugrahi keridlaan.”
Diriwayatkan oleh al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bahwa Rasulullah saw mejelaskan: “Barangsiapa yang ridla akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan meresakan nikmatnya iman.”
Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ary, “Segala kebaikan terletak di dalam keridlaan. Maka jika engaku mampu, jadilah oranng yang ridla; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”
Jabir mengabarkan bahwa Rasululah saw. Menyatakan , “Para penghuni surga akan berada di dalam sebuah kumpulan ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan Allah SWT memandang mereka dan berfirman, ‘Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian inginkan.’ Mereka akan menjawab, ‘Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami.’ Allah SWT menjawab, ‘ Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku telah menghormati kalian. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku.’ Mereka akn menjawab, ‘Kami memohon tambahan selain ini.’ “
Selanjutnya beliau berkata, “Kepada mereka akan di bawakan kuda-kuda kuat yang terbuat dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud dan manikam. Mereka akan menaikinya, dan kuda-kuda itu akan melangkah lebih cepat dari penglihatan mata. Lalu Allah SWT akan memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari itu akan berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang muda dan lemah lembut, dan kami tidak akan layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.’
Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harum, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut ‘al-Mutsirah’ (Pembangkit) sampai akhirnya mereka dibawa ke Surga ‘Adn, yang adalah pusat surga. Para malaikat akan menyerukan ‘Wahai Tuhan kami, mereka telah datang.’ Allah SWT akan mengatakan, ‘Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang patuh.’ “Lalu Rasulullah saw mengatakan , “Maka tabir pun akan disingkapkan akan menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah SWT akan memerintahkan, “Rasulullah melanjutkan, “mereka akan dibawa kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan bisa lagi saling pandang”. Lalu Rasulullah saw menjelaskan, “Itulah yang dimaksud dengan Firman Allah, `sebagai hadiah dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang`” (QS, Fushshilat, 41:32).
Manakala orang berbicara tentang keridlaan, masing-masing mengungkapkan berdasarkan keadaan dan “maqam” masing-masing. Maka ungkapan pendapat mereka juga berbeda, sebagaimana berbedanya pengalaman dan “maqam” masing-masing. Ada yang mengatakannya sebagai ‘tanpa keraguan sedikit pun’, hal itu adalah bahwa orang yang ridla terhadap Allah SWT adalah orang yang tidak berkeberatan terhadap takdir-Nya.
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Keridlaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, keridlaan sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan Ilahi dan pengadilan-Nya”.
Ketahuilah bahwa wajib hukumnya, bagi seorang hamba untuk bersikap ridla terhadap takdir yang ditetapkan untuknya, yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala.
Para syaikh berkomentar, “Keridlaan adalah gerbang Allah yang terbesar”. Maksud mereka adalah bahwa barangsiapa yang mendapat kehormatan dengan keridlaan, berarti dia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan yang tertinggi”.
‘Abdul Wahid bin Zayd menjelaskan, “Keridlaan adalah gerbang Alah yang terbesar dan surganya dunia ini”. Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat keridlaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha keapda-Nya” (QS. Al-Bayyinah, 98:8).
Syaikh abu ‘Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syaikhnya, ‘Apakah si hamba mengetahui apakah Allah ridla kepadanya?‘ Sang Syaikh menjawab, ‘tidak. Bagaimana dia bisa tahu hal itu sedangkan keridlaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?’ Si murid memprotes, ‘Tidak, dia bisa mengetahuinya!’ Syaikhnya bertanya, ‘Bagaimana si hamba bisa tahu? Si murid menjawab: “Jika saya mendapati hati saya ridla kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridla kepada saya.’ Maka sang Syaikh lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.’ “
Ketika Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keridlaan-Mu.” Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra ‘Imran, Keridlaan-Ku ada pada keridlaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Sulayman ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu, maka dia akan mencapai keridlaan.” An-Nasrabadhi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai derajat keridlaan, maka hendaklah ia berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam keridlaan: keridlaan terhadap Allah SWT dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya.” Keridlaan terhadap Allah SWT berarti bahwa si hamba ridla terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya), dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syaihk Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “jalan sang pengembara lebih panjang, dan itulah jalan latihan spritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridlaan dan agar engkau ridla dengan takdir.” Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridlaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.” Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah keridlaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan kemanisan dan pengetahuan memanfaatkan dirimu agar supaya tidak menabirimu dari kebenaran batin yang menyangkut kepedulianmu.” Ketahuilah bahwa kata-kata ini sangatlah penting. Di Dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab keridlaan terhadap keadaan itu sendiri merupakan tabir yang menabiri si Pemberi Keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam keridlaannya dan mengalami nikmatnya keridlaan dalam hatinya, maka dia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran hati.
Al-Wasiti juga mengingatkan, “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadah, sebab itu adalah racun yang membawa maut.” Ibn khafif menyatakan, “Keridlaan adalah tenangnya hati dengan ketetapn Allah dan keserasiannya hati dengan apa yang menjadikan Allah ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”
Ketika Rabia’ah al-Adawiyah ditanya: “Kapankah seorang hamba dipandang ridla?” dia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah.” Diceritakan bahwa Asy-Syibli menegaskan di hadapan Al-Junayd, “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah, “ dan Al-Junayd mengatakan kepadanya, “Ucapanmu itu muncul dari kenestapaan, dan kenestapaan datang karena orang meninggalkan keridlaan terhadap takdir. “ Asy-Syibli terdiam.
Abu Sulayman ad-Darani mengatakan: “Keridlaan adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah SWT atau berlindung kepada-Nya dari neraka.“ Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ada tiga tanda keridlaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husayn putra ‘Ali bin Abi Thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, ‘Kemikisnan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’ Al-Husayn menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.’ “
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa Bisyr al-Hafi, “Keridlaan adalah lebih baik daripada hidup kepertapaan (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang ridla tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya. “ Ketika Abu ‘Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa ridla setelah diputuskannya ketetapan (Mu), “Dia menjelaskan, “Ini karena keridlaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah berarti adanya niat kuat untuk merasa ridla, tetapi keridlaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] keridlaan.”
Abu Sulayman menyatakan, “Aku ingin seandainya aku mengetahui sebagian kecil saja tentang keridlaan. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan puas karenanya.” Abu ‘Umar ad-Dimasyqi menyatakan, “Keridlaan adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah (Allah) yang mana pun. “ Al-Junayd berkomentar, “Keridlaan adalah meniadakan pilihan.” Ibnu ‘Atha’ menegaskan, “Keridlaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Allah (Qadha’) bagi si hamba, dan meninngalkan ketidaksenangan.” Ruwaym berkata,”Keridlaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).” An-Nuri menyatakan, “Keridlaan adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.” Al-Jurayri mengatakan, “Barangsiapa yang ridla tampa batas, Allah akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Abu Turab An-Naksyabi menyatakan, “Orang yang menaruh penghargaan terhadap dunia di dalam hatinya tidak akan dianugrahi keridlaan.”
Diriwayatkan oleh al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bahwa Rasulullah saw mejelaskan: “Barangsiapa yang ridla akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan meresakan nikmatnya iman.”
Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ary, “Segala kebaikan terletak di dalam keridlaan. Maka jika engaku mampu, jadilah oranng yang ridla; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”
Syukur
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat -Ku) kepadamu” (QS 14:7).
Diriwayatkan oleh Abu Khabab, berkata ‘Atha’, “Aku ber-sama ‘Ubayd bin ‘Umayr mengunjungi ‘A’isyah ra dan barkata kepadanya, ‘ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Ibunda lihat pada Rasulullah saw’. Beliau menangis dan bertanya, ‘Apakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidurku (atau mungkin ‘A’isyah berkata dibawah selimutku) hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa waktu, beliau berkata, “Wahai puteri abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku”. Aku menjawab, “Saya begitu senang berdekatan dengan Tuhan,” tapi aku mengizinkanmu’. Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mencucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya menetesi dadanya, kemudian beliau ruku` dan terus menangis, lalu susjud dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau, “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan, baik yang dahulu maupun yang belakangan? Beliau menjawab, “Tidakkah aku mesti menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir’ (QS 2:164 dan cf. QS 3:190)?’”
Hakekat syukur, menurut mereka yang telah mencapai kebenaran, adalah pengakuan akan anugerah dari sang Pemberi Anugerah, dengan sikap penuh kepasrahan dan sesuai dengan perkataan berikut, “Allah SWT bersifat mensyukuri (asy-Syakur) dalam arti menyebarluaskan anugerah-Nya, bukan dalam arti harfiah”. Ini berarti bahwa Dia memberi ganjaran bagi sikap bersyukur. Karenanya, Dia telah menetapkan bahwa balasan bagi sikap bersyukur adalah sikap bersyukur pula (di pihak-Nya) sebagaimana telah dinyatakan-Nya, “Balasan bagi tindak pekerjaan adalah kejahatan yang serupa” (QS 42:40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, “Seekor binatang dikatakan bersyukur jika ia mencari makanan melebihi (jatah) jerami yang diberikan kepadanya”. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa hakekat bersyukur adalah memuji Ar-Rahman dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah SWT kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikannya kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan dia mampu menyatakan syukur kepada-Nya.
Syukur seorang hamba, pada hakekatnya, mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Tuhan. Syukur dibagi menjadi : sykur dengan lidah, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, syukurnya tubuh dan anggota-anggota badan, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur hati, dengan mengundurkan diri ke tataran syahadah dengan terus-menerus melaksanakan penghormatan. Dikatakan bahwa kaum yang terpelajar bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin (ahli makrifat) bersyukur dengan ketabahan mereka terhadap-Nya di dalam semua keadaan mereka.
Abu Bakr al-Warraq menyatakan, “Syukur atas anugerah adalah memberikan kesaksian terhadap anugerah tersebut dengan melaksanakan penghormatan”. Al-Junayd berkomentar, “Ada kekurangan dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi dia sadar akan bagian untuk dirinya di saat ia juga sadar akan Tuhan”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Bersyukur adalah mengakui ketidakmampuan diri untuk menjadi orang yang bersyukur”. Dikatakan, Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Ini dikarenakan bahwa bersyukurmu datang karena Dia telah memberikan kemampuan kepadamu untuk itu, dan bahwa tindakan-Nya itu termasuk anugerah yang paling besar terhadapmu. Jadi engkau bersyukur terhadap bersykurmu, dan seterunya berulang-ulang secara tak terhingga”.
Dikatakan, “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan”. Al-Junayd menyatakan, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima anugerah”. Ruwaym menjelaskan, Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu (dalam upaya untuk bersyukur)”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) adalah orang yang bersykur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur (syakur) adalah dia yang bersyukur atas apa yang tidak ada”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) berterima kasih atas pemberian, tapi orang yang sangat bersyukur (syakur) berterima kasih karena tidak diberi”. Dikatakan juga, “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas kemelaratannya”. “Orang yang bersyukur berterima kasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih manakala anugerah ditunda”.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu waktu, ketika waktu aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sari, dan kelompok orang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Dia bertanya kepadaku, ‘Hawai anakku , apakah bersyukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika orang tidak menggunakan anugerah (yang diberikan Allah) untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia menyatakan, ‘Derajatmu di sisi Allah akan segera kau peroleh melalui lidahmu, Nak’”. Al-Junayd menyatakan, “Aku masih sering menangis mengingat kata-katanya itu”. Asy-Syibli menjelaskan, “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberani anugerah, bukan kesadaran akan anugerahnya”. Dikatakan, “Syukur adalah belenggu bagi apa yang dilmiliki seseorang serta jerat bagi apa yang belum dimilikinya”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Kaum awam bersyukur karena diberi makan dan pakaian, sedangkan kaum terpilih bersyukur atas makna-makna yang memasuki hati mereka”.
Dikatakan bahwa Daud as bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur kepadamu sedangkan tindakanmu bersyukur itu sendiri adalah anugerah dari-Mu?” Allah mewahyukan kepadanya, “Engkau baru saja bersyukur”. Dikatakan bahwa Musa as mengatakan dalam doa munajatnya, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan tangan-Mu, dan engkau telah begini dan begitu (baginya). Bagaimana dia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab, “Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah tanda syukurnya kepada-Ku”.
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabatnya itu mengatakan kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Lalu sahabatnya itu didera, dan dia menulis surat kepada sang Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dan dibelenggu, salah satu borgol rantainya dikenakan pada kaki si sahabat, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki si Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun untuk buang air besar, yang berarti si sahabat itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Dia lau menulis surat kepada sahabatnya, “Bersyukurlah kepada Allah”. Sahabatnya (si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kamlimat ini?” sahabatnya menjawab, “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan kau perbuat?”
Seseorang mendatangi sahl bin ‘Abdallah dan mengatakan kepadanya, “Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang-barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah SWT. Seandainya seorang pencuri (yakin syetan) memasuki hatimu dan merusak imanmu kepada Tauhid, apa yang akan kau perbuat?”
Dikatakan, “Syukurnya mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang kau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang kau dengar tentang dia”. Dikatakan juga, “Syukur adalah menyibukkan diri dalam memuji-Nya karena Ia telah memberimu apa yang kau tak pantas menerimanya”. Al-Junayd menuturkan, Manakala as-Sari berkenhendak untuk mengajarku, dia biasanya mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari dia bertanya kepadaku, ‘Wahai al-Junayd, apakah syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika tak satu bagian pun dari anugerah Allah SWT digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia bertanya lagi, ‘Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan) ini?’ Aku menjawab, ‘Dengan duduk-duduk bersamamu’”.
Diriwayatkan oleh Abu Khabab, berkata ‘Atha’, “Aku ber-sama ‘Ubayd bin ‘Umayr mengunjungi ‘A’isyah ra dan barkata kepadanya, ‘ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Ibunda lihat pada Rasulullah saw’. Beliau menangis dan bertanya, ‘Apakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidurku (atau mungkin ‘A’isyah berkata dibawah selimutku) hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa waktu, beliau berkata, “Wahai puteri abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku”. Aku menjawab, “Saya begitu senang berdekatan dengan Tuhan,” tapi aku mengizinkanmu’. Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mencucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya menetesi dadanya, kemudian beliau ruku` dan terus menangis, lalu susjud dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau, “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan, baik yang dahulu maupun yang belakangan? Beliau menjawab, “Tidakkah aku mesti menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir’ (QS 2:164 dan cf. QS 3:190)?’”
Hakekat syukur, menurut mereka yang telah mencapai kebenaran, adalah pengakuan akan anugerah dari sang Pemberi Anugerah, dengan sikap penuh kepasrahan dan sesuai dengan perkataan berikut, “Allah SWT bersifat mensyukuri (asy-Syakur) dalam arti menyebarluaskan anugerah-Nya, bukan dalam arti harfiah”. Ini berarti bahwa Dia memberi ganjaran bagi sikap bersyukur. Karenanya, Dia telah menetapkan bahwa balasan bagi sikap bersyukur adalah sikap bersyukur pula (di pihak-Nya) sebagaimana telah dinyatakan-Nya, “Balasan bagi tindak pekerjaan adalah kejahatan yang serupa” (QS 42:40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, “Seekor binatang dikatakan bersyukur jika ia mencari makanan melebihi (jatah) jerami yang diberikan kepadanya”. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa hakekat bersyukur adalah memuji Ar-Rahman dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah SWT kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikannya kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan dia mampu menyatakan syukur kepada-Nya.
Syukur seorang hamba, pada hakekatnya, mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Tuhan. Syukur dibagi menjadi : sykur dengan lidah, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, syukurnya tubuh dan anggota-anggota badan, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur hati, dengan mengundurkan diri ke tataran syahadah dengan terus-menerus melaksanakan penghormatan. Dikatakan bahwa kaum yang terpelajar bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin (ahli makrifat) bersyukur dengan ketabahan mereka terhadap-Nya di dalam semua keadaan mereka.
Abu Bakr al-Warraq menyatakan, “Syukur atas anugerah adalah memberikan kesaksian terhadap anugerah tersebut dengan melaksanakan penghormatan”. Al-Junayd berkomentar, “Ada kekurangan dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi dia sadar akan bagian untuk dirinya di saat ia juga sadar akan Tuhan”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Bersyukur adalah mengakui ketidakmampuan diri untuk menjadi orang yang bersyukur”. Dikatakan, Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Ini dikarenakan bahwa bersyukurmu datang karena Dia telah memberikan kemampuan kepadamu untuk itu, dan bahwa tindakan-Nya itu termasuk anugerah yang paling besar terhadapmu. Jadi engkau bersyukur terhadap bersykurmu, dan seterunya berulang-ulang secara tak terhingga”.
Dikatakan, “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan”. Al-Junayd menyatakan, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima anugerah”. Ruwaym menjelaskan, Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu (dalam upaya untuk bersyukur)”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) adalah orang yang bersykur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur (syakur) adalah dia yang bersyukur atas apa yang tidak ada”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) berterima kasih atas pemberian, tapi orang yang sangat bersyukur (syakur) berterima kasih karena tidak diberi”. Dikatakan juga, “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas kemelaratannya”. “Orang yang bersyukur berterima kasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih manakala anugerah ditunda”.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu waktu, ketika waktu aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sari, dan kelompok orang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Dia bertanya kepadaku, ‘Hawai anakku , apakah bersyukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika orang tidak menggunakan anugerah (yang diberikan Allah) untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia menyatakan, ‘Derajatmu di sisi Allah akan segera kau peroleh melalui lidahmu, Nak’”. Al-Junayd menyatakan, “Aku masih sering menangis mengingat kata-katanya itu”. Asy-Syibli menjelaskan, “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberani anugerah, bukan kesadaran akan anugerahnya”. Dikatakan, “Syukur adalah belenggu bagi apa yang dilmiliki seseorang serta jerat bagi apa yang belum dimilikinya”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Kaum awam bersyukur karena diberi makan dan pakaian, sedangkan kaum terpilih bersyukur atas makna-makna yang memasuki hati mereka”.
Dikatakan bahwa Daud as bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur kepadamu sedangkan tindakanmu bersyukur itu sendiri adalah anugerah dari-Mu?” Allah mewahyukan kepadanya, “Engkau baru saja bersyukur”. Dikatakan bahwa Musa as mengatakan dalam doa munajatnya, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan tangan-Mu, dan engkau telah begini dan begitu (baginya). Bagaimana dia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab, “Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah tanda syukurnya kepada-Ku”.
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabatnya itu mengatakan kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Lalu sahabatnya itu didera, dan dia menulis surat kepada sang Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dan dibelenggu, salah satu borgol rantainya dikenakan pada kaki si sahabat, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki si Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun untuk buang air besar, yang berarti si sahabat itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Dia lau menulis surat kepada sahabatnya, “Bersyukurlah kepada Allah”. Sahabatnya (si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kamlimat ini?” sahabatnya menjawab, “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan kau perbuat?”
Seseorang mendatangi sahl bin ‘Abdallah dan mengatakan kepadanya, “Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang-barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah SWT. Seandainya seorang pencuri (yakin syetan) memasuki hatimu dan merusak imanmu kepada Tauhid, apa yang akan kau perbuat?”
Dikatakan, “Syukurnya mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang kau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang kau dengar tentang dia”. Dikatakan juga, “Syukur adalah menyibukkan diri dalam memuji-Nya karena Ia telah memberimu apa yang kau tak pantas menerimanya”. Al-Junayd menuturkan, Manakala as-Sari berkenhendak untuk mengajarku, dia biasanya mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari dia bertanya kepadaku, ‘Wahai al-Junayd, apakah syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika tak satu bagian pun dari anugerah Allah SWT digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia bertanya lagi, ‘Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan) ini?’ Aku menjawab, ‘Dengan duduk-duduk bersamamu’”.
Ma'rifatun nafs
Bismillahirrahmaanirrahiim
Imam al Ghazaly dalam kitab Ihya Ulumuddin bab Sabar dan Syukur mengatakan bahwa manusia (insan) adalah makhluk yang khas. Berbeda dengan malaikat yang memang dicipta hanya untuk menjadi abdi Allah Ta'ala atau binatang yang memang dicipta hanya untuk mengikuti hawa nafsu dan syahwat, maka di dalam diri manusia ada aspek kemalaikatan dan aspek kebinatangan. Dan kesabaran itu sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana kita berusaha memenangkan aspek kemalaikatan itu dari tarikan aspek kebinatangan.
Aspek kemalaikatan tersebut dalam al Qur'an yang disebut sebagai wujud nafs mutmainnah. Yang apabila dominan dalam diri, maka akan jadilah seorang hamba yang ridlo kepada Allah dan Allah ridlo kepada-Nya.(raadliyatammardliyyah). Sedang aspek kebinatangan inilah yang dalam al qur'an disebut sebagai hawa nafsu dan syahwat.
Wahai nafs muthmainnah. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang ridla kepada Allah dan diridlai oleh Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:27-30) Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS.45:23) Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apapun. (QS. 8:22)
Segala dosa yang dilakukan manusia pada dasarnya adalah segala sesuatu yang terjadi karena dilandasi oleh hawa nafsunya. Walaupun hal tersebut namapak 'baik' di mata manusia, namun sesungguhnya rusak di hadapan Allah Ta'ala.
Sebelum manusia lahir ke muka bumi, dikatakan dalam al Qur'an bahwa manusia telah bersaksi, bahwa Allah adalah Tuhannya. (QS 7:172) Namun pernahkah kita ingat perjanjian tersebut?
Mungkin kita semua tidak pernah ingat bahwa pernah berjanji kepada Allah.Hal ini terjadi karena yang berjanji itu adalah nafs muthmainnah, sedangkan sekarang ini yang dominan adalah hawa nafsu sedang nafs muthmainnah diperbudak olehnya. Artinya, apabila seseorang ingin tidak lalai dari perjanjiannya, yang harus dilakukan oleh kita semua adalah membebaskan nafs muthmainnah dari perbudakan hawa nafsu. Sebagaimana Musa as. membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir'aun, untuk menuju tanah yang dijanjikan Allah.
Nafs muthmainnah inilah sesungguhnya hakikat diri manusia. Dia yang berjanji kepada Allah Ta'ala, dan dia yang akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Apabila ia menemui ajalnya dalam keadaan yang telah lepas dari perbudakan, maka ia akan selamat sentosa. Bebas dari siksa kubur dan bahkan di alam akhirat. Namun apabila maut menjemput ia masih terbelenggu oleh hawa nafsu dan syahwat, maka ia akan disiksa oleh Allah Ta'ala di alam kubur dan juga di akhirat kelak.
Hawa nafsu atau aspek kebinatangan diberikan oleh Allah kepada manusia, bukan tanpa alasan. Hal ini ditujukan sebagai ujian buat manusia, serta menjadi kendaraan untuk dapat hidup di dunia.
Imam al Ghazaly menggambarkan hubungan nafs muthmainnah, hawa nafsu syahwat dan jasad seperti kereta kuda. Hawa Nafsu dan syahwat sebagai kuda-kuda yang menarik kereta jasad, sedangkan nafs muthmainnah adalah sais.
Tanpa kuda-kuda hawa nafsu dan syahwat, maka kereta kuda tidak dapat berjalan. Jasad tidak dapat ditarik. Namun apabila sang sais sakit, maka kuda-kuda hawa nafsu dan syahwat akan membawa kereta jasad lari kesana kemari tak terkendali. Demikianlah yang banyak terjadi dikebanyakan manusia.
Untuk mendapatkan surga, seorang harus mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya ini. Kalau tidak dilakukan tentu dia akan menghadapi kehancuran yang amat besar.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:40-41)
Imam al Ghazaly dalam kitab Ihya Ulumuddin bab Sabar dan Syukur mengatakan bahwa manusia (insan) adalah makhluk yang khas. Berbeda dengan malaikat yang memang dicipta hanya untuk menjadi abdi Allah Ta'ala atau binatang yang memang dicipta hanya untuk mengikuti hawa nafsu dan syahwat, maka di dalam diri manusia ada aspek kemalaikatan dan aspek kebinatangan. Dan kesabaran itu sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana kita berusaha memenangkan aspek kemalaikatan itu dari tarikan aspek kebinatangan.
Aspek kemalaikatan tersebut dalam al Qur'an yang disebut sebagai wujud nafs mutmainnah. Yang apabila dominan dalam diri, maka akan jadilah seorang hamba yang ridlo kepada Allah dan Allah ridlo kepada-Nya.(raadliyatammardliyyah). Sedang aspek kebinatangan inilah yang dalam al qur'an disebut sebagai hawa nafsu dan syahwat.
Wahai nafs muthmainnah. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang ridla kepada Allah dan diridlai oleh Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:27-30) Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS.45:23) Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apapun. (QS. 8:22)
Segala dosa yang dilakukan manusia pada dasarnya adalah segala sesuatu yang terjadi karena dilandasi oleh hawa nafsunya. Walaupun hal tersebut namapak 'baik' di mata manusia, namun sesungguhnya rusak di hadapan Allah Ta'ala.
Sebelum manusia lahir ke muka bumi, dikatakan dalam al Qur'an bahwa manusia telah bersaksi, bahwa Allah adalah Tuhannya. (QS 7:172) Namun pernahkah kita ingat perjanjian tersebut?
Mungkin kita semua tidak pernah ingat bahwa pernah berjanji kepada Allah.Hal ini terjadi karena yang berjanji itu adalah nafs muthmainnah, sedangkan sekarang ini yang dominan adalah hawa nafsu sedang nafs muthmainnah diperbudak olehnya. Artinya, apabila seseorang ingin tidak lalai dari perjanjiannya, yang harus dilakukan oleh kita semua adalah membebaskan nafs muthmainnah dari perbudakan hawa nafsu. Sebagaimana Musa as. membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir'aun, untuk menuju tanah yang dijanjikan Allah.
Nafs muthmainnah inilah sesungguhnya hakikat diri manusia. Dia yang berjanji kepada Allah Ta'ala, dan dia yang akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Apabila ia menemui ajalnya dalam keadaan yang telah lepas dari perbudakan, maka ia akan selamat sentosa. Bebas dari siksa kubur dan bahkan di alam akhirat. Namun apabila maut menjemput ia masih terbelenggu oleh hawa nafsu dan syahwat, maka ia akan disiksa oleh Allah Ta'ala di alam kubur dan juga di akhirat kelak.
Hawa nafsu atau aspek kebinatangan diberikan oleh Allah kepada manusia, bukan tanpa alasan. Hal ini ditujukan sebagai ujian buat manusia, serta menjadi kendaraan untuk dapat hidup di dunia.
Imam al Ghazaly menggambarkan hubungan nafs muthmainnah, hawa nafsu syahwat dan jasad seperti kereta kuda. Hawa Nafsu dan syahwat sebagai kuda-kuda yang menarik kereta jasad, sedangkan nafs muthmainnah adalah sais.
Tanpa kuda-kuda hawa nafsu dan syahwat, maka kereta kuda tidak dapat berjalan. Jasad tidak dapat ditarik. Namun apabila sang sais sakit, maka kuda-kuda hawa nafsu dan syahwat akan membawa kereta jasad lari kesana kemari tak terkendali. Demikianlah yang banyak terjadi dikebanyakan manusia.
Untuk mendapatkan surga, seorang harus mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya ini. Kalau tidak dilakukan tentu dia akan menghadapi kehancuran yang amat besar.
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:40-41)
Hakikat Keikhlasan
Bismillahirrahmaanirrahiim
Kita semua sama-sama mafhum, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal oleh Allah Ta'ala. Namun apakah sesungguhnya ikhlas dan bagaimana untuk dapat ikhlas, mungkin hal itu yang menjadi demikian penting untuk kita ketahui.
Ikhlas adalah segala sesuatu aktivitas yang diarahkan untuk pengabdian kepada Allah Ta'ala. Ikhlas bukanlah tanpa pamrih. Dibenarkan untuk berharap pamrih, namun pamrih yang berselarasan dengan apa yang Allah Ta'ala inginkan seperti rahmat Allah dan ampunan Allah. Pamrih yang tidak dibenarkan adalah pamrih yang mengarahkan berkembang biaknya kecintaan kita kepada diri (hawa nafsu) dan kecintaan kepada dunia (syahwat). Ketika seseorang melakukan sesuatu untuk mendapatkan balasan walaupun hanya sekedar 'ucapan terima kasih', maka sesungguhnya hal ini dapat merusak keikhlasannya.
Tidak jarang kita melakukan sesuatu mungkin bukan karena ingin dipuji orang, tetapi karena ingin mendapatkan dukungan, persetujuan dan sekedar ucapan terima kasih dari manusia. Dan hati kita akan demikian kecewa ketika ternyata dukungan, persetujuan dan ucapan terima kasih itu tidak didapatkan.
Ah, betapa sering kita kecewa ketika mengungkapkan gagasan dan ternyata orang-orang tidak mendukung gagasan kita? Betapa demikian seringnya kita marah ketika orang yang kita berbuat baik kepadanya melengos pergi tidak mengucapkan terima kasih, sehingga kita pun sering berkata: "Tidak tahu diri, mengucapkan terima kasih pun tidak!"
Syaikh Abu 'Ali ad-Daqqaq menyatakan, "Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia."
Keikhlasan adalah ibadah hati. Ia harus kita mulai usahakan muncul dalam diri kita dengan upaya terus menerus dan kesabaran atasnya. Tentu amat sangat penting ilmu yang benar menopangnya.
Dzun Nun al-Mishry berkomentar, "Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus".
Keikhlasan akan terjadi manakala kita tidak lagi menyadari bahwa kita ikhlas. Ketika kita masih menyadari rasa ikhlas tersebut, sesungguhnya kita belum ikhlas.
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, "Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Abu Ya'qub as-Susi menyatakan, "Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan".
Dalam al Qur'an ada 2 jenis keikhlasan. Yaitu ketika kita berupaya untuk ikhlas, ini dibahasakan dengan 'mukhlis', dan sebuah karunia dari Allah terhadap orang-orang yang mukhlis yaitu keikhlasan yang datang dari-Nya
yang dibahasakan dengan 'mukhlas'. al Qusyairy berkata: "Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)".
Orang-orang yang mukhlas inilah yang iblis tiada sanggup untuk menggodanya.Iblis menjawab:"Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan merreka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka. (QS. 38:82-83)
Al-Junayd mengatakan, "Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinyasehingga ia tidak bisa mempengaruhinya".
Al-Fudhail menyatakan, "Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini".
Perkataan ini benar-benar mengisyaratkan bahwa keikhlasan terjadi ketika Allah Ta'ala telah menyembuhkan hati kita dari menghiraukan apa-apa yang dikatakan oleh manusia. Yang terpenting adalah ketika kita telah mempertimbangkan sebuah amal akan tujuannya untuk Allah Ta'ala serta maslahatnya, maka lakukanlah hal itu, dan janganlah pedulikan cemoohan atau pujian manusia. Dan jangan sedikit pun terbesit dalam hati kita melakukannya untuk mendapatkan pujian manusia.
Sebagaimana pesan Luqman al Hakim kepada anaknya: "Hai anakku, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, baik mengenai agamamu maupun duniamu, dan laksanakanlah kepentinganmu itu hingga selesai, jangan peduli orang lain dan tak usah kamu dengar perkataan dan cemoohan mereka. Karena betapa pun takkan dapat kamu buat amereka semua lega, dan takkan dapat kamu persatukan hati mereka".
Dan sesudah itu Luqman menyuruh anaknya mengambil seekor keledai. "Anakku, bawalah kemari seekor keledai", katanya. "Lihatlah apa kata orang nanti, mereka selamanya takkan lega melihat orang lain".
Tak lama kemudian anak itu pun datang membawa keledai yang diminta. Luqman naik ke atas punggungnya, dan menyuruh anaknya berjalan menuntun binatang itu, sementara ia enak-enak duduk di atas punggungnya.
Dalam perjalanan, lewatlah mereka pada sekumpulan orang. Dan melihat pemandangan yang ganjil itu, orang-orang berkata : "Anak kecil disuruh berjalan, sedang yang sudah tua malah enak-enak naik kendaraan. Betapa kejam dan tak tahu malu orang tua itu".
"Apa kata orang-orang itu hai anakku?", tanya Luqman kepada anaknya. Dan setelah anak itu menerangkan apa yang mereka omongkan, ia pun turun dari atas punggung kendaraannya dan menyuruh anaknya naik. Dan sekarang giliran dia yang menuntun keledai.
Berikutnya ketika melewati kerumunan orang yang lain, terdengarlah kata-kata mereka : "Yang kecil naik, sedang orang yang sudah tua bangka begitu disuruh jalan kaki. Sungguh kejam anak itu dan tak tahu kesopanan".
"Apa kata mereka?", kata orang tua itu mengulangi pertanyaannya. Maka diterangkanlah oleh anak itu apa yang diperkatakan orang, dan kini kedua insan anak dan bapak itu bersama-sama menunggangi binatang naas itu. Sehingga pada suatu tempat, ketika mereka melewati kerumunan orang berikutnya, mereka pun berkata pula : "Dua orang berbonceng-boncengan di atas punggung seekor keledai, padahal sakit tidak, lemah pun tidak. Ah, tak kenal belas kasihan kedua orang itu terhadap binatang".
Kali ini Luqman bertanya pula kepada anaknya, "Apa kata orang-orang itu hai anakku?". Dan setelah anak itu menjawab, maka tak ada pilihan lain kecuali harus turun bersama-sama dari onggung keledai dan menuntunnya bersama-sama sambil jalan kaki.
"Subhanallah!" orang terheran-heran melihat keledai yang segar-bugar dan kuat itu berjalan tanpa muatan, sementara kedua pemiliknya malah berjalan kaki menuntunnya bersama-sama. "Kenapan salah seorang tak mau menaikinya?", kata merka.
Sekali lagi Luqman menanyai anaknya, "Apa kata mereka wahai anakku?". Dan setelah dijawab, ia pun melanjutkan perkataannya : "Anakku, bukankah telah aku katakan padamu, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, jangan pedulikan apa kata orang. Semua ini aku lakukan, tak lain hanyalah untuk memberi pelajaran kepadamu".
Ketika cemoohan dan pujian dari manusia telah dirasakan sama, maka inilah mulanya anugerah keikhlasan dari Allah Ta'ala tercurah kepada qalbu kita. Dzun Nun menjelaskan, "Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya".
Hal ini dapat hanya terjadi dengan mengarahkan semua arah dan tujuan amal hanya untuk Allah Ta'ala, paling tidak untuk mendapatkan rahmat (pertolongan) dan ampunan Allah sahaja.
Abu 'Utsman mengatakan, "Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah".
Kita semua sama-sama mafhum, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal oleh Allah Ta'ala. Namun apakah sesungguhnya ikhlas dan bagaimana untuk dapat ikhlas, mungkin hal itu yang menjadi demikian penting untuk kita ketahui.
Ikhlas adalah segala sesuatu aktivitas yang diarahkan untuk pengabdian kepada Allah Ta'ala. Ikhlas bukanlah tanpa pamrih. Dibenarkan untuk berharap pamrih, namun pamrih yang berselarasan dengan apa yang Allah Ta'ala inginkan seperti rahmat Allah dan ampunan Allah. Pamrih yang tidak dibenarkan adalah pamrih yang mengarahkan berkembang biaknya kecintaan kita kepada diri (hawa nafsu) dan kecintaan kepada dunia (syahwat). Ketika seseorang melakukan sesuatu untuk mendapatkan balasan walaupun hanya sekedar 'ucapan terima kasih', maka sesungguhnya hal ini dapat merusak keikhlasannya.
Tidak jarang kita melakukan sesuatu mungkin bukan karena ingin dipuji orang, tetapi karena ingin mendapatkan dukungan, persetujuan dan sekedar ucapan terima kasih dari manusia. Dan hati kita akan demikian kecewa ketika ternyata dukungan, persetujuan dan ucapan terima kasih itu tidak didapatkan.
Ah, betapa sering kita kecewa ketika mengungkapkan gagasan dan ternyata orang-orang tidak mendukung gagasan kita? Betapa demikian seringnya kita marah ketika orang yang kita berbuat baik kepadanya melengos pergi tidak mengucapkan terima kasih, sehingga kita pun sering berkata: "Tidak tahu diri, mengucapkan terima kasih pun tidak!"
Syaikh Abu 'Ali ad-Daqqaq menyatakan, "Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia."
Keikhlasan adalah ibadah hati. Ia harus kita mulai usahakan muncul dalam diri kita dengan upaya terus menerus dan kesabaran atasnya. Tentu amat sangat penting ilmu yang benar menopangnya.
Dzun Nun al-Mishry berkomentar, "Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus".
Keikhlasan akan terjadi manakala kita tidak lagi menyadari bahwa kita ikhlas. Ketika kita masih menyadari rasa ikhlas tersebut, sesungguhnya kita belum ikhlas.
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, "Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Abu Ya'qub as-Susi menyatakan, "Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan".
Dalam al Qur'an ada 2 jenis keikhlasan. Yaitu ketika kita berupaya untuk ikhlas, ini dibahasakan dengan 'mukhlis', dan sebuah karunia dari Allah terhadap orang-orang yang mukhlis yaitu keikhlasan yang datang dari-Nya
yang dibahasakan dengan 'mukhlas'. al Qusyairy berkata: "Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)".
Orang-orang yang mukhlas inilah yang iblis tiada sanggup untuk menggodanya.Iblis menjawab:"Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan merreka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka. (QS. 38:82-83)
Al-Junayd mengatakan, "Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinyasehingga ia tidak bisa mempengaruhinya".
Al-Fudhail menyatakan, "Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini".
Perkataan ini benar-benar mengisyaratkan bahwa keikhlasan terjadi ketika Allah Ta'ala telah menyembuhkan hati kita dari menghiraukan apa-apa yang dikatakan oleh manusia. Yang terpenting adalah ketika kita telah mempertimbangkan sebuah amal akan tujuannya untuk Allah Ta'ala serta maslahatnya, maka lakukanlah hal itu, dan janganlah pedulikan cemoohan atau pujian manusia. Dan jangan sedikit pun terbesit dalam hati kita melakukannya untuk mendapatkan pujian manusia.
Sebagaimana pesan Luqman al Hakim kepada anaknya: "Hai anakku, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, baik mengenai agamamu maupun duniamu, dan laksanakanlah kepentinganmu itu hingga selesai, jangan peduli orang lain dan tak usah kamu dengar perkataan dan cemoohan mereka. Karena betapa pun takkan dapat kamu buat amereka semua lega, dan takkan dapat kamu persatukan hati mereka".
Dan sesudah itu Luqman menyuruh anaknya mengambil seekor keledai. "Anakku, bawalah kemari seekor keledai", katanya. "Lihatlah apa kata orang nanti, mereka selamanya takkan lega melihat orang lain".
Tak lama kemudian anak itu pun datang membawa keledai yang diminta. Luqman naik ke atas punggungnya, dan menyuruh anaknya berjalan menuntun binatang itu, sementara ia enak-enak duduk di atas punggungnya.
Dalam perjalanan, lewatlah mereka pada sekumpulan orang. Dan melihat pemandangan yang ganjil itu, orang-orang berkata : "Anak kecil disuruh berjalan, sedang yang sudah tua malah enak-enak naik kendaraan. Betapa kejam dan tak tahu malu orang tua itu".
"Apa kata orang-orang itu hai anakku?", tanya Luqman kepada anaknya. Dan setelah anak itu menerangkan apa yang mereka omongkan, ia pun turun dari atas punggung kendaraannya dan menyuruh anaknya naik. Dan sekarang giliran dia yang menuntun keledai.
Berikutnya ketika melewati kerumunan orang yang lain, terdengarlah kata-kata mereka : "Yang kecil naik, sedang orang yang sudah tua bangka begitu disuruh jalan kaki. Sungguh kejam anak itu dan tak tahu kesopanan".
"Apa kata mereka?", kata orang tua itu mengulangi pertanyaannya. Maka diterangkanlah oleh anak itu apa yang diperkatakan orang, dan kini kedua insan anak dan bapak itu bersama-sama menunggangi binatang naas itu. Sehingga pada suatu tempat, ketika mereka melewati kerumunan orang berikutnya, mereka pun berkata pula : "Dua orang berbonceng-boncengan di atas punggung seekor keledai, padahal sakit tidak, lemah pun tidak. Ah, tak kenal belas kasihan kedua orang itu terhadap binatang".
Kali ini Luqman bertanya pula kepada anaknya, "Apa kata orang-orang itu hai anakku?". Dan setelah anak itu menjawab, maka tak ada pilihan lain kecuali harus turun bersama-sama dari onggung keledai dan menuntunnya bersama-sama sambil jalan kaki.
"Subhanallah!" orang terheran-heran melihat keledai yang segar-bugar dan kuat itu berjalan tanpa muatan, sementara kedua pemiliknya malah berjalan kaki menuntunnya bersama-sama. "Kenapan salah seorang tak mau menaikinya?", kata merka.
Sekali lagi Luqman menanyai anaknya, "Apa kata mereka wahai anakku?". Dan setelah dijawab, ia pun melanjutkan perkataannya : "Anakku, bukankah telah aku katakan padamu, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, jangan pedulikan apa kata orang. Semua ini aku lakukan, tak lain hanyalah untuk memberi pelajaran kepadamu".
Ketika cemoohan dan pujian dari manusia telah dirasakan sama, maka inilah mulanya anugerah keikhlasan dari Allah Ta'ala tercurah kepada qalbu kita. Dzun Nun menjelaskan, "Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya".
Hal ini dapat hanya terjadi dengan mengarahkan semua arah dan tujuan amal hanya untuk Allah Ta'ala, paling tidak untuk mendapatkan rahmat (pertolongan) dan ampunan Allah sahaja.
Abu 'Utsman mengatakan, "Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah".
Subscribe to:
Posts (Atom)