Friday, July 20, 2007
RIDHA
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” (QS, al-Bayyinah, 98:8).
Jabir mengabarkan bahwa Rasululah saw. Menyatakan , “Para penghuni surga akan berada di dalam sebuah kumpulan ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan Allah SWT memandang mereka dan berfirman, ‘Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian inginkan.’ Mereka akan menjawab, ‘Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami.’ Allah SWT menjawab, ‘ Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku telah menghormati kalian. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku.’ Mereka akn menjawab, ‘Kami memohon tambahan selain ini.’ “
Selanjutnya beliau berkata, “Kepada mereka akan di bawakan kuda-kuda kuat yang terbuat dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud dan manikam. Mereka akan menaikinya, dan kuda-kuda itu akan melangkah lebih cepat dari penglihatan mata. Lalu Allah SWT akan memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari itu akan berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang muda dan lemah lembut, dan kami tidak akan layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.’
Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harum, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut ‘al-Mutsirah’ (Pembangkit) sampai akhirnya mereka dibawa ke Surga ‘Adn, yang adalah pusat surga. Para malaikat akan menyerukan ‘Wahai Tuhan kami, mereka telah datang.’ Allah SWT akan mengatakan, ‘Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang patuh.’ “Lalu Rasulullah saw mengatakan , “Maka tabir pun akan disingkapkan akan menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah SWT akan memerintahkan, “Rasulullah melanjutkan, “mereka akan dibawa kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan bisa lagi saling pandang”. Lalu Rasulullah saw menjelaskan, “Itulah yang dimaksud dengan Firman Allah, `sebagai hadiah dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang`” (QS, Fushshilat, 41:32).
Manakala orang berbicara tentang keridlaan, masing-masing mengungkapkan berdasarkan keadaan dan “maqam” masing-masing. Maka ungkapan pendapat mereka juga berbeda, sebagaimana berbedanya pengalaman dan “maqam” masing-masing. Ada yang mengatakannya sebagai ‘tanpa keraguan sedikit pun’, hal itu adalah bahwa orang yang ridla terhadap Allah SWT adalah orang yang tidak berkeberatan terhadap takdir-Nya.
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Keridlaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, keridlaan sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan Ilahi dan pengadilan-Nya”.
Ketahuilah bahwa wajib hukumnya, bagi seorang hamba untuk bersikap ridla terhadap takdir yang ditetapkan untuknya, yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala.
Para syaikh berkomentar, “Keridlaan adalah gerbang Allah yang terbesar”. Maksud mereka adalah bahwa barangsiapa yang mendapat kehormatan dengan keridlaan, berarti dia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan yang tertinggi”.
‘Abdul Wahid bin Zayd menjelaskan, “Keridlaan adalah gerbang Alah yang terbesar dan surganya dunia ini”. Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat keridlaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha keapda-Nya” (QS. Al-Bayyinah, 98:8).
Syaikh abu ‘Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syaikhnya, ‘Apakah si hamba mengetahui apakah Allah ridla kepadanya?‘ Sang Syaikh menjawab, ‘tidak. Bagaimana dia bisa tahu hal itu sedangkan keridlaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?’ Si murid memprotes, ‘Tidak, dia bisa mengetahuinya!’ Syaikhnya bertanya, ‘Bagaimana si hamba bisa tahu? Si murid menjawab: “Jika saya mendapati hati saya ridla kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridla kepada saya.’ Maka sang Syaikh lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.’ “
Ketika Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keridlaan-Mu.” Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra ‘Imran, Keridlaan-Ku ada pada keridlaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Sulayman ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu, maka dia akan mencapai keridlaan.” An-Nasrabadhi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai derajat keridlaan, maka hendaklah ia berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam keridlaan: keridlaan terhadap Allah SWT dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya.” Keridlaan terhadap Allah SWT berarti bahwa si hamba ridla terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya), dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syaihk Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “jalan sang pengembara lebih panjang, dan itulah jalan latihan spritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridlaan dan agar engkau ridla dengan takdir.” Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridlaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.” Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah keridlaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan kemanisan dan pengetahuan memanfaatkan dirimu agar supaya tidak menabirimu dari kebenaran batin yang menyangkut kepedulianmu.” Ketahuilah bahwa kata-kata ini sangatlah penting. Di Dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab keridlaan terhadap keadaan itu sendiri merupakan tabir yang menabiri si Pemberi Keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam keridlaannya dan mengalami nikmatnya keridlaan dalam hatinya, maka dia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran hati.
Al-Wasiti juga mengingatkan, “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadah, sebab itu adalah racun yang membawa maut.” Ibn khafif menyatakan, “Keridlaan adalah tenangnya hati dengan ketetapn Allah dan keserasiannya hati dengan apa yang menjadikan Allah ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”
Ketika Rabia’ah al-Adawiyah ditanya: “Kapankah seorang hamba dipandang ridla?” dia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah.” Diceritakan bahwa Asy-Syibli menegaskan di hadapan Al-Junayd, “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah, “ dan Al-Junayd mengatakan kepadanya, “Ucapanmu itu muncul dari kenestapaan, dan kenestapaan datang karena orang meninggalkan keridlaan terhadap takdir. “ Asy-Syibli terdiam.
Abu Sulayman ad-Darani mengatakan: “Keridlaan adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah SWT atau berlindung kepada-Nya dari neraka.“ Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ada tiga tanda keridlaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husayn putra ‘Ali bin Abi Thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, ‘Kemikisnan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’ Al-Husayn menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.’ “
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa Bisyr al-Hafi, “Keridlaan adalah lebih baik daripada hidup kepertapaan (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang ridla tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya. “ Ketika Abu ‘Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa ridla setelah diputuskannya ketetapan (Mu), “Dia menjelaskan, “Ini karena keridlaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah berarti adanya niat kuat untuk merasa ridla, tetapi keridlaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] keridlaan.”
Abu Sulayman menyatakan, “Aku ingin seandainya aku mengetahui sebagian kecil saja tentang keridlaan. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan puas karenanya.” Abu ‘Umar ad-Dimasyqi menyatakan, “Keridlaan adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah (Allah) yang mana pun. “ Al-Junayd berkomentar, “Keridlaan adalah meniadakan pilihan.” Ibnu ‘Atha’ menegaskan, “Keridlaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Allah (Qadha’) bagi si hamba, dan meninngalkan ketidaksenangan.” Ruwaym berkata,”Keridlaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).” An-Nuri menyatakan, “Keridlaan adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.” Al-Jurayri mengatakan, “Barangsiapa yang ridla tampa batas, Allah akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Abu Turab An-Naksyabi menyatakan, “Orang yang menaruh penghargaan terhadap dunia di dalam hatinya tidak akan dianugrahi keridlaan.”
Diriwayatkan oleh al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bahwa Rasulullah saw mejelaskan: “Barangsiapa yang ridla akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan meresakan nikmatnya iman.”
Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ary, “Segala kebaikan terletak di dalam keridlaan. Maka jika engaku mampu, jadilah oranng yang ridla; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”
Jabir mengabarkan bahwa Rasululah saw. Menyatakan , “Para penghuni surga akan berada di dalam sebuah kumpulan ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga menyinari mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan Allah SWT memandang mereka dan berfirman, ‘Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian inginkan.’ Mereka akan menjawab, ‘Kami mohon agar Engkau ridha kepada kami.’ Allah SWT menjawab, ‘ Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku telah menghormati kalian. Ini adalah saat yang tepat, maka bermohonlah kepada-Ku.’ Mereka akn menjawab, ‘Kami memohon tambahan selain ini.’ “
Selanjutnya beliau berkata, “Kepada mereka akan di bawakan kuda-kuda kuat yang terbuat dari mutu manikam, kendalinya dari zamrud dan manikam. Mereka akan menaikinya, dan kuda-kuda itu akan melangkah lebih cepat dari penglihatan mata. Lalu Allah SWT akan memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari itu akan berkata, ‘Kami adalah orang-orang yang muda dan lemah lembut, dan kami tidak akan layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.’
Selanjutnya Allah akan memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harum, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut ‘al-Mutsirah’ (Pembangkit) sampai akhirnya mereka dibawa ke Surga ‘Adn, yang adalah pusat surga. Para malaikat akan menyerukan ‘Wahai Tuhan kami, mereka telah datang.’ Allah SWT akan mengatakan, ‘Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang orang-orang yang patuh.’ “Lalu Rasulullah saw mengatakan , “Maka tabir pun akan disingkapkan akan menikmati Cahaya Yang Maha Pengasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah SWT akan memerintahkan, “Rasulullah melanjutkan, “mereka akan dibawa kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan bisa lagi saling pandang”. Lalu Rasulullah saw menjelaskan, “Itulah yang dimaksud dengan Firman Allah, `sebagai hadiah dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang`” (QS, Fushshilat, 41:32).
Manakala orang berbicara tentang keridlaan, masing-masing mengungkapkan berdasarkan keadaan dan “maqam” masing-masing. Maka ungkapan pendapat mereka juga berbeda, sebagaimana berbedanya pengalaman dan “maqam” masing-masing. Ada yang mengatakannya sebagai ‘tanpa keraguan sedikit pun’, hal itu adalah bahwa orang yang ridla terhadap Allah SWT adalah orang yang tidak berkeberatan terhadap takdir-Nya.
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Keridlaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, keridlaan sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan Ilahi dan pengadilan-Nya”.
Ketahuilah bahwa wajib hukumnya, bagi seorang hamba untuk bersikap ridla terhadap takdir yang ditetapkan untuknya, yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala.
Para syaikh berkomentar, “Keridlaan adalah gerbang Allah yang terbesar”. Maksud mereka adalah bahwa barangsiapa yang mendapat kehormatan dengan keridlaan, berarti dia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan yang tertinggi”.
‘Abdul Wahid bin Zayd menjelaskan, “Keridlaan adalah gerbang Alah yang terbesar dan surganya dunia ini”. Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat keridlaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha keapda-Nya” (QS. Al-Bayyinah, 98:8).
Syaikh abu ‘Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syaikhnya, ‘Apakah si hamba mengetahui apakah Allah ridla kepadanya?‘ Sang Syaikh menjawab, ‘tidak. Bagaimana dia bisa tahu hal itu sedangkan keridlaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?’ Si murid memprotes, ‘Tidak, dia bisa mengetahuinya!’ Syaikhnya bertanya, ‘Bagaimana si hamba bisa tahu? Si murid menjawab: “Jika saya mendapati hati saya ridla kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridla kepada saya.’ Maka sang Syaikh lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.’ “
Ketika Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keridlaan-Mu.” Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra ‘Imran, Keridlaan-Ku ada pada keridlaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Sulayman ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu, maka dia akan mencapai keridlaan.” An-Nasrabadhi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai derajat keridlaan, maka hendaklah ia berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam keridlaan: keridlaan terhadap Allah SWT dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya.” Keridlaan terhadap Allah SWT berarti bahwa si hamba ridla terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya), dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syaihk Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “jalan sang pengembara lebih panjang, dan itulah jalan latihan spritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridlaan dan agar engkau ridla dengan takdir.” Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridlaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.” Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah keridlaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan kemanisan dan pengetahuan memanfaatkan dirimu agar supaya tidak menabirimu dari kebenaran batin yang menyangkut kepedulianmu.” Ketahuilah bahwa kata-kata ini sangatlah penting. Di Dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab keridlaan terhadap keadaan itu sendiri merupakan tabir yang menabiri si Pemberi Keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam keridlaannya dan mengalami nikmatnya keridlaan dalam hatinya, maka dia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran hati.
Al-Wasiti juga mengingatkan, “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena amal ibadah, sebab itu adalah racun yang membawa maut.” Ibn khafif menyatakan, “Keridlaan adalah tenangnya hati dengan ketetapn Allah dan keserasiannya hati dengan apa yang menjadikan Allah ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”
Ketika Rabia’ah al-Adawiyah ditanya: “Kapankah seorang hamba dipandang ridla?” dia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah.” Diceritakan bahwa Asy-Syibli menegaskan di hadapan Al-Junayd, “Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah, “ dan Al-Junayd mengatakan kepadanya, “Ucapanmu itu muncul dari kenestapaan, dan kenestapaan datang karena orang meninggalkan keridlaan terhadap takdir. “ Asy-Syibli terdiam.
Abu Sulayman ad-Darani mengatakan: “Keridlaan adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah SWT atau berlindung kepada-Nya dari neraka.“ Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ada tiga tanda keridlaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husayn putra ‘Ali bin Abi Thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, ‘Kemikisnan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’ Al-Husayn menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.’ “
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa Bisyr al-Hafi, “Keridlaan adalah lebih baik daripada hidup kepertapaan (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang ridla tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya. “ Ketika Abu ‘Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa ridla setelah diputuskannya ketetapan (Mu), “Dia menjelaskan, “Ini karena keridlaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah berarti adanya niat kuat untuk merasa ridla, tetapi keridlaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] keridlaan.”
Abu Sulayman menyatakan, “Aku ingin seandainya aku mengetahui sebagian kecil saja tentang keridlaan. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan puas karenanya.” Abu ‘Umar ad-Dimasyqi menyatakan, “Keridlaan adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah (Allah) yang mana pun. “ Al-Junayd berkomentar, “Keridlaan adalah meniadakan pilihan.” Ibnu ‘Atha’ menegaskan, “Keridlaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Allah (Qadha’) bagi si hamba, dan meninngalkan ketidaksenangan.” Ruwaym berkata,”Keridlaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).” An-Nuri menyatakan, “Keridlaan adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.” Al-Jurayri mengatakan, “Barangsiapa yang ridla tampa batas, Allah akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Abu Turab An-Naksyabi menyatakan, “Orang yang menaruh penghargaan terhadap dunia di dalam hatinya tidak akan dianugrahi keridlaan.”
Diriwayatkan oleh al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bahwa Rasulullah saw mejelaskan: “Barangsiapa yang ridla akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan meresakan nikmatnya iman.”
Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ary, “Segala kebaikan terletak di dalam keridlaan. Maka jika engaku mampu, jadilah oranng yang ridla; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment