Friday, July 20, 2007
Syukur
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat -Ku) kepadamu” (QS 14:7).
Diriwayatkan oleh Abu Khabab, berkata ‘Atha’, “Aku ber-sama ‘Ubayd bin ‘Umayr mengunjungi ‘A’isyah ra dan barkata kepadanya, ‘ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Ibunda lihat pada Rasulullah saw’. Beliau menangis dan bertanya, ‘Apakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidurku (atau mungkin ‘A’isyah berkata dibawah selimutku) hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa waktu, beliau berkata, “Wahai puteri abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku”. Aku menjawab, “Saya begitu senang berdekatan dengan Tuhan,” tapi aku mengizinkanmu’. Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mencucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya menetesi dadanya, kemudian beliau ruku` dan terus menangis, lalu susjud dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau, “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan, baik yang dahulu maupun yang belakangan? Beliau menjawab, “Tidakkah aku mesti menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir’ (QS 2:164 dan cf. QS 3:190)?’”
Hakekat syukur, menurut mereka yang telah mencapai kebenaran, adalah pengakuan akan anugerah dari sang Pemberi Anugerah, dengan sikap penuh kepasrahan dan sesuai dengan perkataan berikut, “Allah SWT bersifat mensyukuri (asy-Syakur) dalam arti menyebarluaskan anugerah-Nya, bukan dalam arti harfiah”. Ini berarti bahwa Dia memberi ganjaran bagi sikap bersyukur. Karenanya, Dia telah menetapkan bahwa balasan bagi sikap bersyukur adalah sikap bersyukur pula (di pihak-Nya) sebagaimana telah dinyatakan-Nya, “Balasan bagi tindak pekerjaan adalah kejahatan yang serupa” (QS 42:40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, “Seekor binatang dikatakan bersyukur jika ia mencari makanan melebihi (jatah) jerami yang diberikan kepadanya”. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa hakekat bersyukur adalah memuji Ar-Rahman dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah SWT kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikannya kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan dia mampu menyatakan syukur kepada-Nya.
Syukur seorang hamba, pada hakekatnya, mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Tuhan. Syukur dibagi menjadi : sykur dengan lidah, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, syukurnya tubuh dan anggota-anggota badan, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur hati, dengan mengundurkan diri ke tataran syahadah dengan terus-menerus melaksanakan penghormatan. Dikatakan bahwa kaum yang terpelajar bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin (ahli makrifat) bersyukur dengan ketabahan mereka terhadap-Nya di dalam semua keadaan mereka.
Abu Bakr al-Warraq menyatakan, “Syukur atas anugerah adalah memberikan kesaksian terhadap anugerah tersebut dengan melaksanakan penghormatan”. Al-Junayd berkomentar, “Ada kekurangan dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi dia sadar akan bagian untuk dirinya di saat ia juga sadar akan Tuhan”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Bersyukur adalah mengakui ketidakmampuan diri untuk menjadi orang yang bersyukur”. Dikatakan, Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Ini dikarenakan bahwa bersyukurmu datang karena Dia telah memberikan kemampuan kepadamu untuk itu, dan bahwa tindakan-Nya itu termasuk anugerah yang paling besar terhadapmu. Jadi engkau bersyukur terhadap bersykurmu, dan seterunya berulang-ulang secara tak terhingga”.
Dikatakan, “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan”. Al-Junayd menyatakan, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima anugerah”. Ruwaym menjelaskan, Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu (dalam upaya untuk bersyukur)”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) adalah orang yang bersykur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur (syakur) adalah dia yang bersyukur atas apa yang tidak ada”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) berterima kasih atas pemberian, tapi orang yang sangat bersyukur (syakur) berterima kasih karena tidak diberi”. Dikatakan juga, “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas kemelaratannya”. “Orang yang bersyukur berterima kasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih manakala anugerah ditunda”.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu waktu, ketika waktu aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sari, dan kelompok orang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Dia bertanya kepadaku, ‘Hawai anakku , apakah bersyukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika orang tidak menggunakan anugerah (yang diberikan Allah) untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia menyatakan, ‘Derajatmu di sisi Allah akan segera kau peroleh melalui lidahmu, Nak’”. Al-Junayd menyatakan, “Aku masih sering menangis mengingat kata-katanya itu”. Asy-Syibli menjelaskan, “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberani anugerah, bukan kesadaran akan anugerahnya”. Dikatakan, “Syukur adalah belenggu bagi apa yang dilmiliki seseorang serta jerat bagi apa yang belum dimilikinya”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Kaum awam bersyukur karena diberi makan dan pakaian, sedangkan kaum terpilih bersyukur atas makna-makna yang memasuki hati mereka”.
Dikatakan bahwa Daud as bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur kepadamu sedangkan tindakanmu bersyukur itu sendiri adalah anugerah dari-Mu?” Allah mewahyukan kepadanya, “Engkau baru saja bersyukur”. Dikatakan bahwa Musa as mengatakan dalam doa munajatnya, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan tangan-Mu, dan engkau telah begini dan begitu (baginya). Bagaimana dia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab, “Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah tanda syukurnya kepada-Ku”.
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabatnya itu mengatakan kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Lalu sahabatnya itu didera, dan dia menulis surat kepada sang Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dan dibelenggu, salah satu borgol rantainya dikenakan pada kaki si sahabat, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki si Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun untuk buang air besar, yang berarti si sahabat itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Dia lau menulis surat kepada sahabatnya, “Bersyukurlah kepada Allah”. Sahabatnya (si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kamlimat ini?” sahabatnya menjawab, “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan kau perbuat?”
Seseorang mendatangi sahl bin ‘Abdallah dan mengatakan kepadanya, “Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang-barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah SWT. Seandainya seorang pencuri (yakin syetan) memasuki hatimu dan merusak imanmu kepada Tauhid, apa yang akan kau perbuat?”
Dikatakan, “Syukurnya mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang kau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang kau dengar tentang dia”. Dikatakan juga, “Syukur adalah menyibukkan diri dalam memuji-Nya karena Ia telah memberimu apa yang kau tak pantas menerimanya”. Al-Junayd menuturkan, Manakala as-Sari berkenhendak untuk mengajarku, dia biasanya mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari dia bertanya kepadaku, ‘Wahai al-Junayd, apakah syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika tak satu bagian pun dari anugerah Allah SWT digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia bertanya lagi, ‘Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan) ini?’ Aku menjawab, ‘Dengan duduk-duduk bersamamu’”.
Diriwayatkan oleh Abu Khabab, berkata ‘Atha’, “Aku ber-sama ‘Ubayd bin ‘Umayr mengunjungi ‘A’isyah ra dan barkata kepadanya, ‘ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan yang Ibunda lihat pada Rasulullah saw’. Beliau menangis dan bertanya, ‘Apakah yang beliau lakukan, yang tidak mengagumkan? Suatu malam, beliau datang kepadaku, dan kami tidur di tempat tidurku (atau mungkin ‘A’isyah berkata dibawah selimutku) hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa waktu, beliau berkata, “Wahai puteri abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadat kepada Tuhanku”. Aku menjawab, “Saya begitu senang berdekatan dengan Tuhan,” tapi aku mengizinkanmu’. Kemudian beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu dengan mencucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya menetesi dadanya, kemudian beliau ruku` dan terus menangis, lalu susjud dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya kepada beliau, “Apakah yang menyebabkan Tuan menangis, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosa Tuan, baik yang dahulu maupun yang belakangan? Beliau menjawab, “Tidakkah aku mesti menjadi seorang hamba yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku, ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….adalah tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi kaum yang berfikir’ (QS 2:164 dan cf. QS 3:190)?’”
Hakekat syukur, menurut mereka yang telah mencapai kebenaran, adalah pengakuan akan anugerah dari sang Pemberi Anugerah, dengan sikap penuh kepasrahan dan sesuai dengan perkataan berikut, “Allah SWT bersifat mensyukuri (asy-Syakur) dalam arti menyebarluaskan anugerah-Nya, bukan dalam arti harfiah”. Ini berarti bahwa Dia memberi ganjaran bagi sikap bersyukur. Karenanya, Dia telah menetapkan bahwa balasan bagi sikap bersyukur adalah sikap bersyukur pula (di pihak-Nya) sebagaimana telah dinyatakan-Nya, “Balasan bagi tindak pekerjaan adalah kejahatan yang serupa” (QS 42:40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata pepatah, “Seekor binatang dikatakan bersyukur jika ia mencari makanan melebihi (jatah) jerami yang diberikan kepadanya”. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa hakekat bersyukur adalah memuji Ar-Rahman dengan mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Sebaliknya, bersyukurnya Allah SWT kepada hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikannya kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan rahmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan dia mampu menyatakan syukur kepada-Nya.
Syukur seorang hamba, pada hakekatnya, mencakup syukur secara lisan maupun penegasan dalam hati atas anugerah dan rahmat Tuhan. Syukur dibagi menjadi : sykur dengan lidah, yang berupa pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, syukurnya tubuh dan anggota-anggota badan, yang berarti mengambil sikap setia dan mengabdi; syukur hati, dengan mengundurkan diri ke tataran syahadah dengan terus-menerus melaksanakan penghormatan. Dikatakan bahwa kaum yang terpelajar bersyukur dengan lidah mereka, kaum pecinta bersyukur dengan perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin (ahli makrifat) bersyukur dengan ketabahan mereka terhadap-Nya di dalam semua keadaan mereka.
Abu Bakr al-Warraq menyatakan, “Syukur atas anugerah adalah memberikan kesaksian terhadap anugerah tersebut dengan melaksanakan penghormatan”. Al-Junayd berkomentar, “Ada kekurangan dalam bersyukur, karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi dirinya sendiri; jadi dia sadar akan bagian untuk dirinya di saat ia juga sadar akan Tuhan”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Bersyukur adalah mengakui ketidakmampuan diri untuk menjadi orang yang bersyukur”. Dikatakan, Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Ini dikarenakan bahwa bersyukurmu datang karena Dia telah memberikan kemampuan kepadamu untuk itu, dan bahwa tindakan-Nya itu termasuk anugerah yang paling besar terhadapmu. Jadi engkau bersyukur terhadap bersykurmu, dan seterunya berulang-ulang secara tak terhingga”.
Dikatakan, “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan”. Al-Junayd menyatakan, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang dirimu layak menerima anugerah”. Ruwaym menjelaskan, Bersyukur adalah engkau menghabiskan seluruh kemampuanmu (dalam upaya untuk bersyukur)”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) adalah orang yang bersykur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur (syakur) adalah dia yang bersyukur atas apa yang tidak ada”.
Dikatakan, “Orang yang bersyukur (syakir) berterima kasih atas pemberian, tapi orang yang sangat bersyukur (syakur) berterima kasih karena tidak diberi”. Dikatakan juga, “Orang yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih atas kemelaratannya”. “Orang yang bersyukur berterima kasih manakala anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur berterima kasih manakala anugerah ditunda”.
Al-Junayd menuturkan, “Suatu waktu, ketika waktu aku masih berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan as-Sari, dan kelompok orang sedang berkumpul di hadapannya, berbincang tentang syukur. Dia bertanya kepadaku, ‘Hawai anakku , apakah bersyukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika orang tidak menggunakan anugerah (yang diberikan Allah) untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia menyatakan, ‘Derajatmu di sisi Allah akan segera kau peroleh melalui lidahmu, Nak’”. Al-Junayd menyatakan, “Aku masih sering menangis mengingat kata-katanya itu”. Asy-Syibli menjelaskan, “Syukur adalah kesadaran akan Sang Pemberani anugerah, bukan kesadaran akan anugerahnya”. Dikatakan, “Syukur adalah belenggu bagi apa yang dilmiliki seseorang serta jerat bagi apa yang belum dimilikinya”. Abu ‘Utsman menyatakan, “Kaum awam bersyukur karena diberi makan dan pakaian, sedangkan kaum terpilih bersyukur atas makna-makna yang memasuki hati mereka”.
Dikatakan bahwa Daud as bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur kepadamu sedangkan tindakanmu bersyukur itu sendiri adalah anugerah dari-Mu?” Allah mewahyukan kepadanya, “Engkau baru saja bersyukur”. Dikatakan bahwa Musa as mengatakan dalam doa munajatnya, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam dengan tangan-Mu, dan engkau telah begini dan begitu (baginya). Bagaimana dia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab, “Ia mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah tanda syukurnya kepada-Ku”.
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya datang, dan sahabatnya itu mengatakan kepadanya, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Lalu sahabatnya itu didera, dan dia menulis surat kepada sang Sufi, “Bersyukurlah kepada Allah SWT”. Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut didatangkan dan dan dibelenggu, salah satu borgol rantainya dikenakan pada kaki si sahabat, dan borgol lainnya dikenakan pada kaki si Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun untuk buang air besar, yang berarti si sahabat itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi selesai melepaskan hajatnya. Dia lau menulis surat kepada sahabatnya, “Bersyukurlah kepada Allah”. Sahabatnya (si Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan kamlimat ini?” sahabatnya menjawab, “Jika sabuk yang dikenakan orang kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu, sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu, maka apa yang akan kau perbuat?”
Seseorang mendatangi sahl bin ‘Abdallah dan mengatakan kepadanya, “Seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mencuri barang-barangku!” Sahl berkata, “Bersyukurlah kepada Allah SWT. Seandainya seorang pencuri (yakin syetan) memasuki hatimu dan merusak imanmu kepada Tauhid, apa yang akan kau perbuat?”
Dikatakan, “Syukurnya mata adalah bahwa engkau menyembunyikan cacat yang kau lihat pada sahabatmu, dan syukurnya telinga adalah engkau menyembunyikan cacat yang kau dengar tentang dia”. Dikatakan juga, “Syukur adalah menyibukkan diri dalam memuji-Nya karena Ia telah memberimu apa yang kau tak pantas menerimanya”. Al-Junayd menuturkan, Manakala as-Sari berkenhendak untuk mengajarku, dia biasanya mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Suatu hari dia bertanya kepadaku, ‘Wahai al-Junayd, apakah syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Syukur adalah jika tak satu bagian pun dari anugerah Allah SWT digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya’. Dia bertanya lagi, ‘Bagaimana engkau sampai pada (pengetahuan) ini?’ Aku menjawab, ‘Dengan duduk-duduk bersamamu’”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment