Friday, July 20, 2007
Ikhlas
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih” (QS. 39:3).
Anas bin Malik ra menuturkan bahwa Rasulullah saw telah menyatakan, “Kedengkian tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika dia menetapi tiga perkara: ikhlas kepada Allah dalam semua perbuatannya, memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan orang-orang yang berserah diri kepada Allah”.
Ikhlas mempunyai maksud menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan persembahan. Ini berarti menghendaki kedekatan dengan Allah melalui ibadah, dengan mengesampingkan yang lain, apakah itu sifat riya yang bertujuan memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia –pendeknya apapun yang lain dari kehendak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Dikatakan dengan tepat, “Ikhlas berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari harapan apapun terhadap sesama makhluk”.
Dikatakan juga, “Ikhlas berarti melindungi diri sendiri dari apapun pandangan manusia”.
Sebuah hadits shahih menyatakan bahwa Nabi saw menuturkan, berdasarkan riwayat Jibril as, yang menuturkan tentang Allah SWT, bahwa Dia telah berfirman, “Ikhlas adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-KU. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati hamba-hamba yang Ku-cintai.”
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia, dan sifat amanah berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap munafik dan orang yang amanah tidaklah sombong”.
Dzun Nun al-Mishry berkomentar, “Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus”. Abu Ya’qub as-Susi menyatakan, “Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan”. Dzun Nun menjelaskan, “Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya”.
Abu ‘Utsman al-Maghribi menyatakan, “Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh kesenangan. Ini adalah ikhlasnya orang awam. Mengenai ikhlasnya manusia pilihan, keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka terpisah dengannya. Mereka tidak menyadari perbuatan baik mereka, tidak pula mereka punya kepedulian terhadapnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan”. Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, “Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)”. Sahl berkata, “Hanya orang yang ikhlas (mukhlis) sajalah yang mengenal akrab kemunafikan”. Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan, “kemunafikan kaum ‘arifin adalah lebih baik dari ikhlasnya para murid”.
Dzun Nun menyatakan, “Keikhlasan adalah apa yang dilindungi dari kerusakan oleh musuh”. Abu ‘Utsman mengatakan, “Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah”. Hudzaifah al-Mar’asyi berkomentar, “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya”. Dikatakan, “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah berkendak dan sifat amanah diupayakan”. Dikatakan pula, “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik”. As-Sari mengatakan, “Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti bercampak dari penghargaan Allah SWT”. Al-Fudhail menyatakan, “Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini”.
Al-Junayd mengatakan, “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinya sehingga ia tidak bisa mempengaruhinya”. Ruwaym menjelaskan : Ikhlas dalam berbuat kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat, tidak pula dia mencari perlakuan baik dari dua malaikat yang menanyai orang mati [di dalam kubur]”. Ditanyakan kepada Sahl bin ‘Abdallah, “Apakah hal yang paling berat pada diri manusia?” Dia menjawab, “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya”.
Ketika ditanya tentang keikhlasan, salah seorang Sufi menjawab, “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah untuk menjadi saksi atas perbuatanmu”.
Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku menemui Sahl bin ‘Abdallah pada suatu hari jumat dirumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu di pintu. Dia berseru, ‘Masuklah! Tak seorangpun bisa mencapai hakikat iman jika dia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi’. Kemudian dia bertanya, ‘Apakah engkau hendak mengikuti shalat jumat?’ aku menjawab, ‘Jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam’. Maka dia lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di situ, melihat orang banyak, dan berkata, ‘banyak orang yang mengucapkan La ilaha illa l’Lah, tapi sedikit sekali yang ikhlas’”.
Mak-hul menyatakan, “Seorang hamba yang ikhlas selama empat puluh hari akan mengalami kebijaksanaan memancar dari hati dan lidahnya”. Yusuf bin al-Husayn berkomentar, “Milikku, yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari kemunafikan, namun setiap kali aku berhasil, ia muncul lagi dalam selubung yang lain!” Abu Sulayman berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka gelombang godaan dan kemunafikan akan berhenti”.
Anas bin Malik ra menuturkan bahwa Rasulullah saw telah menyatakan, “Kedengkian tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika dia menetapi tiga perkara: ikhlas kepada Allah dalam semua perbuatannya, memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan orang-orang yang berserah diri kepada Allah”.
Ikhlas mempunyai maksud menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan persembahan. Ini berarti menghendaki kedekatan dengan Allah melalui ibadah, dengan mengesampingkan yang lain, apakah itu sifat riya yang bertujuan memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia –pendeknya apapun yang lain dari kehendak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Dikatakan dengan tepat, “Ikhlas berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari harapan apapun terhadap sesama makhluk”.
Dikatakan juga, “Ikhlas berarti melindungi diri sendiri dari apapun pandangan manusia”.
Sebuah hadits shahih menyatakan bahwa Nabi saw menuturkan, berdasarkan riwayat Jibril as, yang menuturkan tentang Allah SWT, bahwa Dia telah berfirman, “Ikhlas adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-KU. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati hamba-hamba yang Ku-cintai.”
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia, dan sifat amanah berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap munafik dan orang yang amanah tidaklah sombong”.
Dzun Nun al-Mishry berkomentar, “Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus”. Abu Ya’qub as-Susi menyatakan, “Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan”. Dzun Nun menjelaskan, “Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya”.
Abu ‘Utsman al-Maghribi menyatakan, “Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh kesenangan. Ini adalah ikhlasnya orang awam. Mengenai ikhlasnya manusia pilihan, keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka terpisah dengannya. Mereka tidak menyadari perbuatan baik mereka, tidak pula mereka punya kepedulian terhadapnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan”. Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, “Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)”. Sahl berkata, “Hanya orang yang ikhlas (mukhlis) sajalah yang mengenal akrab kemunafikan”. Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan, “kemunafikan kaum ‘arifin adalah lebih baik dari ikhlasnya para murid”.
Dzun Nun menyatakan, “Keikhlasan adalah apa yang dilindungi dari kerusakan oleh musuh”. Abu ‘Utsman mengatakan, “Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah”. Hudzaifah al-Mar’asyi berkomentar, “Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya”. Dikatakan, “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah berkendak dan sifat amanah diupayakan”. Dikatakan pula, “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik”. As-Sari mengatakan, “Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti bercampak dari penghargaan Allah SWT”. Al-Fudhail menyatakan, “Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini”.
Al-Junayd mengatakan, “Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinya sehingga ia tidak bisa mempengaruhinya”. Ruwaym menjelaskan : Ikhlas dalam berbuat kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat, tidak pula dia mencari perlakuan baik dari dua malaikat yang menanyai orang mati [di dalam kubur]”. Ditanyakan kepada Sahl bin ‘Abdallah, “Apakah hal yang paling berat pada diri manusia?” Dia menjawab, “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya”.
Ketika ditanya tentang keikhlasan, salah seorang Sufi menjawab, “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah untuk menjadi saksi atas perbuatanmu”.
Salah seorang Sufi menuturkan, “Aku menemui Sahl bin ‘Abdallah pada suatu hari jumat dirumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu di pintu. Dia berseru, ‘Masuklah! Tak seorangpun bisa mencapai hakikat iman jika dia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi’. Kemudian dia bertanya, ‘Apakah engkau hendak mengikuti shalat jumat?’ aku menjawab, ‘Jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam’. Maka dia lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di situ, melihat orang banyak, dan berkata, ‘banyak orang yang mengucapkan La ilaha illa l’Lah, tapi sedikit sekali yang ikhlas’”.
Mak-hul menyatakan, “Seorang hamba yang ikhlas selama empat puluh hari akan mengalami kebijaksanaan memancar dari hati dan lidahnya”. Yusuf bin al-Husayn berkomentar, “Milikku, yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari kemunafikan, namun setiap kali aku berhasil, ia muncul lagi dalam selubung yang lain!” Abu Sulayman berkata, “Jika seorang hamba ikhlas, maka gelombang godaan dan kemunafikan akan berhenti”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment