Friday, July 20, 2007
Tawwasul melalui para wali
Diambil dari buku Encycolpedia of Islamic Doctrine volume 4: Intercession (Tawassul) karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani qs
Kita pun akan mendapatkan banyak dalil tentang tawasul melalui para wali. Cukuplah dikatakan di sini bahwa Allah, dalam firman-Nya, dengan tegas memperingatkan semua kaum beriman untuk senantiasa menemani mereka, “Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang yang benar.” (Q.S. al-Tawbah [9]: 119). Dan Dia menganjurkan kita untuk mengikuti orang yang kembali kepada-Nya dengan tobat yang benar dan sempurna (Q.S. Luqmân [31]: 15). Nabi saw. bersabda kepada al-Firasi, tentang meminta-minta, “Jika kau memang harus meminta-minta, mintalah kepada orang yang baik” (in kunta lâ budda sâ’ilâ fas’al al-shâlihîn). Dengan demikian, mendatangi orang saleh untuk bertawasul hukumnya sunat dalam Islam.
Sebagian orang mengira bahwa doa seorang wali hanya akan dikabulkan saat ia masih hidup, dan ia tak akan dapat menolongmu jika sudah mati. Mereka berpikiran seperti itu karena mengira bahwa orang suci, syekh, atau wali adalah sumber pertolongan. Padahal, hanya Allah yang menjadi sumber keberkahan, bukan manusia. Karena itu, meyakini bahwa Allah hanya akan memberi saat si wali itu masih hidup, dan tidak memberi jika ia sudah mati sama saja dengan mengatakan bahwa sumber tertinggi adalah manusia, bukan Allah. Sebenarnya, hanya Allah yang memberi pertolongan, baik ketika si wali masih hidup maupun sudah meninggal.
Sebagian kaum "Salafi" menolak ajaran tawasul kepada para wali setelah mereka wafat. Penolakan itu didasarkan atas keyakinan yang keliru bahwa pengaruh Allah melalui para wali hanya berlaku saat mereka masih hidup. Seperti telah dikatakan, karunia Allah kepada para wali tidak bergantung pada apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal, karena dalam keadaan apa pun kekuasaan tetap berada di tangan Allah sedangkan para wali hanyalah alat yang tak punya kekuasaan apa-apa. Di samping itu, pendapat para ulama terdahulu dan terkemudian yang akan kami sebutkan di bawah ini semakin meneguhkan kelirunya penolakan kaum "Salafi" terhadap tawasul melalui para wali setelah mereka wafat.
Telah menjadi bagian keyakinan umat Islam bahwa abdâl, atau para wali pengganti—disebut begitu karena Nabi saw. bersabda, “Tak seorang pun dari mereka mati kecuali Allah menggantinya dengan yang lain,”—ada dan bahwa mereka termasuk pemimpin umat. Bahkan Ibn Taimiyah menulis pada bagian akhir karyanya Aqîdah Wâsithiyyah:
Penganut Islam yang sejati adalah kaum Sunni. Di antara mereka terdapat para wali yang benar (shiddîqîn), syuhada, dan orang saleh. Di antara mereka terdapat orang yang mendapat petunjuk dan cahaya, yang integritasnya kuat dan kebaikannya nyata. Para pengganti (abdâl) dan pemimpin agama terdapat di tengah-tengah mereka dan kaum muslim berada di bawah bimbingan mereka. Inilah kelompok yang beruntung yang mengenai mereka Nabi saw. bersabda, “Ada satu kelompok dalam umatku yang kukuh dalam kebenaran. Mereka tak akan dimudaratkan oleh orang yang menentang maupun yang mengabaikan mereka, sejak kini hingga hari kiamat.”
Dalam banyak hadis sahih, Nabi saw. menyebutkan keuntungan yang didapat semua makhluk berkat syafaat para wali Allah dan kedekatan mereka dengan-Nya. Al-Suyuthi memberikan banyak contoh tentang syafaat universal ini, di antaranya sebagai berikut:
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ketika orang-orang Syam (Damaskus) disebutkan di depan Ali ibn Abi Thalib yang tengah berada di Irak, para sahabatnya berkata, “Kutuklah mereka, wahai Amirul Mukminin.” Ia menjawab, “Tidak. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Para pengganti (abdâl) berada di Syam dan mereka ada empat puluh orang, setiap kali mereka wafat, Allah menggantikannya dengan yang lain. Karena mereka Allah menurunkan hujan, memberi (kepada kaum muslim) kemenangan atas musuh mereka dan mencegah malapetaka atas orang-orang Syam.’”
Al-Haitami mengatakan bahwa perawi hadis itu sahih kecuali Syarih ibn Ubaid, dan ia layak dipercaya (tsiqah). Al-Sakhawi menyebutkan hadis ini dalam karyanya, Maqâshid, dan menyetujuinya. Tetapi ia berpendapat bahwa tampaknya itu bukan ucapan Nabi saw., melainkan ucapan Ali sendiri.
Kita pun akan mendapatkan banyak dalil tentang tawasul melalui para wali. Cukuplah dikatakan di sini bahwa Allah, dalam firman-Nya, dengan tegas memperingatkan semua kaum beriman untuk senantiasa menemani mereka, “Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang yang benar.” (Q.S. al-Tawbah [9]: 119). Dan Dia menganjurkan kita untuk mengikuti orang yang kembali kepada-Nya dengan tobat yang benar dan sempurna (Q.S. Luqmân [31]: 15). Nabi saw. bersabda kepada al-Firasi, tentang meminta-minta, “Jika kau memang harus meminta-minta, mintalah kepada orang yang baik” (in kunta lâ budda sâ’ilâ fas’al al-shâlihîn). Dengan demikian, mendatangi orang saleh untuk bertawasul hukumnya sunat dalam Islam.
Sebagian orang mengira bahwa doa seorang wali hanya akan dikabulkan saat ia masih hidup, dan ia tak akan dapat menolongmu jika sudah mati. Mereka berpikiran seperti itu karena mengira bahwa orang suci, syekh, atau wali adalah sumber pertolongan. Padahal, hanya Allah yang menjadi sumber keberkahan, bukan manusia. Karena itu, meyakini bahwa Allah hanya akan memberi saat si wali itu masih hidup, dan tidak memberi jika ia sudah mati sama saja dengan mengatakan bahwa sumber tertinggi adalah manusia, bukan Allah. Sebenarnya, hanya Allah yang memberi pertolongan, baik ketika si wali masih hidup maupun sudah meninggal.
Sebagian kaum "Salafi" menolak ajaran tawasul kepada para wali setelah mereka wafat. Penolakan itu didasarkan atas keyakinan yang keliru bahwa pengaruh Allah melalui para wali hanya berlaku saat mereka masih hidup. Seperti telah dikatakan, karunia Allah kepada para wali tidak bergantung pada apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal, karena dalam keadaan apa pun kekuasaan tetap berada di tangan Allah sedangkan para wali hanyalah alat yang tak punya kekuasaan apa-apa. Di samping itu, pendapat para ulama terdahulu dan terkemudian yang akan kami sebutkan di bawah ini semakin meneguhkan kelirunya penolakan kaum "Salafi" terhadap tawasul melalui para wali setelah mereka wafat.
Telah menjadi bagian keyakinan umat Islam bahwa abdâl, atau para wali pengganti—disebut begitu karena Nabi saw. bersabda, “Tak seorang pun dari mereka mati kecuali Allah menggantinya dengan yang lain,”—ada dan bahwa mereka termasuk pemimpin umat. Bahkan Ibn Taimiyah menulis pada bagian akhir karyanya Aqîdah Wâsithiyyah:
Penganut Islam yang sejati adalah kaum Sunni. Di antara mereka terdapat para wali yang benar (shiddîqîn), syuhada, dan orang saleh. Di antara mereka terdapat orang yang mendapat petunjuk dan cahaya, yang integritasnya kuat dan kebaikannya nyata. Para pengganti (abdâl) dan pemimpin agama terdapat di tengah-tengah mereka dan kaum muslim berada di bawah bimbingan mereka. Inilah kelompok yang beruntung yang mengenai mereka Nabi saw. bersabda, “Ada satu kelompok dalam umatku yang kukuh dalam kebenaran. Mereka tak akan dimudaratkan oleh orang yang menentang maupun yang mengabaikan mereka, sejak kini hingga hari kiamat.”
Dalam banyak hadis sahih, Nabi saw. menyebutkan keuntungan yang didapat semua makhluk berkat syafaat para wali Allah dan kedekatan mereka dengan-Nya. Al-Suyuthi memberikan banyak contoh tentang syafaat universal ini, di antaranya sebagai berikut:
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ketika orang-orang Syam (Damaskus) disebutkan di depan Ali ibn Abi Thalib yang tengah berada di Irak, para sahabatnya berkata, “Kutuklah mereka, wahai Amirul Mukminin.” Ia menjawab, “Tidak. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Para pengganti (abdâl) berada di Syam dan mereka ada empat puluh orang, setiap kali mereka wafat, Allah menggantikannya dengan yang lain. Karena mereka Allah menurunkan hujan, memberi (kepada kaum muslim) kemenangan atas musuh mereka dan mencegah malapetaka atas orang-orang Syam.’”
Al-Haitami mengatakan bahwa perawi hadis itu sahih kecuali Syarih ibn Ubaid, dan ia layak dipercaya (tsiqah). Al-Sakhawi menyebutkan hadis ini dalam karyanya, Maqâshid, dan menyetujuinya. Tetapi ia berpendapat bahwa tampaknya itu bukan ucapan Nabi saw., melainkan ucapan Ali sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment